Suatu sore selepas jam pulang sekolah, blackberry messenger saya berdenting. Sebuah pesan yang tidak singkat datang dari salah satu anak didik saya. “Miss, masa tadi siang ada guru yang tiba-tiba tanpa alasan jelas, berkata di depan kelas bahwa anak-anak IPS adalah anak-anak yang pemalas. Saat saya protes, guru itu tetap ngotot pada pendiriannya. Menurutnya, anak-anak IPA lebih pintar dan rajin,” kata anak tadi dalam pesannya.
Di belakang pesan tersebut, ia selipkan emoticon yang menampilkan wajah marah dan menangis. Kelihatannya ia kesal.
Wajar jika murid saya itu menyatakan keberatan. Ia sendiri adalah murid yang duduk di kelas IPS dan merasa bahwa selama ini berkelakuan cukup baik. Nyaris tidak pernah lalai mengerjakan tugas, hormat pada guru, dan nilai-nilainya pun tak pernah merah.
Sepanjang pengalaman saya mengajar anak itu dua tahun belakangan, ia memang tak pernah bermasalah. Ia bahkan termasuk salah satu anak yang menonjol dalam pelajaran bahasa Inggris. Kerap dikirim sekolah untuk lomba menulis atau debat bahasa Inggris.
Sebenarnya ini bukan kali pertama saya harus bergelut dengan perbedaan pendapat antara IPA dan IPS semenjak berprofesi sebagai guru. Perbedaan yang sama sekali bukan berdasarkan ilmu yang diajarkan kedua kelompok mata pelajaran ini, akan tetapi perbedaan berdasarkan stereotipe semata.
Ada anggapan yang beredar di dalam masyarakat bahwa anak-anak IPA memang lebih pintar, rajin, sopan, namun kaku seperti robot. Sebagai kontra, anak-anak IPS dikatakan lebih malas, nakal, nilai akademis rendah, namun kreatif dan selalu bersenang-senang. Benarkah demikian?
Perbedaan antara IPA dan IPS ini sama sekali bukan barang baru. Bahkan sejak saya masih duduk di bangku SMA, sekira 13 tahun lalu, stereotipe di antara keduanya ini sudah berlaku. Saya yang kebetulan termasuk anak IPS dianggap salah masuk kelas di hari pertama sekolah. Beberapa guru menyayangkan pilihan saya di IPS dan beberapa teman bingung mengapa saya tidak bergabung dengan mereka di kelas IPA.
Saya memang bukan murid dengan prestasi akademis cemerlang, tetapi kemampuan saya masih di atas rata-rata. Saya juga bukan tergolong anak yang punya daya kreativitas tinggi, nakal, atau gaul istilah kerennya.
Berdasarkan karakter saya itu, rupanya guru-guru dan beberapa teman sudah menempatkan saya di kelas IPA dalam benak mereka. Tetapi saya merasa bahwa kemampuan saya di bidang IPS jauh lebih unggul ketimbang IPA. Saya lebih tekun dan senang membaca, menulis, mengobservasi, atau menganalisis daripada harus berkutat dengan rumus dan angka. Saya merasa yakin pada pilihan ini.
Pengkotak-kotakan IPA dan IPS bukan dari segi ilmu, melainkan dari segi dugaan dan generalisasi, macam kasus saya dan murid saya tadi, dalam ilmu sosial disebut sebagai stereotipe.
Stereotipe adalah konsep keyakinan mengenai tipe-tipe spesifik individual tertentu. Keyakinan di dalam stereotipe terbangun dari asumsi semata. Misalnya saja, stereotipe polisi di Amerika Serikat adalah selalu identik dengan kopi dan donat. Maka tak heran jika dalam film-film drama seri polisi, pastilah ada adegan polisi berpatroli sembari meminum kopi dan mengunyah donat.
Di Indonesia, contoh stereotipe yang paling jelas biasanya berkaitan dengan karakter suku bangsa tertentu. Misalnya, perempuan dari suku bangsa Sunda memiliki stereotipe matre dan genit, orang Manado gemar berpesta, orang Padang pelit, atau orang Jawa terlalu bertele-tele dan tertutup. Semua itu tentu tidak bisa dipastikan kebenarannya secara ilmiah, tetapi mau tak mau kita harus mengakui bahwa pandangan-pandangan macam ini berkembang luas dalam masyarakat.
Pada tahapan lebih lanjut, stereotipe dapat berkembang menjadi diskriminasi dan menimbulkan prasangka. Prasangka merupakan sikap kaku dan tidak beralasan yang menilai orang atau kelompok lain berdasarkan perbedaan ras, kelas sosial, etnis, usia, ketidakmampuan, obesitas, agama, orientasi sosial, atau karakteristik personal lainnya. Prasangka inilah yang kemudian dapat mendorong terjadinya perilaku terbuka, seperti konflik.
Pembedaan IPA kontra IPS memang baru sebatas stereotipe. Akan tetapi sungguh disayangkan jika stereotipe yang jelas-jelas berasal dari sebuah asumsi berkembang luas di institusi pendidikan dan terus bertahan sejak belasan dan mungkin saja puluhan tahun silam.
Katakan jika memang benar anak-anak IPA lebih pandai secara akademis, sementara yang masuk ke IPS adalah anak-anak yang tergolong nakal, patutkah stereotipe dibiarkan semakin berkembang? Atau mungkinkah justru metode mengajar di kelas IPA dan IPS yang harus dibenahi?
Toh, kita semua tahu anak-anak di kelas IPA memang dituntut memiliki logika matematis yang lebih tinggi, sementara anak-anak IPS harus dibiasakan untuk mengobservasi, menganalisis, serta menulis. Jelas berbeda.
Sebagai guru, saya menyayangkan ada rekan kerja saya yang mengkotak-kotakkan kedua bidang studi ini berdasarkan stereotipe. Ilmunya jelas beda. Jika anak-anaknya memang harus berbeda, maka biarkanlah berbeda. Ini yang menjadikan dunia pendidikan berwarna.
Tak semua anak harus jadi dokter atau arsitek. Biarkan mereka menggapai angan menggeluti dunia yang belum pernah atau tidak banyak dijelajahi. Menjadi arkeolog, sejarawan, peneliti, atau penulis. Biarkan mereka menjadi diri mereka sendiri tanpa harus merasa diadili.
Di belakang pesan tersebut, ia selipkan emoticon yang menampilkan wajah marah dan menangis. Kelihatannya ia kesal.
Wajar jika murid saya itu menyatakan keberatan. Ia sendiri adalah murid yang duduk di kelas IPS dan merasa bahwa selama ini berkelakuan cukup baik. Nyaris tidak pernah lalai mengerjakan tugas, hormat pada guru, dan nilai-nilainya pun tak pernah merah.
Sepanjang pengalaman saya mengajar anak itu dua tahun belakangan, ia memang tak pernah bermasalah. Ia bahkan termasuk salah satu anak yang menonjol dalam pelajaran bahasa Inggris. Kerap dikirim sekolah untuk lomba menulis atau debat bahasa Inggris.
Sebenarnya ini bukan kali pertama saya harus bergelut dengan perbedaan pendapat antara IPA dan IPS semenjak berprofesi sebagai guru. Perbedaan yang sama sekali bukan berdasarkan ilmu yang diajarkan kedua kelompok mata pelajaran ini, akan tetapi perbedaan berdasarkan stereotipe semata.
Ada anggapan yang beredar di dalam masyarakat bahwa anak-anak IPA memang lebih pintar, rajin, sopan, namun kaku seperti robot. Sebagai kontra, anak-anak IPS dikatakan lebih malas, nakal, nilai akademis rendah, namun kreatif dan selalu bersenang-senang. Benarkah demikian?
Perbedaan antara IPA dan IPS ini sama sekali bukan barang baru. Bahkan sejak saya masih duduk di bangku SMA, sekira 13 tahun lalu, stereotipe di antara keduanya ini sudah berlaku. Saya yang kebetulan termasuk anak IPS dianggap salah masuk kelas di hari pertama sekolah. Beberapa guru menyayangkan pilihan saya di IPS dan beberapa teman bingung mengapa saya tidak bergabung dengan mereka di kelas IPA.
Saya memang bukan murid dengan prestasi akademis cemerlang, tetapi kemampuan saya masih di atas rata-rata. Saya juga bukan tergolong anak yang punya daya kreativitas tinggi, nakal, atau gaul istilah kerennya.
Berdasarkan karakter saya itu, rupanya guru-guru dan beberapa teman sudah menempatkan saya di kelas IPA dalam benak mereka. Tetapi saya merasa bahwa kemampuan saya di bidang IPS jauh lebih unggul ketimbang IPA. Saya lebih tekun dan senang membaca, menulis, mengobservasi, atau menganalisis daripada harus berkutat dengan rumus dan angka. Saya merasa yakin pada pilihan ini.
Pengkotak-kotakan IPA dan IPS bukan dari segi ilmu, melainkan dari segi dugaan dan generalisasi, macam kasus saya dan murid saya tadi, dalam ilmu sosial disebut sebagai stereotipe.
Stereotipe adalah konsep keyakinan mengenai tipe-tipe spesifik individual tertentu. Keyakinan di dalam stereotipe terbangun dari asumsi semata. Misalnya saja, stereotipe polisi di Amerika Serikat adalah selalu identik dengan kopi dan donat. Maka tak heran jika dalam film-film drama seri polisi, pastilah ada adegan polisi berpatroli sembari meminum kopi dan mengunyah donat.
Di Indonesia, contoh stereotipe yang paling jelas biasanya berkaitan dengan karakter suku bangsa tertentu. Misalnya, perempuan dari suku bangsa Sunda memiliki stereotipe matre dan genit, orang Manado gemar berpesta, orang Padang pelit, atau orang Jawa terlalu bertele-tele dan tertutup. Semua itu tentu tidak bisa dipastikan kebenarannya secara ilmiah, tetapi mau tak mau kita harus mengakui bahwa pandangan-pandangan macam ini berkembang luas dalam masyarakat.
Pada tahapan lebih lanjut, stereotipe dapat berkembang menjadi diskriminasi dan menimbulkan prasangka. Prasangka merupakan sikap kaku dan tidak beralasan yang menilai orang atau kelompok lain berdasarkan perbedaan ras, kelas sosial, etnis, usia, ketidakmampuan, obesitas, agama, orientasi sosial, atau karakteristik personal lainnya. Prasangka inilah yang kemudian dapat mendorong terjadinya perilaku terbuka, seperti konflik.
Pembedaan IPA kontra IPS memang baru sebatas stereotipe. Akan tetapi sungguh disayangkan jika stereotipe yang jelas-jelas berasal dari sebuah asumsi berkembang luas di institusi pendidikan dan terus bertahan sejak belasan dan mungkin saja puluhan tahun silam.
Katakan jika memang benar anak-anak IPA lebih pandai secara akademis, sementara yang masuk ke IPS adalah anak-anak yang tergolong nakal, patutkah stereotipe dibiarkan semakin berkembang? Atau mungkinkah justru metode mengajar di kelas IPA dan IPS yang harus dibenahi?
Toh, kita semua tahu anak-anak di kelas IPA memang dituntut memiliki logika matematis yang lebih tinggi, sementara anak-anak IPS harus dibiasakan untuk mengobservasi, menganalisis, serta menulis. Jelas berbeda.
Sebagai guru, saya menyayangkan ada rekan kerja saya yang mengkotak-kotakkan kedua bidang studi ini berdasarkan stereotipe. Ilmunya jelas beda. Jika anak-anaknya memang harus berbeda, maka biarkanlah berbeda. Ini yang menjadikan dunia pendidikan berwarna.
Tak semua anak harus jadi dokter atau arsitek. Biarkan mereka menggapai angan menggeluti dunia yang belum pernah atau tidak banyak dijelajahi. Menjadi arkeolog, sejarawan, peneliti, atau penulis. Biarkan mereka menjadi diri mereka sendiri tanpa harus merasa diadili.
Comments
Post a Comment