Malaikat turun ke bumi,
melepaskan sayapnya, meninggalkan peraduannya yang nyaman, hanya untuk
mencintai. Mencintai manusia yang fana, yang tadinya tak terlihat, namun
kemudian berjuang keras agar dirinya bisa memenuhi ruang hati sang malaikat.
Dan ia berhasil.
Siapa yang tak akan jatuh hati
pada sosok yang terlihat kuat, namun dalam hatinya begitu rapuh. Haus akan
kasih sayang, rindu pada belaian lembut, mendambakan sosok penyayang yang telah
lama hilang dari hidupnya.
Sang malaikat mampu memberikan
semua itu dengan tulus. Tanpa berharap balasan. Ia hanya punya satu syarat, “Jangan
pernah berbohong kepadaku.”
Manusia itu berkata, “Tidak akan.”
Maka terjalinlah sebuah kisah
antara mereka.
Malaikat mengajari manusia agar
selalu memiliki kelembutan hati, meredam emosi, menjalani hidup dengan teratur,
belajar mencintai diri sendiri terlebih dahulu, sebelum mencintai orang lain.
Manusia merasa kesusahan. “Aku
tidak bisa! Aku ingin mengakhiri saja hidupku,” katanya berulang kali.
Sang malaikat selalu memeluknya
erat, menenangkannya, memberikannya kenyamanan yang selamanya tak akan pernah
ia peroleh dari makhluk lain. Manusia itu pun selalu bangkit, bangkit, dan
bangkit kembali. Terus begitu karena sang malaikat selalu berada di sisinya.
Tidak ada yang menyerah pada hubungan yang janggal ini.
Manusia itu kemudian menjelma menjadi makhluk yang lebih baik dari sebelumnya. Masih jauh dari sempurna, namun lebih
baik. Ia belajar mencintai dirinya, lebih teratur, punya cita-cita, bisa
menatap harapan dan masa depan, mampu meredam emosi, menjadi sahabat dan
pemimpin yang baik.
Terpenting, ia kini dikelilingi
banyak teman. Tak lagi merasa sendiri. Tak lagi merasa tersesat. Semua berkat
kerja kerasnya sendiri dan dukungan sang malaikat.
Hingga pada akhirnya...
Manusia tidak pernah dapat
mengingkari kodratnya sebagai makhluk fana. Semua itu hanya sementara. Tidak akan
ada yang abadi dari manusia. Tidak juga hubungannya dengan malaikat yang meski
janggal, namun semestinya selamanya.
Setelah menjadi makhluk yang
lebih baik, manusia memutuskan untuk meninggalkan sang malaikat. Raganya memang
menetap di sisi malaikat, akan tetapi kebohongan demi kebohongan terus
bergulir. Perasaan yang tidak tulus dan mencari pelarian sesaat pun lambat laun
terlihat.
“Aku pernah bilang, jangan
berbohong kepadaku,” kata malaikat.
“Aku tidak berbohong!”
“Semua yang kamu katakan tidak
nampak seperti yang kulihat dengan mataku sendiri.”
Manusia terdiam.
Malaikat menjadi ragu pada sosok
manusia yang ia kenal selama ini. Ia merasa pernah mengenalnya, tetapi tidak
seperti ini.
Manusia kemudian memilih
mencintai manusia lain. Ia merasa sudah cukup tugas malaikat memperbaiki
hidupnya. Kini ia akan memulai kisah baru. Sebuah kisah yang tidak janggal,
lebih menyenangkan, dan tak akan ada akhirnya.
Lalu, bagaimana dengan sang
malaikat?
Ia telah terlanjur terbuang dari
kumpulannya. Sayapnya telah lama patah. Tak ada jalan untuk kembali ke surga,
betapa pun ia ingin. Ia telah banyak kehilangan, padahal kini manusia tak dapat
dipercaya. Tak ada tempat bagi manusia lagi di ruang hatinya.
Malaikat telah hancur. Hatinya
pecah berkeping-keping. Rasa sayangnya yang begitu mendalam pada manusia,
berubah menjadi kesedihan yang teramat panjang, dan pada akhirnya berakhir menjadi kebencian.
“Pergilah kamu dari hidupku, dan
jangan kembali lagi,” ucap malaikat dengan marah.
“Maafkan aku,” kata manusia,
setengah meratap.
“Tidak. Kesempatan bagimu sudah
habis. Aku tidak akan pernah sudi menanti pembuktianmu yang berujung omong kosong.”
“Memangnya apa salahku?”
“Tanya pada dirimu sendiri. Hanya
kamu yang tahu jawabannya.”
“Mengapa semua jadi seperti ini?”
“Kamu sendiri yang meminta. Sekarang,
pergilah dari hidupku. Jangan ganggu aku lagi.”
“Tapi...”
“Jangan pernah kembali padaku. Sekali
pun. Selamanya.”
Malaikat pun kini menapaki jalan
hidupnya tanpa manusia. Ia menjelma dari malaikat penuh kasih, menjadi malaikat maut yang membenci manusia.
Selamanya.
Comments
Post a Comment