image by jpp.go.id |
Mungkin
sebagian dari kita tidak menyadari bahwa angka kematian ibu dan bayi di
Indonesia tergolong tinggi, bahkan dapat dikatakan semakin meningkat dari tahun
ke tahun. Menurut laporan Indeks Pembangunan Manusia yang dilakukan oleh UNDP,
tahun 2003 kondisi kesehatan Indonesia berada di peringkat 112 dari 175 negara.
Ironis memang, apalagi jika kita mengetahui bahwa peringkat tersebut berada di
belakang Vietnam, negara yang memperoleh kemerdekaan jauh setelah Indonesia.
Kondisi kesehatan Indonesia yang sedemikian
rupa ini tentunya berpengaruh pada angka kematian ibu dan bayi. Tingginya angka
ini tidak terlepas dari peran sektor-sektor kehidupan yang tidak merata di
Indonesia, seperti kesehatan, pendidikan, ekonomi, dan sebagainya. Untuk lebih
jelasnya, berikut ini akan kita simak bersama mengenai permasalahan yang satu
itu.
Bagaimana
Angka Kematian Ibu dan Bayi di Indonesia?
Di Indonesia, data kesehatan tahun
1997 menyatakan angka kematian bayi mencapai 46 per 1.000 kelahiran hidup.
Menurut hasil sensus penduduk tahun 2000, diperkirakan 47 per 1.000 kelahiran
hidup, dan terus meningkat menurut Susenas, yaitu 50 per 1.000 kelahiran hidup
di tahun 2001. Sedangkan angka kematian ibu, terdapat peningkatan angka dari
tahun ke tahun yang tidak jauh berbeda. Pada tahun 1995, angka kematian ibu
sebesar 390 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini meningkat pada tahun 2001,
yaitu sebesar 393 per 100.000 kelahiran hidup. Angka yang melonjak ini otomatis menjadikan Indonesia sebagai
negara dengan angka kematian ibu tertinggi di ASEAN.
Apa
Penyebab Kematian Ibu dan Bayi?
Sektor-sektor kehidupan memiliki
pengaruh pada kematian ibu dan bayi. Rendahnya tingkat sosial ekonomi keluarga,
tingkat pendidikan – khususnya pendidikan kesehatan, kedudukan dan peranan
perempuan, faktor sosial budaya, dan faktor transportasi, merupakan penyebab
tidak langsung kematian ibu dan bayi di Indonesia. Kesemuanya itu juga
berpengaruh pada munculnya dua keadaan yang tidak menguntungkan, yaitu Tiga
Terlambat dan Empat Terlalu.
Tiga Terlambat
1.
Terlambat deteksi dini dan mengambil keputusan di
tingkat keluarga.
Dalam
kondisi semacam ini, tentunya tingkat pendidikan, khususnya pendidikan
kesehatan memiliki pengaruh. Minimnya pendidikan kesehatan yang dimiliki oleh
keluarga mengenai masa kehamilan dan melahirkan, menyebabkan kekurangtahuan
mereka dalam melihat dan menangani permasalahan yang berkaitan dengan kehamilan
dan kelahiran tersebut. Misalnya saja, sebuah keluarga terlambat mendeteksi
dini gejala-gejala yang nampak pada ibu hamil, yang ternyata justru merupakan
gejala dari sebuah keadaan sakit, bahkan cenderung membahayakan baik bagi ibu
maupun bayi.
2.
Terlambat merujuk karena kondisi geografis dan
transportasi.
Pembangunan
yang tidak merata di daerah-daerah Indonesia, merupakan salah satu penyebab
kondisi ini. Misalnya, sebuah keluarga yang sedang menantikan kelahiran bayi
bertempat tinggal di sebuah desa kecil di mana akses untuk mencapai pusat
kesehatan (posyandu, puskesmas,dsb), yang hanya berada di daerah perkotaan,
sulit dicapai. Selain karena jauhnya pusat kesehatan tersebut, sulitnya
transportasi juga dapat berpengaruh bila sewaktu-waktu ibu yang hamil merasakan
sesuatu pada kandungannya dan harus segera di bawa ke bidan.
3.
Terlambat dilayani di tempat rujukan.
Kondisi
ini dapat disebabkan oleh kurangnya layanan kesehatan bagi ibu dan bayi yang
tersedia. Kondisi seperti ini lagi-lagi banyak ditemui di daerah-daerah yang
terkena ketidakmerataan pembangunan, sehingga pelayanan kesehatan pun tidak
banyak.
Empat Terlalu
1.
Terlalu muda punya anak.
Faktor
ekonomi dan sosial budaya memiliki pengaruh pada kondisi ini. Misalnya, kondisi
sosial budaya pada masyarakat pedesaan di Jawa yang umumnya menikahkan anak
gadisnya pada usia yang relatif muda dengan alasan ekonomi, yaitu meringankan
beban orang tuanya. Maka efek lanjut dari pernikahan ini adalah anak gadis tadi
kemudian akan hamil dalam usia yang muda pula. Minimnya pendidikan kesehatan
juga berpengaruh, karena keluarga tadi tidak mengetahui apa saja resiko
melahirkan bayi di usia muda.
2.
Terlalu dekat jarak antara dua kehamilan dan
melahirkan.
Jarak
yang aman antara dua kehamilan dan melahirkan adalah jika anak sebelumnya telah
berusia lebih dari dua tahun. Jarak yang terlalu dekat memiliki resiko ketika
melahirkan. Dalam hal ini telah diupayakan berbagai penyuluhan bagi ibu hamil
di posyandu, puskesmas, atau pusat kesehatan lainnya, dan juga didukung oleh
program Keluarga Berencana. Tetapi masalah akan timbul pada daerah-daerah yang
minim pusat pelayanan kesehatannya.
3.
Terlalu sering melahirkan.
Melahirkan
bayi lebih dari tiga kali juga beresiko meningkatkan angka kematian ibu dan
bayi di Indonesia. Mungkin ini agak sulit dibendung, mengingat di beberapa
daerah kita, terdapat anggapan ‘banyak anak, banyak rezeki’. Selain itu,
sebenarnya memiliki banyak anak juga merupakan pengadaan sumber daya manusia
atau pekerja bagi keluarga petani di Jawa, misalnya. Banyaknya anak yang
dimiliki keluarga petani, dapat diberdayakan untuk mengerjakan sawah tanpa
harus mengeluarkan biaya untuk membayar tenaga buruh tani. Suatu keadaan yang
menguntungkan menurut persepsi mereka tanpa diimbangi dengan pendidikan dan
kondisi kesehatan yang memadai. Namun sebenarnya kondisi ini diantisipasi oleh
pemerintah, salah satunya melalui program Keluarga Berencana.
4.
Terlalu tua untuk punya anak.
Usia
di atas 35 tahun merupakan usia yang tergolong ‘tua’ bagi seorang perempuan
untuk hamil dan melahirkan. Pada usia ini resiko melahirkan cenderung lebih
besar dibandingkan usia sebelumnya. Kondisi seperti ini dapat terjadi bila
tidak ada kontrol terhadap kehamilan, ketika suami istri melakukan hubungan
seksual. Selain itu terlambat menikah juga dapat mendukung terjadinya kondisi
ini.
image by solusisehatku.com |
Comments
Post a Comment