Sudah ribuan kali rasanya aku
menatap raut wajah di depan cermin. Paras yang menyiratkan rasa iba, seolah
meminta belas kasihan, nampak teraniaya. Menjijikkan! Aku sungguh muak melihat
raut wajah ini.
Betapa garis-garis tegas di sudut
bibir, binar percaya diri yang terpancar dari mata, semua telah pudar. Segala
kekuatan yang tadinya ada kini berganti menjadi rona kesedihan, jika tidak
ingin dikatakan kesengsaraan.
Lamunanku terbuai...
Aku pertama kali mengenal lelaki
itu dua tahun silam, dalam sebuah aksi mahasiswa di depan istana negara. Kala
itu aku masih sangat idealis, berbeda dengan bayangan yang sedang kutatap dalam
cermin saat ini. Bayangkan, aku berharap mampu menggulingkan rezim militer yang
berkuasa, atas nama rakyat dan mahasiswa. Atas nama demokrasi.
“Maaf, namamu Aruna ya?”
Sesosok lelaki yang belum pernah
kukenal menepuk bahuku. Aku menoleh dengan heran. Di tengah kerumunan massa
seperti ini, aku tak berpikir ada yang akan mengenaliku secara khusus. Lelaki
itu membalas keherananku dengan sebuah senyuman.
“Namaku Rangga. Aku mahasiswa
kampus sebelah. Ketua divisi kajian aksi strategis BEM,” katanya seraya
mengulurkan tangan.
“Eh, iya namaku Aruna,” ujarku
tergagap.
Kusambut uluran tangannya yang
hangat. Ia cukup menarik, mengingat saat itu kami tengah berpeluh di bawah
terik matahari. Namun aku tak akan pernah bisa melupakan sosoknya yang tinggi,
alisnya yang tebal dan nyaris menyatu, sorot matanya yang tajam, dan senyumnya
yang menawan. Ada kesan misterius dalam dirinya yang membuatku terpesona.
Dan dari sanalah semuanya
berawal...
Dalam sekejap, duniaku dipenuhi
oleh Rangga. Ia selalu hadir dalam setiap forum diskusi yang digelar di
kampusku, mendukungku saat aku menjadi moderator dalam debat panas antarcalon
ketua BEM, menjemputku setiap pulang kuliah, menarikku semakin larut ke dalam
pusaran hidupnya. Begitu terus selama beberapa bulan hingga akhirnya ia
menghilang begitu saja.
Suatu ketika, aku mencoba mencari
Rangga di kampusnya. Aneh, para mahasiswa di sekretariat BEM tak ada yang
mengenalinya. Bukankah ia berkata kepadaku bahwa ia adalah ketua kajian aksi
strategis BEM? Aku pulang dengan perasaan bingung setengah mati.
“Orang itu aneh, Runa. Dia
membohongimu soal identitasnya, entah apa lagi yang akan ia tutupi darimu.
Tinggalkan dia, jangan pernah mencarinya lagi,” kata Sheila, sahabatku.
Akan tetapi aku tak pernah
mendengarkan Sheila. Setiap ucapannya masuk dari telinga kanan dan langsung
keluar melalui telinga kiriku. Aku menginginkan Rangga. Aku telah terobsesi dengan
sosoknya. Sebut aku naif, tetapi hanya dalam sekejap Rangga mampu membuatku
menginginkannya.
Lalu, aku kembali berjumpa dengan
Rangga...
“Hai, Aruna. Lama tak jumpa,”
ucapnya ramah.
Seolah tak ada rasa bersalah, ia
menghampiriku yang baru saja selesai kuliah dan mengajak pulang. Aku tak bisa
menepisnya. Aku tak meminta penjelasan apa-apa dari Rangga. Aku lega bisa
melihat sosoknya lagi.
“Runa, kamu adalah gadis paling
tolol yang pernah kukenal. Aku menyayangimu, tapi kamu sungguh tolol,” kata
Sheila keesokan harinya.
“Tapi aku mencintai dia,” kataku
hampir terdengar seperti gumaman.
“Dia? Siapa dia? Apa Rangga nama
aslinya? Kuliah di mana? Latar belakangnya seperti apa?” bentak Sheila.
“Maaf, Sheila. Tapi aku yakin
Rangga punya penjelasan yang masuk akal soal kebohongannya kemarin.”
“Kalau begitu, tanyakan segera!”
Namun aku tak pernah menanyakan.
Aku hanya tahu Rangga memang kuliah di kampus sebelah, tapi sama sekali tidak
ikut BEM. Ia termasuk salah satu mahasiswa penyendiri yang kelakuannya kerap mengundang
kontroversi. Luar biasa cerdas, tetapi sering memberontak.
Rangga berkata kepadaku ia
terpaksa berbohong saat berkenalan, agar aku tertarik dan mau berbicara
kepadanya. Bagiku itu adalah kebohongan yang romantis.
Aku kembali pada raut wajah yang
terpantul dalam cermin...
Satu tahun setelah mengenal
Rangga, aku memutuskan untuk memberi kejutan tepat di hari ulang tahunnya.
Rencananya, aku akan muncul mendadak di pintu rumahnya dengan hadiah dan
kecupan manis.
Hanya untuk menemukan
kenyataan...
Rangga berada di dalam rumah,
bersama seorang perempuan cantik laksana malaikat. Parasnya seolah membuat
Rangga tersihir. Setidaknya itulah kesan yang aku tangkap saat melihatnya dari
balik jendela. Jemarinya tak dapat lepas dari tubuh sang malaikat yang putih
seperti pualam, bibirnya tak pernah jauh dari rambut hitam panjangnya.
Aku terpaku, entah harus berbuat
apa. Ingin berlari dan berteriak, namun alih-alih aku hanya mengeluarkan
telepon genggamku.
“Rangga, kamu di mana? Aku ke
rumahmu ya,” tulisku dalam sebuah pesan singkat.
Lama tak ada balasan. Entah
berapa lama aku berdiri di pekarangan rumahnya, hingga telepon genggamku
akhirnya berbunyi, “Jangan hari ini, aku sedang tidak di rumah. Sedang main
futsal bersama Bagas dan Radit.”
Hatiku hancur. Namun aku tetap
diam dan berlalu...
Beberapa hari kemudian, tanpa sengaja aku melihat Rangga bersama sang malaikat
di kafe tempatku dan Rangga biasa berkencan.
“Aruna, kenalkan ini Jocelyn.
Kami sekelas waktu SMA dulu. Lucu sekali tiba-tiba kami bertemu hari ini
setelah bertahun-tahun tak pernah bertemu,” kata Rangga santai.
Lalu, yang waktu itu kulihat membuatmu terbuai dalam dekapannya itu
siapa? Kembaran Jocelyn? Aku hanya bisa meratap dalam hati.
Namun aku kembali diam. Berpura-pura
tidak tahu apa-apa. Berpura-pura baru pertama kali berjumpa dengan Jocelyn.
Berpura-pura Rangga mencintaiku dengan tulus, seperti aku mencintai dan takut
kehilangannya. Rangga sudah terlanjur menjadi duniaku. Aku tak bisa
membayangkan hidupku tanpanya.
Aku menatap raut wajah yang terpantul
dalam cermin itu sekali lagi...
Muak! Aku yang dulu aktivis
mahasiswa, penuh prinsip, selalu membela hak kaum marginal, kini telah berubah
menjadi perempuan paling lemah sedunia. Tak berdaya di bawah telapak kaki
lelaki. Terinjak-injak harga dirinya oleh makhluk bernama Rangga.
Dan setelah kebohongan demi
kebohongan yang telah ia lakukan, setelah menghilangkan sinar mentari dalam
hidupku, hari ini ia membuangku.
“Aruna, kamu adalah perempuan
hebat, namun kamu bukan pasangan jiwaku. Maafkan aku, Aruna,” katanya.
“Jocelyn ya?”
Lama tak terdengar jawaban
darinya. “Iya, sejak awal aku tahu bahwa aku dan dia ditakdirkan bersama,” kata
Rangga pada akhirnya.
Aku hanya bisa diam. Kulangkahkan
kaki menjauh darinya. Berharap hatiku juga mampu pergi darinya. Aku tidak tahu
bagaimana cara bangkit dari semua ini.
Praaangggg!!!
Aku pecahkan cermin yang
memperlihatkan raut wajah penuh kesengsaraan ini. Tanganku berdarah, tetapi
seolah aku tak merasakan sakitnya. Kuambil potongan cermin yang tajam menyerupai
bilah pisau. Inilah jawabannya.
Tak boleh ada akhir yang sempurna
dalam kisah ini. Jika tidak bagiku, maka tidak pula bagi Rangga. Entah akan
kugorok leher ini hingga menodai cermin dengan darahku sendiri. Atau kutikam
Rangga tepat di jantungnya saat ia tengah bercinta dengan sang malaikat.
Biarkan bilah cermin ini yang
akan memberikan jawaban.
*****
Tentang Penulis:
Anitya Wahdini, lahir di Jakarta pada tanggal 4 Juli 1983.
Menjadi seorang ibu, sebelum menjadi seorang guru. Menyayangi murid-muridnya
seolah mereka itu teman, sahabat, partner, dan anak-anaknya sendiri. Memiliki
obsesi tersendiri pada warna pink dan serial Glee. Ingin jadi aktris Broadway seperti Lea Michele di
kehidupannya yang lain. Selalu berkhayal!
Comments
Post a Comment