Untukmu, yang selalu senang membaca tulisan saya...
Kamu dan sahabat karibmu itu selalu antusias setiap saya mulai menulis. Terutama jika kata-kata yang mengalir dari benak saya berkisah tentang kalian berdua.
Tidak terasa kini sudah tiga tahun saya menulis kisahmu. Entah sudah berapa kali kamu tertawa, terharu, atau mungkin merasa kesal saat membaca tulisan-tulisan saya tentangmu.
Masih ingatkah kamu, sekira tiga tahun lalu, saya memberikan lembaran-lembaran kertas kepada sahabatmu? Saat itu saya berkata kepadanya, "jangan berikan kertas ini pada dia. Kamu baca saja dulu, lalu beritahu saya apa tulisan ini pantas ia baca."
Namun yang namanya sahabatmu, pasti akan selalu setia kepadamu. Dalam sekejap, tulisan saya sudah kamu baca. Kemudian saya dengar darinya, kamu terharu. Menangis, atau hampir menangis, saya tidak dapat mengingat dengan pasti.
Itulah kali pertama saya menulis tentangmu, untukmu...
Sejak saat itu, kisah tentangmu dan sahabatmu terus bergulir lewat tulisan-tulisan saya. Mungkin memang tidak terlalu personal seperti tulisan pertama, akan tetapi hampir dalam setiap kisah yang saya buat, kalian selalu ada. Dirimu selalu terselip dalam ruang memori saya mengenai sekolah.
Saya selalu senang menulis tentangmu dan sahabatmu. Kalian berdua lucu dan inspiratif. Meski banyak yang kemudian membenci saya karena terlalu menyayangi kalian, namun saya tidak pernah berhenti menulis dan sayang kalian.
Kamu dan sahabatmu pada mulanya bergantung pada saya. Kalian bercerita tentang apa saja pada saya. Tentang keluarga, tentang cinta pertama, tentang hari tersial saat mobilmu menabrak di tengah malam buta, sampai perihnya patah hati.
Suatu hari, pukul dua dini hari, kamu berkata bahwa kamu menyayangi saya. Bagi saya, itu sangat manis. Saya merasa dibutuhkan, merasa hidup saya berguna bagi orang lain yang bukan keluarga. Sejak hari itu, saya menganggapmu anak saya sendiri.
Tahun-tahun berikutnya bergulir, dan keadaan menjadi tidak sama. Meski kamu dan sahabatmu selalu menjaga saya, namun hubungan kita mulai menyisakan jarak. Hal itu sempat membuat saya sedih. Apalagi perilakumu juga mulai berubah. Kamu berada dalam proses pencarian jati diri dan seolah tak ada yang mengarahkan. Seberapa sepikah hati dan pikiranmu saat itu?
Saya bahkan melewatkan hari istimewamu di tahun itu. "17 adalah angka istimewa, tapi saya harus melewatkannya tanpa dua mama saya. Tidak yang di rumah, tidak juga yang di sekolah. Saya bahagia, tapi ada sesuatu yang hilang di dalam senyum saya," katamu saat itu.
Hati saya sedih bukan main. Saya pun bertekad akan selalu menjagamu hingga akhir. Hingga tahun terakhir ini.
Saya kembali menulis sesuatu yang personal untukmu akhir tahun lalu. Saat itu kamu sedang mengalami masalah dan seolah tak ada yang mendukungmu. Kecuali, tentu saja, sahabat-sahabatmu dan saya. Meski jarak yang memisahkan kita semakin lebar, namun saya tetap memegang tekad saya, menjagamu hingga akhir.
Saya tahu kamu akan sulit percaya, tetapi ini adalah kenyataannya. Tidak semua hal harus diperlihatkan secara terang-terangan dan diumumkan dengan lantang di depan umum, bukan?
Kini, waktu bagi kita memang tak banyak lagi. Tinggal hitungan hari. Setelah itu, jalan hidup kita mungkin tak akan pernah menyatu lagi. Kita akan sulit untuk bertemu kembali. Kenangan ini pun lambat laun akan sirna. Entahlah, hidupmu masih panjang. Saya telah cukup melihatmu tumbuh dari bocah remaja yang jahil, menuju lelaki menjelang dewasa yang ingin menemukan jati dirinya.
Kamu tahu, bagi saya angka 18 jauh lebih istimewa daripada 17. Karena 18 berarti selangkah lagi menuju kedewasaan. Jadilah dewasa, jalani hidupmu dengan baik, temukan siapa dirimu yang sebenarnya. Jadikan semua kenangan bersama saya ini pelajaran berharga dalam hidupmu kelak.
Ini bukan ucapan selamat tinggal, atau pun perpisahan. Akan tetapi mungkin ini adalah tulisan saya yang terakhir tentangmu, untukmu...
Selamat beranjak dewasa, Nak.
Sayang saya selalu untukmu.
Mama keduamu :)
Kamu dan sahabat karibmu itu selalu antusias setiap saya mulai menulis. Terutama jika kata-kata yang mengalir dari benak saya berkisah tentang kalian berdua.
Tidak terasa kini sudah tiga tahun saya menulis kisahmu. Entah sudah berapa kali kamu tertawa, terharu, atau mungkin merasa kesal saat membaca tulisan-tulisan saya tentangmu.
Masih ingatkah kamu, sekira tiga tahun lalu, saya memberikan lembaran-lembaran kertas kepada sahabatmu? Saat itu saya berkata kepadanya, "jangan berikan kertas ini pada dia. Kamu baca saja dulu, lalu beritahu saya apa tulisan ini pantas ia baca."
Namun yang namanya sahabatmu, pasti akan selalu setia kepadamu. Dalam sekejap, tulisan saya sudah kamu baca. Kemudian saya dengar darinya, kamu terharu. Menangis, atau hampir menangis, saya tidak dapat mengingat dengan pasti.
Itulah kali pertama saya menulis tentangmu, untukmu...
Sejak saat itu, kisah tentangmu dan sahabatmu terus bergulir lewat tulisan-tulisan saya. Mungkin memang tidak terlalu personal seperti tulisan pertama, akan tetapi hampir dalam setiap kisah yang saya buat, kalian selalu ada. Dirimu selalu terselip dalam ruang memori saya mengenai sekolah.
Saya selalu senang menulis tentangmu dan sahabatmu. Kalian berdua lucu dan inspiratif. Meski banyak yang kemudian membenci saya karena terlalu menyayangi kalian, namun saya tidak pernah berhenti menulis dan sayang kalian.
Kamu dan sahabatmu pada mulanya bergantung pada saya. Kalian bercerita tentang apa saja pada saya. Tentang keluarga, tentang cinta pertama, tentang hari tersial saat mobilmu menabrak di tengah malam buta, sampai perihnya patah hati.
Suatu hari, pukul dua dini hari, kamu berkata bahwa kamu menyayangi saya. Bagi saya, itu sangat manis. Saya merasa dibutuhkan, merasa hidup saya berguna bagi orang lain yang bukan keluarga. Sejak hari itu, saya menganggapmu anak saya sendiri.
Tahun-tahun berikutnya bergulir, dan keadaan menjadi tidak sama. Meski kamu dan sahabatmu selalu menjaga saya, namun hubungan kita mulai menyisakan jarak. Hal itu sempat membuat saya sedih. Apalagi perilakumu juga mulai berubah. Kamu berada dalam proses pencarian jati diri dan seolah tak ada yang mengarahkan. Seberapa sepikah hati dan pikiranmu saat itu?
Saya bahkan melewatkan hari istimewamu di tahun itu. "17 adalah angka istimewa, tapi saya harus melewatkannya tanpa dua mama saya. Tidak yang di rumah, tidak juga yang di sekolah. Saya bahagia, tapi ada sesuatu yang hilang di dalam senyum saya," katamu saat itu.
Hati saya sedih bukan main. Saya pun bertekad akan selalu menjagamu hingga akhir. Hingga tahun terakhir ini.
Saya kembali menulis sesuatu yang personal untukmu akhir tahun lalu. Saat itu kamu sedang mengalami masalah dan seolah tak ada yang mendukungmu. Kecuali, tentu saja, sahabat-sahabatmu dan saya. Meski jarak yang memisahkan kita semakin lebar, namun saya tetap memegang tekad saya, menjagamu hingga akhir.
Saya tahu kamu akan sulit percaya, tetapi ini adalah kenyataannya. Tidak semua hal harus diperlihatkan secara terang-terangan dan diumumkan dengan lantang di depan umum, bukan?
Kini, waktu bagi kita memang tak banyak lagi. Tinggal hitungan hari. Setelah itu, jalan hidup kita mungkin tak akan pernah menyatu lagi. Kita akan sulit untuk bertemu kembali. Kenangan ini pun lambat laun akan sirna. Entahlah, hidupmu masih panjang. Saya telah cukup melihatmu tumbuh dari bocah remaja yang jahil, menuju lelaki menjelang dewasa yang ingin menemukan jati dirinya.
Kamu tahu, bagi saya angka 18 jauh lebih istimewa daripada 17. Karena 18 berarti selangkah lagi menuju kedewasaan. Jadilah dewasa, jalani hidupmu dengan baik, temukan siapa dirimu yang sebenarnya. Jadikan semua kenangan bersama saya ini pelajaran berharga dalam hidupmu kelak.
Ini bukan ucapan selamat tinggal, atau pun perpisahan. Akan tetapi mungkin ini adalah tulisan saya yang terakhir tentangmu, untukmu...
Selamat beranjak dewasa, Nak.
Sayang saya selalu untukmu.
Mama keduamu :)
Comments
Post a Comment