Saat sebuah sistem terasa begitu membebani, tentulah kita
akan mengupayakan seribu satu cara untuk lari darinya. Akan tetapi semakin kita
mencoba lari, semakin erat pula sistem itu mengikat tangan dan kaki kita. Pada akhirnya,
kesempatan untuk lari menjadi semakin sulit dan terasa mustahil.
Dalam sistem rapuh di mana saya tengah berada, ada satu
alasan yang membuat saya tak bisa lari darinya. Bukan uang, bukan jabatan,
bukan pula popularitas. Alasan itu adalah mereka, para murid. Tak heran jika
banyak dari mereka yang kini telah lulus masih saja heran melihat saya bertahan
dalam sistem itu. Bukannya betah, melainkan tak sanggup meninggalkan.
Sekira dua tahun lalu, saya telah memantapkan hati untuk
menjadikan angkatan 8 sebagai angkatan terakhir yang tersimpan di dalam relung
hati. Saya pun bertekad setelah melepas mereka menamatkan SMA, saya pun akan
tinggal landas dari sistem yang semakin menjerat ini. Lulus bersama mereka.
Maka sejak angkatan 9 hadir untuk pertama kalinya, saya
mengunci hati saya rapat-rapat. Setelah 4 angkatan, tak ada lagi ruang bagi
mereka. Beruntung di tahun pertama angkatan 9 hadir, saya hanya kebagian
mengajar 2 kelas IPS. Jadi saya hanya mengenal tak sampai separuh dari mereka.
Meski beberapa dari mereka kemudian mencoba mengenal saya
lebih dekat, saya memilih untuk menjauh dan meninggalkan mereka perlahan-lahan.
Biarlah angkatan 9 tak perlu memandang saya sebagai sosok yang sama di mata
kakak-kakak kelasnya, terutama angkatan 7 dan angkatan 8 yang teramat lekat
dengan saya.
Kini di tahun kedua angkatan 9 menimba ilmu, saya tetap
kebagian mengajar 2 kelas IPS yang sama. Tak ada peluang untuk mengenal mereka
lebih dekat. Terbersit minat pun tidak. Namun apa yang kemudian terjadi?
Salah satu anak IPS itu menghubungi saya lewat line. “Miss,
tidak ada guru lain yang saya suka di sekolah ini selain Miss,” ucapnya.
Tak hanya itu saja, ia menambahkan, “Nanti kalau kakak kelas
sudah lulus, saya akan mendekatkan angkatan saya ke Miss.”
Sebuah anak panah seolah melesat menghujam jantung saya.
Saya benar-benar tak berdaya mendengarnya. Bahkan di saat saya memilih untuk
tak peduli pada mereka, mereka masih mengharapkan saya. Saya pun merasa
bersalah bukan main.
Saya telah lupa, bahwa saya adalah seorang guru. Seorang
guru harus memperlakukan setiap muridnya setara, tak peduli apa yang tengah
berkecamuk di dalam batin sang guru. Meski sistem telah menjerat saya
sedemikian rupa, saya tak boleh menimpakan emosi saya pada mereka. Sedikit pun
saya tak boleh meninggalkan mereka.
Saya tersadar, boleh saja saya menjadikan angkatan 7 dan
angkatan 8 sebagai angkatan yang paling dekat di hati, akan tetapi saya tak
boleh sekali-kali mengabaikan angkatan-angkatan lainnya. Termasuk angkatan 9
yang ternyata mengharapkan saya, dan mungkin juga angkatan 10 yang baru saja
muncul.
Baiklah, sudah saatnya saya membuka hati bagi mereka. Lari
dari sistem, itu perkara nanti. Angkatan 8 masih memiliki waktu beberapa bulan
lagi sebelum mereka mengenakan toga dan naik ke mimbar kelulusan. Di waktu yang
tersisa itu, saya masih bisa mengawali apa yang seharusnya saya lakukan
terhadap angkatan 9 tahun lalu. Sebuah kesempatan untuk saling mengenal.
Mereka mungkin tak akan pernah dapat menggantikan posisi
angkatan 7 dan terutama angkatan 8 di hati saya, akan tetapi saya akan
menyisakan ruang yang cukup bagi mereka semua yang mau dekat dengan saya.
Maaf jika selama ini kalian sedikit terlupakan. Mari kita
mulai lagi berkenalan dari awal. Perkenalkan, saya guru Sosiologi dan Civics
kalian...
Aku pun demikian,rekan sejawat...Berpikir untuk mengantarkan angkatan 8 menuju gerbang kebebasan....Tapi kenyataan tak bisa sesuai harapan..sedih rasanya disaat kedekatan terjalin begitu erat...
ReplyDeleteDemikian juga angkatan 9.....tak pernah terpikirkan utk dekat dengan mrk...Namun,beberapa anak begitu susah untuk dilupakan...Bahkan sampai sekarang,menghubungi mereka masih menjadi kegiatan yang wajib dilakukan..Demi memuaskan rasa rindu..
Untukmu sahabatku,tak bisa kau pungkiri hati seorg guru...bagaimanapun usaha utk tak dekat dengan mereka,waktu akan menuntunmu pada mereka...karena hati kita memanglah persinggahan mereka...