Empat tahun penuh saya belajar ilmu Antropologi di bangku
perkuliahan. Saya belajar bahwa masyarakat dalam bentuk apa pun memiliki
nilai-nilai luhur yang mempengaruhi perilaku mereka. Mengapa masyarakat A
seperti ini dan mengapa masyarakat B seperti itu, semua dapat dijelaskan dengan
gamblang melalui kebudayaan yang mereka miliki.
Lalu, saya juga sering mendengar tentang masyarakat kita
yang mengusung budaya timur. Namun yang saya tak pernah pahami seutuhnya,
bagaimana kah wujud budaya timur itu sesungguhnya? Budaya yang didominasi
nilai-nilai Islam? Budaya asli Indonesia yang diadopsi dari budaya suku bangsa
tertentu? Atau apa?
Hal yang saya telah pelajari selama ini, budaya suku bangsa
di Indonesia berbeda-beda. Di Nanggroe Aceh Darussalam misalnya, nilai Islam
begitu dijunjung tinggi sedari dulu.Sudah barang tentu para perempuan di sana
diwajibkan berhijab. Akan tetapi di belahan timur Papua, masyarakat masih ada
yang mengenakan koteka – nyaris tanpa pakaian konvensional seperti yang pada
umumnya kita kenal sekarang ini. Dua-duanya tetap budaya Indonesia kan?
Lalu, budaya timur yang mana kah yang tengah kita bicarakan?
Mungkin pemikiran saya saat ini terlalu dangkal atau
terkesan emosional, namun saya tak sedang menggurui atau menganalisa tentang
konsep kebudayaan. Saya hanya tak habis pikir setelah mendengar seseorang
mengatakan guru tak pantas merangkul murid-muridnya, karena tak sesuai dengan
budaya timur. Tidak sesuai dengan etika.
Lagi, budaya timur manakah yang tengah kita bicarakan?
Saya paham sepenuhnya, jika guru bukanlah orang tua. Bahkan
seorang guru tak pernah mendekati kedudukannya sebagai pengganti orang tua.
Guru, ya guru. Para pendidik yang berhadapan dengan murid-murid nyaris setiap
hari di sekolah. Tugas guru adalah mendidik, membimbing, mengarahkan,
menasihati para murid mengenai kebanyakan persoalan akademis. Namun tak luput
juga dari urusan karakter dan pelajaran hidup.
Dalam hal ini tentu saja guru tidak merangkul atau memeluk
murid-muridnya setiap kali. Itu tugas orang tua. Bahkan agak aneh jika melihat
guru memeluk murid-muridnya tanpa alasan yang jelas. Bisa-bisa dikira sebagai
sebuah bentuk pelecehan!
Saya memiliki pemikiran yang mungkin agak berbeda sebagai
guru. Jika kalian pernah, atau saat ini menjadi guru, mungkin kalian bisa
mencoba memahami pemikiran saya ini.
Bayangkan murid perempuanmu datang, menceritakan sebuah
kisah sedih. Entah ia baru putus dari pacarnya, bertengkar dengan ibunya, atau
tengah menghadapi kesulitan besar yang
tak mampu ia hadapi sendiri. Kemudian ia menangis. Tidakkah kamu sebagai
manusia, terdorong untuk berempati dan ingin memeluknya untuk memberikan rasa
nyaman?
Pernahkah murid lelakimu datang dengan cerita mengenai
sebuah kekecewaan dalam hidupnya. Entah karena ia merasa selalu mengambil
keputusan yang salah, tak pernah nampak baik di mata semua orang, atau membuat
orang terdekatnya kecewa. Tidakkah kamu sebagai manusia, terdorong untuk
menepuk bahunya, membelai kepalanya, atau bahkan merangkulnya untuk meyakinkan
dia bahwa semua akan baik-baik saja?
Sebuah tepukan, belaian, rangkulan, dan pelukan memang tidak
akan pernah menyelesaikan masalah murid-murid malang itu. Akan tetapi saya
percaya semua itu dapat membantu meringankan beban mereka walau sejenak.
Apakah budaya timur yang konon katanya lebih luhur dan
beradab melarang semua dorongan naluri untuk meringankan beban orang lain?
Apakah budaya timur yang konon katanya paling benar itu melarang semua sentuhan
empati itu? Jika iya, budaya timur yang manakah yang tengah kita junjung saat
ini?
Sebagai guru, segala bentuk sentuhan empati itu mungkin baru
bisa terbit saat hubungan guru dengan murid telah cukup dekat. Tidak aneh
sebenarnya, mengingat sekolah adalah tempat sosialisasi sekunder di mana anak
belajar tentang hidup paling banyak setelah keluarga. Anak juga menghabiskan
waktu lebih banyak di sekolah ketimbang di rumah setiap minggunya. Tak heran
jika kemudian kita mendapati anak-anak yang lebih sering berinteraksi dengan
gurunya ketimbang orang tuanya sendiri.
Ah, bagi saya wajar saja jika guru dekat dengan murid. Toh
tetap ada batasan yang harus dijaga dan segala bentuk hubungan itu tetap
tinggal di dalam sekolah. Di luar sekolah, guru tak lagi milik murid-muridnya,
melainkan kembali menjadi milik keluarga dan teman-temannya. Itu yang
terpenting.
Lalu, apa yang salah dengan pelukan? Masih juga melanggar
budaya timur? Mendobrak etika? Melawan hukum?
Cibiran dan pandangan sinis seperti itu adalah persoalan
yang harus dikikis. Menurut saya orang-orang dengan pandangan seperti itu
hatinya telah tertutup dan tak punya rasa empati. Mungkin ia hanya tak mau
repot-repot merasakan penderitaan orang lain, atau yang parah adalah ketika ia
tak lagi bisa merasakan kesusahan orang lain. Bahaya sekali jika masyarakat
kita disesaki orang-orang tanpa hati.
Saya pernah membayangkan pada proses penciptaan, orang-orang
yang tak mampu berempati ini sibuk mengantri dan berebutan di tempat pembagian
otak. Semua berlomba menjadi yang terpintar. Akibatnya mereka lupa mengantri di
tempat pembagian hati. Jadi ketika saatnya bagi mereka untuk turun ke dunia,
hanya otak yang menjadi bekal mereka. Tanpa hati.
Saya tak setiap saat memeluk murid-murid saya. Hanya saat
dorongan naluri dan empati itu datang di saat yang tepat. Jika sudah begitu,
saya pun tak dapat menghindarinya, karena saya hanyalah manusia biasa yang
memiliki hati.
Semua orang butuh pelukan sesekali. Bahkan mungkin juga
orang-orang yang selalu mencibir dan berlindung di balik kedok budaya timur.
Jadi, apakah kamu membutuhkan sebuah pelukan saat ini?
Comments
Post a Comment