Let Me Be Your Superman
Lamunanku buyar ketika samar-samar kudengar seseorang memanggilku. Aku berusaha mengumpulkan segenap nyawa yang tercecer dan kembali memijakkan diri ke atas dunia nyata. Seorang perempuan cantik mengenakan seragam merah marun lengkap dengan scarf hitamnya berada tepat di hadapanku.
Lamunanku buyar ketika samar-samar kudengar seseorang memanggilku. Aku berusaha mengumpulkan segenap nyawa yang tercecer dan kembali memijakkan diri ke atas dunia nyata. Seorang perempuan cantik mengenakan seragam merah marun lengkap dengan scarf hitamnya berada tepat di hadapanku.
“Maaf, nona. Tolong tegakkan kembali
sandaran kursi dan kenakan sabuk pengaman. Pesawat sebentar lagi akan mendarat
di Spring Haven,” ucapnya sembari tersenyum dan kemudian berlalu. Rupanya
pramugari memergokiku sedang melamun di atas bahtera yang tengah mengangkasa
ini.
Aku mematuhi instruksinya dan
memandang keluar jendela pesawat. Langit nampak merona dengan semburat jingga
yang memenuhi cakrawala. Sepertinya senja bersiap menyambutku dengan keindahan
khas pesisir timur yang lebih tenang dan bersahaja dibandingkan kota kecil tepi
laut tempatku dibesarkan.
Kota-kota
sepanjang pesisir timur memiliki kekhasan bangunan dengan arsitektur masa
kolonialisasi Eropa, khususnya Inggris dan Perancis. Hal ini yang membedakan
dengan kondisi pesisir barat yang merupakan bekas wilayah jajahan Spanyol.
Kehidupan di pesisir timur juga berjalan lebih lambat, memang sedikit mirip
seperti kota kecil tepi lautku, hanya saja di timur segala sesuatunya jauh
lebih lambat.
Pantai-pantainya
tidak terlalu menarik perhatian turis karena lautnya banyak dibatasi dengan
bendungan-bendungan dan ombaknya pun bukanlah tipe yang akan diminati para
peselancar. Berbeda dengan pesisir barat yang selalu saja dipenuhi turis
sehingga akhirnya lekat dengan kehidupan glamor. Sepertinya hal inilah yang
menjadi sebab banyak orang menjadikan kota-kota beratmosfir tenang seperti
Spring Haven sebagai kota tujuan untuk kepentingan akademis.
Satu-satunya
kota di pesisir timur yang berkembang pesat dengan segala kemajuan zaman dan
hiruk-pikuknya adalah Central City tempat Skye dan Chris berada. Kota bisnis
dan seni pertunjukan itu seperti anomali di tengah-tengah kebersahajaan
kota-kota pelajar di sekitarnya. Aku tak tahu mengapa hal itu bisa terjadi,
tetapi sepertinya Central City mampu menopang masyarakat pesisir timur agar tak
terasing dalam zona kehidupan yang seolah berbeda di zaman modern ini. Hanya
butuh waktu sekira tiga jam lewat jalan darat dari Spring Haven ke Central
City. Naik kereta api bahkan bisa lebih cepat lagi.
Suara
pilot terdengar membahana dari dalam kokpit, membawa kabar kepada para
penumpang bahwa sebentar lagi pesawat akan mendarat di bandara Spring Haven. Ah,
jalan menuju kota impianku sudah membentang di depan mata. Selangkah demi
selangkah, mimpi masa remajaku akan segera menjadi kenyataan. Dan semua itu
diawali dengan dekapan hangat seorang lelaki yang menyambutku dengan penuh
kerinduan di bandara.
“Aku
sangat merindukanmu, Julia,” ucapnya lembut kemudian menghujaniku dengan seribu
kecupan di pucuk kepalaku.
Bandara
Spring Haven tidaklah besar, seiring dengan mobilitasnya yang memang tidak
terlalu tinggi. Kebanyakan orang sepertinya lebih senang mendarat di Central City
dan menuju Spring Haven menggunakan jalur darat ketimbang terbang langsung ke
sana. Hal ini membuatku mampu menemukan Chris dengan mudah di antara para
penjemput yang sabar menanti kedatangan orang terkasih mereka.
“Aku
lebih rindu dua kali lipat.” Aku bisa mendengar detak jantungnya dengan jelas
ketika ia mendekapku. Tubuhnya terasa begitu hangat dengan aroma cologne dan after shave citrus khas yang selalu membuatku mabuk kepayang. Ia
masih saja mampu membuat hatiku berdebar-debar setelah bertahun-tahun lamanya.
“Hmmm,
kita tidak akan memainkan permainan ini lagi,” ucapnya sambil menjauhkan
kepalanya dari tubuhku agar bisa menatapku mataku dengan lebih baik. Aku harus
menengadah untuk bisa membalas tatapannya itu.
“Permainan
apa?” tanyaku bingung.
“Permainan
siapa yang lebih rindu.”
Aku
mau tidak mau tertawa mendengar leluconnya yang sama sekali tidak lucu itu. Ia
membalas tawaku dengan ciuman lembut di bibir. Ragaku serasa melayang untuk
sedetik. Betapa aku merindukan sentuhannya.
“Ayo
kita ambil barangmu dan pergi dari sini. Kamu lapar? Atau ada tempat yang mau
kamu tuju sebelum kita melihat-lihat apartemen? Hari belum gelap, masih banyak
waktu untuk kita berkeliling ke beberapa tempat,” kata Chris.
“Sebenarnya
ada tempat yang mau aku datangi. Aku melihatnya beberapa bulan lalu ketika
mengurus keperluanku di kampus, hanya saja aku belum sempat mengunjunginya.”
“Tempat
apa?”
“Oh,
hanya sebuah patisserie.”
“Patisserie lagi? Sebenarnya ada apa
dengan kamu dan patisserie? Sepertinya
kamu terobsesi. Di Central City juga kamu selalu mengunjungi satu demi satu patisserie yang ada di sana.”
“Jangan
begitu, Chris. Aku punya banyak kenangan di tempat seperti itu. Lagipula di
Central City tidak ada yang menarik. Semua terlalu… eh, modern.”
“Lalu
patisserie seperti apa yang
sebenarnya kamu cari?” ucapan Chris sedikit terusik dengan ponselnya yang
tiba-tiba berbunyi. Sepertinya sebuah pesan singkat baru saja masuk dan menarik
perhatiannya.
“Patisserie yang mampu mengingatkanku
selalu padamu, bodoh,” ujarku pelan.
“Manajerku.
Dia memintaku segera menjawab peran terbaru mana yang akan kuambil,” ujar Chris
seraya mengangkat ponsel dan menunjukkan layarnya kepadaku.
Aku
memberikan tatapan penuh tanda tanya kepadanya.
“Nanti
kuceritakan, aku ada tawaran film yang sepertinya harus kuputuskan berdua
denganmu.” Ia lalu mematikan ponsel dan memasukkannya kembali ke dalam saku.
Aku
tersenyum menyaksikan rautnya yang mendadak berubah menjadi serius. Chris
selalu serius jika berkaitan dengan pekerjaannya. Mimpi masa muda yang perlahan
tapi pasti mulai berada dalam genggamannya.
“Maaf,
kamu tadi bilang apa, Julia?” Chris kembali memusatkan perhatiannya kepadaku.
“Tidak,
bukan apa-apa. Lupakan saja. Ayo, kita ke sana.” Aku menggenggam tangan Chris yang
menunjukkan wajah kebingungan dan segera mengajaknya keluar menuju parkiran.
“Apa
pun yang kamu inginkan, little princess.
Aku harap mereka menjual strawberry shortcake, karena menunggumu di bandara
membuatku sangat lapar dan kamu tahu aku hanya bisa makan kue itu.”
Patisserie
itu ternyata memiliki konsep serupa sebuah kafe buku. Dari kaca besar yang
menghiasi bagian depan, aku melihat dinding berlapis rak buku dari bawah hingga
ke langit-langit yang berisi deretan buku-buku dan nampak menggiurkan untuk
segera dibaca. Di sudut lainnya, sebuah etalase berisi aneka roti dan kue aneka
warna dipamerkan untuk menggugah selera. Di sebelahnya, sebuah mesin kopi
nampak sibuk bekerja memenuhi pesanan para pelanggan. Kursi-kursi empuk dengan
bantal berwarna-warni dan meja-meja kayu disusun di area tengah yang nampak
sangat nyaman untuk disinggahi. Aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama
dan tak bisa memutuskan, mana yang lebih mampu membuaiku: aroma roti yang baru
keluar dari panggangan ataukah kertas-kertas dari buku yang baru saja dibuka.
“Aku
tahu kamu itu kutu buku, tapi aku tidak pernah menyangka kamu se-nerdy ini,” ujar Chris yang setengah
melongo saat kami tiba di depan patisserie.
Aku
menyikut tubuhnya hingga ia berpura-pura merasa kesakitan. “Hey!” teriakku.
“Aku
tidak tahu kalau tuan puteriku benar-benar senang dengan suasana seperti ini.
Kenapa kita tidak bisa makan di restoran cepat saji saja seperti orang normal?
Aku bahkan sekarang mampu memanjakanmu dengan restoran yang lebih baik, Julia.”
Aku
mengabaikannya dan segera masuk ke dalam patisserie.
Aku merasa di tempat inilah aku akan menghabiskan hari-hariku melamun atau
mengerjakan tugas kuliah. Laksana orang yang jatuh cinta pada pandangan
pertama, aku tidak bisa menjelaskan alasannya. Hanya aku merasa tempat ini
mampu membawa kedamaian, meski penampakannya amat sangat berbeda dengan patisserie favoritku di kota kecil tepi
laut yang selalu membuatku merindukan Chris sejak ia pergi meninggalkan rumah.
“Chris,
lihat!” Aku menunjuk ke etalase tempat kue-kue dipajang. Strawberry shortcake.
“Terima
kasih, Tuhan! Aku bisa makan dengan tenang,” kata Chris berpura-pura bahagia
seperti menemukan mata air di tengah padang pasir. Selalu berusaha melawak,
lelakiku itu. Tidak pernah lucu, tapi aku mau tak mau selalu tertawa dibuatnya.
Aku
meminta Chris mencari tempat yang nyaman di pojok dekat rak buku dan memesan
strawberry shortcake serta kopi hitam untuk Chris. Untukku sendiri, saat ini
croissant berlapis cokelat sepertinya akan menjadi santapan yang lezat. Baru
saja aku meletakkan pesanan kami di meja dan hendak melihat-lihat koleksi buku
yang tersedia di sana, sebuah suara mengisyaratkan keberatannya.
“Jangan
sekali-sekali kamu berani menyentuh satu buku pun yang ada di sana, little princess,” ujar Chris sambil
merengut. Aku bahkan belum berada satu meter di depan rak buku itu.
“Tapi…”
“Jangan
kamu pakai alasan apa pun denganku, tuan puteriku yang manis. Aku hafal betul,
sekali kamu menyentuh satu saja buku yang ada di sana, kamu akan mulai
membacanya. Begitu kamu mulai membaca, kamu bisa berjalan-jalan ke alam
pikiranmu selama berjam-jam dan meninggalkanku sendirian di sini.” Chris
menarik lenganku dan membiarkanku duduk di sebelahnya.
“Chris…”
“Oh,
tidak hari ini. Aku punya sesuatu yang lebih menarik untuk kamu baca nanti,
tapi sekarang aku hanya ingin bersamamu sejenak sebelum kita mulai pergi
melihat-lihat apartemen,” ujar Chris dengan nada sok tegas.
“Sesuatu
yang menarik untuk aku baca?” tanyaku penasaran.
“Iya,
itu kejutan untuk nanti. Kita nikmati dulu tempat yang kamu idam-idamakan ini,”
kata Chris dan sedetik kemudian ia memasukkan satu sendok strawberry shortcake
ke mulutnya. Wajahnya meringis karena sensasi rasa asam, namun tak lama ia
segera menghabiskan kue itu tanpa sisa. Syukurlah jika lelakiku itu sangat
menyukainya.
“Jadi,
ada lima apartemen yang aku suka,” ujarku penuh semangat seraya mengeluarkan
selebaran-selebaran iklan apartemen dari dalam tote bag yang sedari tadi kubawa.
Chris
melihat dengan penuh minat. Ia sebenarnya juga sudah melihat daftar apartemen
yang menjadi pilihanku dan sempat menyatakan protes karena daftarnya terlalu
panjang. Sepertinya ia sedikit lega karena daftar itu jauh berkurang hingga
tinggal lima.
“Pertama,
ini agak jauh dari kampus, tapi sewanya murah dan dekat dengan taman. Aku
membayangkan suasana yang tenang jika tinggal di tempat seperti itu.”
“Tidak,”
kata Chris singkat.
“Tidak?”
“Bagaimana
jika kamu harus pulang dari kampus malam-malam? Hanya Tuhan yang tahu apa yang
bersembunyi di dalam taman dan menerkammu saat tidak ada seorang pun yang
melihatmu. Pokoknya tidak!” Chris mengambil selebaran iklan apartemen itu dari
tanganku dan meletakkannya jauh-jauh di sudut meja.
“Oke,
masih ada yang ini. Dekat dengan kampus, jadi kamu tidak perlu khawatir aku
bakal ketemu vampire atau manusia serigala jika aku pulang terlalu malam.
Sepertinya bagus juga.”
“Tidak,”
ujarnya lagi.
“Maaf?”
“Kamu
tidak lihat iklannya baik-baik? Itu semacam apartemen yang penuh dengan
gadis-gadis penyuka pesta dan aku tidak akan suka jika kamu terlibat dalam
pesta-pesta anak muda yang tidak jelas seperti itu,” kata Chris sambil menunjuk
foto-foto yang terdapat dalam brosur tersebut. Isinya memang model-model
perempuan yang cantik dan sepertinya sedang bersenang-senang. Bukan berarti
mereka semua penyuka pesta, tetapi aku tahu Chris sulit untuk dibantah.
“Baiklah!
Jadi tinggal tiga ini. Satu agak jauh dari kampus, tetapi lingkungannya terlihat
lebih aman dari yang sebelumnya. Satu lagi dekat dengan kampus, tetapi
lingkungannya terlalu padat, jadi aku sendiri kurang menyukainya.”
“Hmmm,
bisa dipertimbangkan, meski aku kurang nyaman dengan ide kamu tinggal terlalu
jauh dari kampus.”
“Lalu
yang terakhir ini juga tidak terlalu jauh dari kampus dan bangunan apartemennya
tidak begitu besar. Mungkin tidak tepat juga disebut apartemen karena jumlah
ruang yang disewakan hanya tujuh dan letaknya malah di tengah perumahan. Tiga berada di lantai dua dan sisanya di lantai dasar. Tempatnya sedikit terbuka,
tetapi kelihatannya ini lingkungan yang aman.”
Chris
mulai menunjukkan minatnya pada selebaran iklan terakhir yang ada di tanganku.
“Pemandangannya
cukup bagus, ada taman kecil yang penuh bunga di depan apartemen itu,” kataku
melanjutkan.
“Ayo
kita lihat tempatnya.”
“Yang
ini?” tanyaku sedikit terkejut melihat Chris bisa menyetujui setidaknya satu
dari pilihanku yang sedari tadi dicemberutinya.
“Coba
kamu bayangkan, tetanggamu tidak akan banyak sehingga kamu tidak perlu repot
beramah-tamah dengan semua orang. Dan itu artinya lebih sedikit kemungkinan ada
lelaki tampan yang tinggal satu bangunan denganmu dan bisa membahayakanku.”
“Hah?
Apa?” Aku sangat yakin kalau aku kurang paham dengan perkataannya barusan.
“Tidak,
tidak,” Chris tersenyum nakal.
“Huh.
Setidaknya bangunan ini penuh bunga yang bisa mengingatkanku pada ibu. Sayang
sekali tidak dekat dengan pantai dan bisa melepas kerinduanku pada rumah.”
“Nah,
bagus bukan? Ayo kita lihat, little
princess.” Chris menyeruput kopi hitamnya dan segera mengajakku
meninggalkan patisserie.
Apartemen
itu rupanya jauh lebih menarik dari yang terpampang dalam iklan. Memang
bangunannya sangat sederhana dan minimalis, tetapi dominasi cat putih pada
dinding dan pagarnya membuatnya begitu cerah di tengah rerumputan dan semak
bunga mawar merah yang menghiasi bagian depannya. Bunga-bunga alamanda kuning
yang menjuntai dari balkon lantai dua juga membuat bangunan itu semakin cantik.
Seolah ibuku sendiri yang mempersiapkan tempat ini untukku supaya aku menjalani
hari-hari di Spring Haven dengan sentuhan rumah.
Pemiliknya
adalah seorang perempuan tua yang sangat ramah. Suaminya sudah lama meninggal
dan tiga anaknya yang sudah dewasa berada di kota-kota lain. Berbekal warisan
yang ditinggalkan suaminya dan uang yang dikirim anak-anaknya, ia menyulap
rumah tinggalnya menjadi bangunan berkamar tujuh yang bisa ia sewakan kepada
para mahasiswa di Spring Haven. Ia sendiri tinggal di salah satu kamar paling
besar di lantai dasar.
“Cukup
untuk seorang perempuan tua sepertiku,” kata Ibu Spencer, pemilik apartemen
tersebut, sambil menyerahkan sepasang kunci untuk kamar yang baru saja resmi
aku sewa di lantai dua.
Aku
menerimanya sambil mengucapkan terima kasih.
“Semoga
kalian berdua menyukai tempat ini,” ucapnya lagi.
“Kami?”
tanyaku kebingungan. Aku segera menyadari bahwa ia sedikit salah paham.
“Eh,
tidak, Bu. Hanya aku saja yang kuliah di Spring Haven dan butuh tempat tinggal
di sini. Dia tidak tinggal di kota ini. Maksudku, kami tidak tinggal bersama,”
kataku sambil melirik ke arah Chris.
“Tapi
aku akan berada di sini setiap akhir pekan, Bu. Jadi sama saja,” kata Chris
menyelaku.
Perempuan
itu tertawa. “Yah, tempatnya sudah siap jika kalian mau langsung pindah. Hanya
perlu dirapikan sedikit dan peralatan dapur masih lengkap karena penyewa lama
meninggalkannya begitu saja. Namun perabot lain tidak ada.”
Chris
dan aku kemudian menghabiskan sisa sore itu dengan pergi berbelanja segala
keperluan apartemen baruku.
“Jadi
sementara ini aku butuh tempat tidur, lemari pakaian, sofa kecil, dan meja
kopi. Sepertinya cukup, yang lainnya bisa menyusul,” kataku memberi instruksi
kepada Chris begitu kami sampai di sebuah swalayan khusus perabot rumah tangga
terbesar di Spring Haven.
“Kamu
akan membeli semua itu sendiri?” ujar Chris dengan raut wajah penuh kekaguman.
“Tentu
saja! Aku punya uang dari ayah, lalu ada tabungan selama aku menjadi asisten
dosen dan sisa honor beberapa tulisanku yang masuk koran. Cukup untuk semua,
meski mungkin aku tidak bisa membeli yang terbaik, jika itu maksudmu.”
“Hmmm,
kalau begitu aku mau memberimu hadiah. Kemarin kamu ulang tahun dan lulus
kuliah, tapi aku belum sempat membelikanmu apa-apa.”
“Tidak
usah, Chris,” aku tersenyum padanya.
“Aku
memaksa. Hanya saja, hadiah itu adalah hakku sepenuhnya untuk memilih tanpa
boleh kamu protes.”
“Memangnya
kenapa?” tanyaku curiga.
“Pokoknya
itu hakku. Janji?”
“Iya,
iya. Kamu boleh membelikanku apa saja selama itu masih masuk akal, Chris. Janji,”
kataku mengalah.
“Baiklah,
ayo kita pilih hadiahmu sekarang!” Chris menyeretku ke bagian di mana perabot
kamar tidur berada. Aku punya firasat kemana semua ini akan mengarah dan jujur
saja, perasaanku agak sedikit tidak enak.
“Nah,
yang itu bagus,” ujarnya seraya menunjuk sebuah tempat tidur yang dipajang di
salah satu sudut toko.
“Terlalu
besar, Chris. Apartemenku kecil dan aku juga tidak perlu kasur sebesar itu
untuk tidur,” kataku memprotes.
“Lalu
di mana aku akan tidur?” ucapnya. Awalnya aku merasa ia bercanda seperti biasa,
akan tetapi saat aku menatap matanya, aku menyadari bahwa ucapannya itu
sungguh-sungguh.
Firasatku
ternyata tepat, hanya saja kini aku tidak tahu harus berpikir apa. Aku
menyayangi Chris dan hubungan kami juga semakin tak terpisahkan setelah
bertahun-tahun, nyaris tidak ada yang aku tidak tahu tentangnya, begitu pun
sebaliknya. Namun aku perlu meyakinkan diriku bahwa Chris adalah orang yang
tepat bagiku dan ia juga menginginkan hubungan yang serius sebagaimana aku
diam-diam mendambakannya.
Masih
ada sedikit sifat Chris yang terkadang tak dapat kubaca, seolah menyimpan
rahasia yang terkadang membuatku khawatir akan kesungguhannya. Ada hari-hari di
mana ia tidak memberi kabar kepadaku dan aku terlalu takut untuk
menghubunginya, sekedar menanyakan kabar. Ada juga hari-hari di mana
pemberitaan mengenai Chris dekat dengan aktris-aktris cantik begitu santer di
tabloid gosip, yang kemudian ia tampik dengan tegas bahwa semua itu hanya
bualan pers saja agar beritanya laris.
Aku
tak keberatan Chris memiliki lawan main aktris cantik mana pun, karena begitu
aku menonton filmnya, aku bisa tahu bahwa itu hanya akting. Berbeda dengan
gosip yang memiliki kemungkinan untuk menjadi nyata. Apakah Chris hanya milikku
seorang ataukah masih ada perempuan-perempuan lain yang menemani hari-harinya
seperti ketika kami masih SMA dan kuliah dulu? Pikiran-pikiran semacam itu
selalu saja menghantuiku, namun tak pernah sepatah kata tanya pun kuucapkan
kepadanya.
“Semua
sudah beres. Mereka akan mengirim semuanya dalam dua hari ke depan, jadi
setelah itu kamu bisa pindah ke apartemen barumu,” kata Chris membuyarkan
lamunanku. Ia baru saja menyelesaikan transaksi dan hendak mengajakku keluar.
“Terima
kasih, Chris,” aku mengecup lembut pipinya.
“Jadi
sekarang apa yang mau kamu lakukan, Julia? Kita bisa makan malam lalu pergi ke Bed and Breakfast yang sudah kamu pesan
untuk beristirahat.”
Aku
mengangguk dan kami berdua makan malam di sebuah restoran cepat saji pilihan
Chris, tak jauh dari Bed and Breakfast.
Tanpa kusadari, aku benar-benar kelaparan setelah perjalanan panjang dan
seharian sibuk mengurus keperluanku di Spring Haven. Chris berhasil menjejalkan
sepiring burger dan kentang goreng yang akhirnya kuhabiskan tanpa sisa.
“Jadi,
tadi kamu bilang ada sesuatu yang perlu kubaca?” kataku setelah menyeruput milk
shake cokelatku hingga tetes terakhir. Perutku benar-benar terasa penuh
sekarang.
“Sudah
tidak sabar untuk membaca? Aku tidak pernah sekali pun melihatmu jauh dari buku
dan bahan bacaan, Julia. Benar-benar puteri kutu-buku,” kata Chris tertawa.
“Bukan
salahku! Aku memang sudah tercipta dengan kecanduan pada buku-buku, terutama
yang membuatku penasaran seperti ini. Cepat, berikan padaku apa pun itu yang
kamu minta aku baca!”
“Sabar,
little princess. Ini sebenarnya bukan
buku, tapi naskah film,” ujar Chris sambil mengambil sesuatu dari tas
ranselnya. Ia menyerahkan kepadaku dua jilid naskah film dengan judul berbeda.
“Apa
ini?” tanyaku penasaran.
“Aku
bosan jadi pemanis dalam film, Julia. Aku belajar jauh-jauh ke Central City dan
meninggalkan semuanya bukan untuk jadi semacam hot shot atau pajangan dalam film-film komedi romantis. Sudah dua
film berlalu dan aku merasa ilmu aktingku tidak terpakai. Aku mau berakting
secara serius seperti Garry Oldman atau Tom Hanks, mungkin.”
“Lalu
mengapa tidak kamu lakukan?”
“Sulit
sekali mendapat tawaran film serius seperti yang kuinginkan jika aku memang
belum pernah melakukan pembuktian apa-apa selain jadi pria tampan dalam kisah
yang disukai para perempuan,” kata Chris muram.
Aku
membaca sekilas kedua naskah yang ia sodorkan kepadaku. “Ini dua jenis film
yang berbeda, Chris. Dan kamu hanya bisa pilih salah satu?”
“Kedua
produser film ini menyukaiku saat kasting, tetapi jadwal mereka bersamaan, jadi
manajerku hanya bisa memberi kabar baik kepada salah satu dari mereka saja.”
“Dan
kamu bingung memutuskan yang mana?”
“Aku
butuh pendapatmu. Bahasa adalah keahlianmu, Julia. Jadi aku berharap kamu bisa
membaca dua naskah itu dan menangkap esensinya. Kamu bisa membantuku memutuskan
peran mana yang harusnya kuambil.”
“Kalau
pilihanku salah?”
“Aku
percaya pilihanmu tidak akan pernah salah. Kalaupun filmnya tidak sukses, itu
karena aku yang tidak mampu menghidupkan karakter yang aku perani. Aku selalu
percaya padamu sejak dulu.”
Aku
kembali fokus pada dua naskah di hadapanku. “Jadi di film pertama ini kamu
menjadi agen rahasia?”
“Para
produser membuat remake dari film
agen rahasia yang pernah populer di tahun 1970an. Mereka sepertinya ingin
membuatnya lebih modern dengan latar waktu masa kini untuk menarik para
penggemar lama yang masih setia dan menciptakan penggemar baru yang terdiri
dari anak-anak muda.”
“Hmmm,
memainkan peran yang sudah melekat pada sosok satu aktor bakalan sulit, namun
aku yakin kamu bisa mencipta sosok agen rahasia versimu sendiri. Memang ada
resikonya, tapi kalau berhasil, kamu bisa mengungguli aktor yang lama.”
“Tapi…”
“Tapi?”
tanyaku heran.
“Kalimatmu
menggantung, jadi aku yakin masih ada kata tapi sebagai kelanjutannya.”
“Tapi
mari kita lihat dulu film yang kedua,” ucapku sambil menggodanya. Chris sering menunjukkan
raut wajah yang lucu ketika kebingungan. Seperti anak kecil yang sedang
kehilangan arah dan bisa tersesat jika aku tidak cepat-cepat menuntunnya
kembali ke jalur yang benar.
“Film
kedua, tokoh superhero yang diambil
dari game. Jujur saja aku tidak
tertarik pada superhero semacam ini,
Julia. Peluang gagalnya jauh lebih besar dari jenis film apa pun. Aku hampir
tidak pernah mendengar film yang diangkat dari game meraih kesuksesan.”
“Kamu
terlalu cepat berbicara, Christopher! Apa kamu tidak lihat nama sutradaranya?
Ini sutradara muda yang tengah naik daun. Ia banyak dipuji karena debutnya
tahun lalu berhasil masuk deretan nominasi film terbaik versi Golden Globe dan
Academy Awards. Bayangkan, untuk sebuah debut! Itu adalah poin penting yang
harus jadi pertimbangan.”
“Tapi
ini superhero, Julia! Aku bakalan
jadi pemimpin geng superhero yang
terdiri dari lima orang yang memiliki kemampuan berbeda-beda. Aku bahkan harus
memakai topeng! Aku tidak yakin dengan semua ini.”
“Lalu
mengapa seorang sutradara muda yang semestinya berhati-hati dalam menggarap
karya kedua setelah karya pertamanya yang gemilang ini memilih menyutradarai
film bergenre superhero?”
“Errr…”
Chris tidak mampu menjawab.
“Ada
poin yang hilang di sini, Chris. Poin mengapa sutradara ini nekat, aku rasa
bakal ada kejutan dari film ini. Aku sangat yakin!”
“Itu
bisa jadi sebuah kemungkinan,” kata Chris mulai sedikit bersemangat.
“Tentu
saja! Sutradara itu tidak bodoh, Chris. Dari yang aku baca di berita, ia
belajar dengan serius untuk menjadi seorang sutradara dan meniti kariernya dari
bawah. Ia sebenarnya mirip denganmu, jiwa muda yang penuh cita-cita. Kamu harus
memberinya kesempatan, memberi film ini kesempatan.”
“Jadi
menurutmu aku sebaiknya menerima tawaran ini?”
“Semua
tergantung pada keinginanmu, Chris. Terkadang kamu juga harus mempercayai
instingmu, biarkan dirimu sendiri yang mengarahkan jalan mana yang mau kamu
pilih. Seperti ketika kamu memutuskan untuk pergi ke Central City.”
“Aku
akan membaca dua naskah ini lagi baik-baik, tetapi aku merasa film inilah yang
akan menjadi awal kesuksesanmu.”
“Meski
ini film tentang superhero?”
“Mengapa
tidak? Di tangan sutradara dan penulis skenario yang handal, film superhero akan menjadi berbobot. Dan di
tangan aktor yang tepat, ketua geng superhero
ini akan jadi sosok legendaris yang masih akan dikenal hingga
generasi-generasi ke depan.”
“Oh,
ada satu lagi. Jika film superhero ini
sukses merajai box office, aku akan
dikontrak eksklusif selama delapan tahun ke depan untuk enam film franchisenya. Kelihatannya mereka
berambisi membuat film solo untuk setiap anggota geng superhero itu sebelum akhirnya membuat film yang menggabungkan aksi
mereka bersama lagi.”
“Wow!
Kontrak eksklusif?”
“Iya,
artinya selama delapan tahun ini aku akan terus dikenal sebagai pahlawan bertopeng,
entah dipuji maupun dihujat.”
“Aku
yakin kamu tidak akan dihujat,” ujarku tertawa.
“Dan
kamu yakin?” ujarnya sambil menatap mataku lekat-lekat. Mata biru gelapnya
seolah berpendar diterpa cahaya temaram bulan purnama.
“Seratus
persen!” Aku membelai rambut cokelat gelapnya dan mengecup lembut bibirnya.
“Kamu
yakin aku akan cocok menjadi superhero?”
tanyanya setengah bergumam.
Aku
kembali menatap kedua bola matanya lekat-lekat. “Sudah sejak lama kamu menjadi
Superman bagiku, Christopher Michael North.”
*****
*****
Comments
Post a Comment