Skip to main content

Menyoroti Film sebagai Variasi Media Pembelajaran Materi Kebebasan Pers Pendidikan Kewarganegaraan di SMA



Di era kemajuan teknologi informasi, tak sedikit guru meningkatkan kreativitasnya dalam memilih media pembelajaran. Berbagai alternatif media pembelajaran pun dipilih guna meningkatkan pemahaman para siswa terhadap materi yang diajarkan, baik itu media visual, media audio, maupun media audio visual.

Salah satu media pembelajaran audio visual yang menjadi pilihan adalah film. Melalui film, guru menyajikan tidak hanya gambar atau contoh-contoh sikap yang dapat dilihat oleh para siswa, melainkan lengkap juga dengan suara berisi informasi yang dapat ditangkap oleh para siswa secara auditori. Ketika indera penglihatan dan pendengaran para siswa bekerja, diharapkan pesan dalam film pun dapat meresap secara kognitif, psikomotor, maupun afektif.

Film pun kemudian menjadi alternatif bagi guru dalam kegiatan belajar mengajar. Mulai dari film yang memang dibuat khusus untuk kegiatan belajar mengajar, film dokumenter, hingga film feature garapan sutradara ternama dari Hollywood.

Dalam Pendidikan Kewarganegaraan, tak terlalu sulit memilih film yang seiring dengan materi pelajaran. Pasalnya, Pendidikan Kewarganegaraan sebagai rumpun ilmu yang membentuk karakter dan kepribadian siswa, tentu lekat dengan kehidupan masyarakat dalam berbagai lapisan. Banyak isu yang bisa diangkat, seperti masalah moralitas, kesenjangan, hak asasi manusia, konflik internasional, dan sebagainya.

Menyoroti secara khusus isu mengenai bab Peranan Pers dalam Masyarakat Demokrasi, selanjutnya disingkat dengan istilah kebebasan pers, yang tertuang dalam Bab III kelas XII SMA, tak sedikit film feature garapan sutradara Hollywood yang dapat digunakan sebagai media pembelajaran. Penulis akan menyoroti dua di antaranya, yakni All the President’s Men karya sutradara Alan J. Pakula di tahun 1976 dan Spotlight karya Tom McCarthy yang baru saja didaulat sebagai film terbaik tahun 2015 di ajang bergengsi Academy Awards.

All the President's Men

All the President’s Men merupakan film thriller politik yang terinspirasi dari buku dengan judul yang sama karya Carl Bernstein dan Bob Woodward di tahun 1974. Dua jurnalis ini meliput skandal Watergate yang melibatkan Presiden Richard Nixon dan membuatnya menjadi berita eksklusif dalam media tempat mereka bekerja, The Washington Post.

Film berputar pada kisah Carl dan Bob yang ditugaskan oleh Washington Post untuk menyelidiki pembobolan di kantor Partai Demokrat. Penyelidikan yang mereka lakukan membawa mereka jauh ke dalam intrik yang melibatkan orang-orang penting dalam pemerintahan. Dua jurnalis yang memenangi penghargaan Pulitzer ini berhasil menembus informasi rahasia melalui informan rahasia yang ditulis dalam The Washington Post sebagai sumber anonim.

Dalam kaitannya dengan materi kebebasan pers, film All the President’s Men sarat pesan mengenai peranan pers dalam masyarakat, terutama keterkaitannya dengan institusi pemerintahan. Media The Washington Post memperlihatkan bagaimana situasi industri pers dalam kehidupan kesehariannya. Hal ini memberikan gambaran kepada para siswa mengenai definisi, fungsi, dan peran pers. Meski pun tidak berlatar belakang industri pers di Indonesia, namun The Washington Post mampu memberikan gambaran yang cukup akan bagaimana sebuah media bekerja, termasuk media di Indonesia.

All the President’s Men juga mampu menggambarkan kedudukan pers dibandingkan dengan pemerintahan. Sesuai dengan materi peranan pers dalam negara liberal (maju), pers memang berkedudukan sejajar dengan pemerintahan dan mampu menjadi alat kontrol bagi kinerja pemerintahan.

All the President’s Men juga memperlihatkan bagaimana kode etik jurnalistik ketika pers harus berhadapan dengan sumber anonim. Hal ini berkaitan dengan materi Pendidikan Kewarganegaraan yang mencoba mengevaluasi kebebasan pers lewat aturan yang bernama kode etik jurnalistik sekaligus melihat bagaimana dampak penyalahgunaan kebebasan pers yang kerap terjadi.


Film lainnya yang juga dapat menjadi alternatif media pembelajaran dalam materi kebebasan pers adalah Spotlight. Tak berbeda dengan All the President’s Men, Spotlight juga didasarkan pada kisah nyata. Film ini menuturkan tim spotlight dalam surat kabar The Boston Globe, yang sekaligus merupakan salah satu tim investigasi jurnalisme tertua di Amerika Serikat.

Tim ini melakukan penyelidikan terhadap dugaan pelecehan seksual terhadap anak di wilayah Boston yang dilakukan oleh sekelompok pendeta Katolik Roma. Di tahun 2003, tim spotlight The Boston Globe pun mampu menyabet penghargaan Pulitzer atas jasanya terhadap pelayanan masyarakat.

Film ini memuat pesan bagaimana fungsi dan peran pers dalam masyarakat, sesuai yang tertuang dalam materi mengenai kebebasan pers. Film ini memperlihatkan berjalannya fungsi pers sebagai media kontrol sosial. Dalam hal ini, pers memaparkan peristiwa yang buruk, keadaan yang tidak pada tempatnya dan yang menyalahi aturan, supaya peristiwa itu tidak terulang lagi.

Dalam kaitannya dengan materi Pendidikan Kewarganegaraan, film ini memperlihatkan bagaimana tim spotlight berupaya menyajikan berita yang berimbang, menguak fakta yang mampu dipertanggungjawabkan kebenarannya. Pimpinan The Boston Globe pun terlihat berhati-hati agar medianya tak menyajikan berita yang tak berdasar. Dalam melakukan pekerjaannya, tim spotlight pun menjunjung kode etik jurnalistik.

Film ini juga penulis nilai efektif karena pesan yang termuat di dalamnya sesuai dengan materi pembelajaran. Alur yang dikemas runut juga menjadikan film ini bisa jadi memiliki konflik yang rumit, namun mudah dipahami para siswa.

Melalui dua film ini, dan media film pada umumnya, para siswa diharapkan mampu menerima pesan yang terkandung dan berkaitan dengan materi pelajaran yang disampaikan oleh guru. Penyajian materi oleh guru secara teori akan terbantu dengan realita-realita yang nampak pada film.

Comments

Popular posts from this blog

(Promo Video) Not an Angel, a Devil Perhaps

Dear friends, family, students, and readers, This is a video promotion for my 1st ever novel: Not an Angel, a Devil Perhaps I wrote it in a simple chicklit style, but the conflict and message are worth to wait. Unique, and not too mainstream. If I could start a new genre, probably it will be Dark Chicklit or what so ever. I will selfpublish Not an Angel, a Devil Perhaps  with one of Jakarta's indie selfpublish consultant in a couple of month. Just check out the date and info from my blog, twitter, facebook, or blackberry private message. Please support literacy culture in our country. Wanna take a sneak peak of my novel? Check out this video! Cheers, Miss Tya

Pahlawan & Kita: Sebuah Perayaan Bersama Para Alumni

  Hari ini, 10 November 2020, para siswa SMA Global Prestasi mendapatkan satu pertanyaan ketika Student’s Assembly . Sebuah pertanyaan yang sederhana, namun memiliki makna mendalam, karena bertepatan dengan perayaan Hari Pahlawan: “Siapakah pahlawan di dalam kehidupanmu?” Berbicara soal pahlawan, mungkin dibenak para siswa SMA Global Prestasi yang terlintas adalah para tokoh pejuang, seperti Soekarno, Hatta, Syahrir, atau bahkan Bung Tomo sendiri yang 75 tahun silam di hari yang sama mengobarkan semangat para pemuda Surabaya dalam orasinya. Akan tetapi, ketika ditanya mengenai siapa sosok pahlawan dalam kehidupan pribadi, setiap siswa punya jawaban yang tak jauh berbeda; yakni orang tua dan para guru yang telah membimbing dan menginspirasi sepanjang kehidupan mereka. Mengusung tema “Pahlawan & Kita” yang menyiratkan bahwa sosok pahlawan ternyata ada di kehidupan sekitar kita, tahun ini SMA Global Prestasi kembali mengenalkan para siswanya kepada lulusan-lulusan terbaik yang...

Berhenti Berbicara, Mulailah Menari!

  “Cara untuk memulai adalah berhenti bicara dan mulai melakukan.” Kata-kata sederhana itu entah mengapa tak pernah bisa lepas dari alam pikiran saya. Meskipun sang penuturnya telah lama berpulang, bahkan puluhan tahun sebelum saya dilahirkan. Walt Disney, sosok yang bagi saya mampu mewujudkan alam mimpi menjadi nyata dan menyenangkan. Sebagai seorang pendidik, berbicara merupakan makanan sehari-hari bagi saya. Di depan kelas – kelas virtual sekalipun, saya dituntut untuk terus berbicara. Tentu bukan sekedar asal bicara, melainkan menuturkan kata-kata bijak yang bersifat membimbing, memperluas pengetahuan, memperkaya wawasan, dan mengembangkan karakter anak-anak didik saya. Tidak sehari pun saya lalui tanpa berbicara penuh makna sepanjang 10 tahun saya menjadi seorang pendidik. Apa saja yang saya bicarakan? Tentunya banyak dan tak mungkin muat dalam 500 kata yang harus saya torehkan di sini. Namun salah satu yang saya tak pernah berhenti lantunkan kepada anak-anak didik adalah ...