Before You Tell Him Goodbye
Perjalanan pertamaku meninggalkan
rumah, jauh dari kota kecil tepi laut dan seluruh kehidupan masa kecilku memang
bukan ke kota Spring Haven. Ketika aku masih kecil, orang tuaku beberapa kali
mengajakku menghabiskan liburan musim panas ke negara-negara bagian lain untuk
menikmati suasana yang berbeda, jauh dari laut. Beberapa liburan musim dingin,
kami juga mengunjungi wilayah yang bersalju agar aku dan adik-adikku bisa
menikmati sensasi berseluncur di atas kereta es. Di pesisir barat memang salju
tak pernah turun. Lalu setelah lulus dari SMA, aku menghabiskan setiap liburan
musim panasku mengunjungi Skye di Central City. Skye dan Chris, tentu saja.
Musim
panas 2005 menjadi penanda kepergianku dari kota kecil tepi laut untuk memulai
kehidupan baru di Spring Haven. Di tahun terakhir kuliahku, aku mengikuti
program seleksi beasiswa untuk mendapat gelar master di bidang English Literature
di universitas terkemuka yang berlokasi tepat di jantung Spring Haven. Universitas
itu termasuk salah satu universitas tertua di negara ini dengan reputasi yang
mengagumkan. Ditambah, jurusan yang sangat aku minati adalah yang terbaik
dengan lulusan terdiri dari deretan penulis ternama dan tak sedikit pemenang
penghargaan Pulitzer serta Nobel.
Sudah
menjadi impianku sejak lama untuk bisa merintis cita-cita sebagai penulis
berbekal ilmu dari tempat sehebat itu. Namun saat memilih universitas untuk
pertama kalinya empat tahun lalu, ayah sangat menentangku untuk pergi jauh
darinya. Aku yang masih sangat muda kala itu terpaksa mengalah dan berkata
untuk menyemangati diri sendiri bahwa universitas di kota kecil tepi laut juga
tak kalah bagusnya. Aku kemudian menghabiskan empat tahun masa kuliahku di
sana, tidak jauh dari rumah, tanpa pernah menjajal pengalaman tinggal di asrama
atau flat sewaan, dan nyaris tak punya pengalaman berpesta sebagai mahasiswa.
Menjelang
lulus kuliah, aku memberanikan diri untuk menyuarakan keinginanku kepada ayah
dan ibu. Mereka pun akhirnya merelakan aku mendaftar beasiswa ke universitas
pilihanku sendiri, mungkin dengan sedikit harapan sainganku akan banyak dan
peluangku untuk diterima menjadi sangat minim.
Aku
memang pada awalnya tak banyak berharap pada beasiswa itu dan ayah sudah siap
mendanai jika aku memang masih betah duduk di bangku kuliah daripada bekerja,
asalkan tetap dilakukan di almamaterku yang hanya sepelemparan batu dari rumah.
Lalu secara mengejutkan, namaku berhasil masuk dalam daftar pendek pemegang
beasiswa. Ayah tak lagi punya alasan untuk mencegahku mengejar impian dan
dengan tabah mendukung keinginanku sepenuhnya.
Musim
panas memang baru saja dimulai, akan tetapi kedua orang tuaku sudah harus mengantar
anak gadis satu-satunya ini ke bandara dengan perasaan campur aduk. Aku yakin setengah
dari hati mereka masih mempertanyakan mengapa perlu bagiku untuk terbang ribuan
mil jauhnya ke ujung timur negara ini untuk menuntut ilmu. Bagi ibu, itu tak
ada bedanya dengan aku kuliah di luar negeri.
“Aku kan bukan pergi untuk
selamanya, Bu,” kataku sembari memeluknya erat-erat.
Ibuku adalah tipe perempuan
sederhana yang lekat dengan sifat keibuan.
Seolah ia memang terlahir untuk menjadi perempuan yang mengabdi pada
keluarga. Setelah menikah dengan
ayahku sesaat selepas SMA, ibu mendedikasikan dirinya secara penuh untuk ayah
yang hampir menyelesaikan kuliah kedokteran di kota seberang dan kemudian
tinggal berpindah-pindah selama ayah bekerja sebagai dokter residen di beberapa
rumah sakit. Ibu selalu setia mendampingi ayah sambil merawatku yang lahir
hanya dua tahun setelah mereka menikah. Ketika aku berusia lima tahun, ayah
memutuskan untuk kembali ke kota asalnya di tepi laut ini dan memberikan tempat
menetap bagi keluarga kecilnya, terutama bagi ibu.
Ibu
sama sekali tak pernah mengeluh atau merasa hidupnya terbuang sia-sia karena
tak pernah mencicipi rasanya berkarier dan memiliki kebebasan layaknya
perempuan lajang. Ayah memang memberikan segalanya untuk ibu, meski kami tak
bisa dibilang sebagai keluarga yang kaya. Ayah yang pada akhirnya berhasil
meniti karier sebagai seorang dokter bedah syaraf ternama lebih senang melakukan
kegiatan sosial di sepanjang pesisir barat ketimbang menjalani prosedur bedah
berbiaya jutaan dollar di rumah sakit besar.
Untuk
mengisi waktu luangnya saat aku dan adik-adikku bersekolah, ibu menanam
berbagai bunga dan buah berry lalu merawatnya dengan sepenuh hati sehingga
kebunnya selalu memenangi kontes kebun terbaik di kota kecil tepi laut. Para
tetangga pun tak jarang meminta ibu untuk membuatkan buket bunga untuk berbagai
keperluan mereka, seperti korsase untuk prom,
hadiah Valentine, atau sekedar diletakkan di dalam vas untuk mempercantik
rumah mereka. Mereka membayar ibu dengan layak meski awalnya ibu sempat
menolak, sehingga pada akhirnya ibuku menjadi seorang entrepreneur dadakan yang hingga kini semakin mantap menjalani
bisnis lokal. Ibu bahkan bisa membuka toko kecil dan mempekerjakan dua pegawai
untuk membantunya mengelola bisnis tersebut.
Sepanjang dua puluh dua tahun
hidupku, ibu tak pernah berpisah lama denganku. Jadi perjalananku ke Spring
Haven tidak hanya menjadi pengalaman pertama bagiku, melainkan juga bagi ibuku.
Dia yang sedetik pun tak tahan berpisah dengan keluarganya, harus belajar
menghadapai kenyataan bahwa satu per satu anaknya akan tumbuh dewasa dan
memiliki impiannya masing-masing.
“Kita baru saja merayakan ulang
tahunmu, dear!” ucapnya memprotes.
“Aku tahu, Bu. Setiap ulang tahunku
bersama ibu adalah ulang tahun terbaik dan aku akan berusaha selalu pulang
untuk merayakannya bersama ibu,” kataku akhirnya melepaskan pelukan darinya.
Ibuku
memiliki tinggi yang sama denganku, wajah dengan bintik-bintik yang sama di
atas tulang pipi, dan rambut kemerahan yang biasa disebut orang sebagai ginger red, akan tetapi warna mata kami
berbeda. Ibuku beruntung memiliki bola mata berwarna cokelat yang membuat
pesona kecantikannya memancar karena kontras dengan warna rambutnya. Sedangkan
aku memiliki mata berwarna hijau yang membuatku selalu tidak percaya diri.
Betapa tidak, seluruh anggota keluargaku memiliki warna mata yang sama dan aku
seakan terlahir sebagai anomali.
Apalagi
jarang sekali aku menemui orang yang senasib denganku di kota ini: berambut
merah dan mata hijau. Ibu bilang, keistimewaan yang langka itu aku warisi dari
nenek buyut dari pihaknya yang keturunan Eropa Utara. Nenekku dari pihak ayah
juga memiliki rambut merah. Sepertinya rambut merah adalah tradisi keluarga,
meski sepanjang sekolah dasar aku harus berpura-pura tidak mendengar saat
beberapa anak lelaki yang nakal memanggilku dengan sebutan gingerhead alien.
“Bagaimana
denganku, love?” kata ayah melebarkan
tangannya, menanti giliran untuk mendapatkan pelukan. Aku membalasnya dengan
pelukan yang sangat erat.
Ayah
adalah penyelamat dan panutanku nomor satu di dunia. Mungkin orang-orang yang
mengatakan bahwa anak gadis akan selamanya dekat dengan sosok ayah itu benar.
Aku sangat dekat dengan ayah, kami memiliki banyak sekali kemiripan Meski
secara fisik aku terlihat jelas-jelas merupakan fotokopi dari ibu dan mewarisi
sifat pendiamnya, akan tetapi keteguhan hati ayahlah yang mengalir dalam
tubuhku.
Kami
berdua sama-sama memiliki mimpi besar yang harus kami kejar meski itu berarti
meninggalkan tempat tinggal kami yang nyaman. Berbeda dengan ibu yang tak
pernah berpikir untuk meninggalkan kota kecil tepi laut. Impianku terkadang
begitu liar dan godaan untuk menggapainya terasa makin nyata di saat aku tumbuh
dewasa.
Ayah
juga menyukai segala sesuatu yang berbau vintage
dan retro, terutama yang berasal
dari era 1960an dan 1970an. Ia bahkan masih menyimpan koleksi piringan hitam
beserta alat pemutar yang ia warisi dari kakeknya. Setiap Jumat malam sepulang
dari rumah sakit, ayah akan mengajak ibu berdansa di ruang tengah diiringi
lagu-lagu dari koleksinya itu. Musik yang paling sering diputarnya, tentu saja
The Beatles. Ayah bilang waktu aku masih sekolah dulu ia pernah mencoba menata
rambutnya dengan gaya poni, tetapi para pasiennya malah memanggilnya dengan
julukan dokter boyband karena lebih
mirip Nick Carter ketimbang Paul McCartney. Sejak saat itu ayah tak pernah lagi
bereksperimen dengan poni.
Kecintaannya
pada The Beatles juga ia salurkan lewat diriku yang ia beri nama seperti nama
ibu kandung John Lennon. Julia, juga
menjadi salah satu lagu The Beatles yang manis walaupun tak begitu populer.
Seperti aku, yang menurut ayah begitu sederhana dan sangat berharga meski aku
tak pernah mau memperlihatkannya kepada dunia. Lalu nama kedua adik kembarku
yang begitu spektakuler: John dan Lennon. John lahir lebih dahulu sekitar 5
menit dari Lennon. Meski keduanya identik, akan tetapi John lebih sabar dan
pendiam seperti ibu, sementara Lennon begitu mirip ayah yang ekspresif dan tak
bisa dibendung. Mereka terpaut lebih muda enam tahun dariku, jadi aku terkadang
tak bisa memahami alam pikiran dan dunia mereka.
“Aku
masih heran mengapa kamu harus pergi secepat ini. Kuliahmu baru akan dimulai
bulan September, kan?” tanya ayah.
Aku
tersenyum, “Kita sudah membicarakan ini, Yah. Aku perlu waktu untuk mencari
apartemen dan berbenah sebelum mulai disibukkan dengan jadwal kuliah. Lalu aku
juga akan pergi ke Central City mengunjungi Skye.”
“Apakah
Chris akan ada di sana untuk membantumu?” tanyanya kemudian.
Topik
mengenai Chris selalu mengusik tanda tanya bagi kedua orang tuaku, terutama
ayah. Mereka tahu aku menjadi dekat dengan dirinya ketika aku mulai masuk SMA
dan hubungan kami semakin berkembang setelah aku kuliah. Hanya saja mereka
tidak pernah percaya kepada Chris yang meninggalkan orang tuanya begitu saja
dan tak pernah berbicara lagi dengan mereka sejak saat itu. Bagi ayah, tindakan
seperti itu sangat kurang ajar.
Kekhawatiran
mereka ada benarnya juga. Chris tak pernah membahas mengenai hubungan kami
secara serius. Sejujurnya aku juga tidak tahu apakah hubungan kami sebagai
pasangan ini resmi atau tidak. Aku hanya merasa ada ikatan di antara kami
berdua yang tak dapat kujelaskan dan semakin lama semakin sulit untuk
melepaskan diri darinya. Seolah jalan hidup kami memang terhubung satu sama
lain. Orang tuaku hanya khawatir jika pada akhirnya aku akan menjadi pihak yang
tersakiti.
“Ia
akan menjemputku di Spring Haven, Ayah,” kataku seraya mengecup pipi pahlawanku
itu. “Aku memberikan Chris daftar apartemen yang menarik bagiku dan ia sudah
menyewa mobil untuk mengantarku melihat-lihat. Kami juga akan berbelanja
beberapa keperluan dan mungkin merapikan apartemen baruku selama satu atau dua
minggu sebelum bertemu Skye di Central City.”
“Apakah
itu ide yang bagus?” Aku melihat ayahku sedikit merengut, tidak senang dengan
ide aku dan Chris hanya berdua selama seminggu penuh.
“Semua
akan baik-baik saja, aku berjanji. Aku sudah besar, Ayah harus mulai belajar
memercayaiku.”
“Jika
memang kamu menghendakinya, love.”
“Chris
itu anak yang baik, darling. Hanya
saja ia perlu dibimbing perlahan untuk kembali pulang. Aku percaya ia akan
menjaga Julia baik-baik,” kata ibuku tiba-tiba kepada ayah.
Ibu
yang lembut selalu bisa meredam suasana hati ayah yang seringkali begitu
skeptis dan protektif terhadapku, terutama jika mengangkut soal laki-laki.
Sikap ayah ini bermula sejak aku SMA dan berlanjut hingga kini ketika aku sudah
menginjak usia dewasa. Tak heran jika aku pada akhirnya tak pernah berpacaran
dengan siapa pun secara serius.
Ibu
kemudian menatapku dan melanjutkan, “Tolong sampaikan bahwa ibunya sangat
merindukannya. Kami berdua menonton filmnya di bioskop tahun lalu, dan aku bisa
lihat betapa ibunya sangat ingin memeluk anaknya itu. Ia sangat dewasa dan
tampan sekarang.”
Aku
tersenyum pada ibu. Sudah sekitar enam tahun Chris memutuskan kontak dengan
keluarganya, kecuali Skye. Seolah seluruh kehidupan masa lalunya di kota kecil
tepi laut menguap. Ia bahkan tak pernah menghubungi teman-teman tim footballnya, kecuali Flynn yang memang
menjalin hubungan dengan adiknya selama bertahun-tahun.
Aku
tak pernah berani banyak bertanya kepadanya, karena setiap kali aku membahas
masalah itu, sorot matanya langsung menyiratkan kemarahan. Aku tidak tahu apa
yang tersimpan rapat dalam hatinya, tetapi aku pernah dengar dari Skye bahwa
Chris tidak pernah bisa menerima bahwa ayahnya sudah mengatur hidupnya untuk
menjadi pewaris bisnisnya tanpa menghiraukan impiannya sama sekali. Sebelum ia
meninggalkan rumah, mereka berdua bertengkar hebat sampai Skye juga tidak bisa
memastikan apakah Chris benar-benar meninggalkan rumah atau ayahnyalah yang
sebenarnya mengusirnya.
“Akan
aku usahakan, Bu.”
“Oh,
sayangku! Mengapa rasanya baru kemarin aku mengantarmu ke depan gerbang sekolah
dasar dan kini aku harus rela melepasmu hidup di kota lain,” kata ibu lagi.
Aku
memeluknya kembali. “Saat ibu seusiaku, ibu sudah memiliki aku. Itu adalah satu
langkah besar yang tidak bisa aku saingi hingga kapan pun, Bu. Kini aku mau ibu
membiarkanku mengambil langkah besarku sendiri. Aku percaya ibu bisa, dengan
doa yang selalu ibu panjatkan setiap malam untukku.”
Suara
dari pengeras terdengar memanggil nomor penerbanganku. Para penumpang sudah
bisa melakukan proses check-in. Suasana di lobby keberangkatan mendadak penuh
dengan orang-orang yang mulai bangkit dari kursinya dan membawa koper-koper
mereka. Tidak ada bandara di kota kecil tepi laut, jadi kami harus berkendara
selama dua jam ke Angel Falls, kota terdekat yang memiliki bandara besar. Kami
berangkat pagi-pagi sekali untuk menghindari kemacetan dan tempat parkir yang
penuh.
Aku
menegakkan pegangan pada koper besarku dan menjinjing koper yang lebih kecil.
Bawaanku memang cukup banyak, ditambah satu tote
bag yang sedari tadi kusampirkan di pundak. Ini saatnya, mengawali
perpisahan dengan keluargaku.
“Sini
biar aku bantu, love,” kata ayah
seraya mengambil dua koper dari tanganku dan berjalan menuju counter check-in. Aku mengekornya seraya
menggandeng lengan ibu dengan manja. Aku tahu ini adalah mimpiku, akan tetapi
aku tak pernah menduga jika mengucap kata pisah kepada orang tua akan menjadi
beban berat yang seolah meruntuhkan tubuhku.
“Jangan
berani-berani pergi sebelum mengucapkan selamat tinggal kepada kami, Kak!”
Seseorang menepuk bahuku dari belakang. Lennon.
“Demi
Tuhan, kemana saja kalian? Kalian hanya diberi satu tugas mudah untuk memarkir
mobil dan butuh waktu berabad-abad untuk menyelesaikannya!” ucap ibu nyaris
berteriak.
“Bukan
salahku, Bu. Aku sudah bilang pada John bahwa parkir di area terbuka akan lebih
mudah, namun ia dengan segala kalkulasinya mendesakku agar memarkir mobil di
dalam gedung parkir dengan alasan keamanan dan cuaca. Ternyata semua orang
berpikiran sama!”
“Artinya
semua orang berpikir logis sepertiku,” kata John membela diri.
Aku
mengacak-acak rambut kedua adikku itu kemudian merangkul mereka. Aku bahkan
akan merindukan ulah mereka yang biasanya selalu menimbulkan keributan dan
mengusik keseharianku di rumah.
“Kakak!”
teriak mereka kompak sambil merapikan kembali rambut mereka.
“Jadi,
akhirnya sampai di sini, love,” kata
ayah yang baru saja memasukkan koper-koperku ke counter check-in.
“Sampai
di sini untuk hari ini, Ayah. Aku akan pulang kembali sebelum Ayah
menyadarinya,” kataku sambil memeluk dan mencium pipinya.
“Jaga
dirimu baik-baik, Julia. Telepon ibu setidaknya seminggu sekali,” ujar ibu
sambil memelukku. Aku tahu dengan pasti aku akan sangat merindukannya lebih
dari apa pun.
Aku
berjalan menuju ruang tunggu sambil menatap keluargaku untuk terakhir kalinya.
Ayah merangkul ibu yang menyandarkan kepalanya di pundak kokoh ayah. Si kembar
melambaikan tangan dan bahkan bersikap lebih manis dari biasanya terhadapku.
Penerbangan selama tujuh jam ke Spring Haven ini akan terasa begitu lama dengan
sejuta kenangan melayang-layang di alam pikiranku.
Aku
teringat pada sebuah masa ketika hubunganku dengan Chris masih begitu canggung.
Masa di mana kebiasaan kami menghabiskan Sabtu pagi di patisserie sambil menikmati manis asamnya kue strawberry shortcake
baru saja bermula. Pada masa itu kami nyaris tak pernah saling berbicara kepada
satu sama lain di sekolah. Chris memang kerap mencoba membuka pembicaraan jika
melihatku sedang bersama Skye, namun aku terlalu malu untuk menanggapinya,
bahkan untuk menatap lurus ke matanya. Membayangkan saja sudah membuatku merasa
mau pingsan. Jadi biasanya aku hanya membalas segala ucapan Chris dengan
anggukan atau sebuah senyuman yang dipaksakan.
Sore
itu aku sedang menunggu Skye latihan cheerleader.
Kami berencana mau pergi ke mall setelah Skye latihan untuk mencari gaun pesta
dansa homecoming kedua kami di SMA.
Aku memutuskan untuk menunggu di sudut tribun lapangan football karena gedung sekolah pasti sudah cukup sepi dan
perpustakaan sudah tutup. Sudut itu cukup terlindungi sehingga para pemain football dan pemandu sorak yang tengah
berlatih di sisi lain lapangan tak bisa melihatku, namun aku bisa melihat
kegiatan mereka dengan jelas. Aku membuka novel Pride and Prejudice yang harus kami baca untuk proyek Bahasa Ingris
dan mulai larut ke alam karya Jane Austen tersebut.
“Mulai
mengerjakan tugas lebih cepat, Julia?” Sebuah suara mengejutkanku. Grayson,
teman sekelasku di kelas Bahasa Inggris.
“Bukankah
kamu seharusnya masih berada di lapangan?” ujarku heran sambil menatap seragam footballnya yang sudah penuh dengan
lumpur dan keringat.
“Ah,
di sana membosankan! Aku lebih senang melihat gadis manis yang sedang membaca
buku diam-diam di balik tribun,” ujarnya santai.
“Grayson!”
Aku bisa membayangkan pipiku berubah warna menjadi merah karena tersipu malu.
Aku
bertemu kembali dengan Grayson di hari pertama SMA. Kebetulan kami berada di
kelas homeroom yang sama pagi itu.
Grayson adalah salah satu anak menyebalkan yang sering mengataiku gingerhead alien ketika kami masih SD, tetapi setelah bertahun-tahun tak
pernah bertemu dengannya lagi karena ayahnya sempat dipindahtugaskan ke Angel
Falls oleh kantornya, Grayson kini berubah menjadi lelaki yang lebih ramah
terhadapku.
Sejak
saat itu kami beberapa kali menghabiskan waktu bersama jika aku sedang tidak
bersama Skye. Ada sesuatu yang membuatku mau membuka hati kepada Grayson, hal
yang jarang sekali aku lakukan terhadap laki-laki yang menurut Skye menaruh
perhatian kepadaku. Ia memang berbeda dengan Chris yang kehadirannya selalu
membuatku berdebar-debar, tetapi ada kehangatan yang kurasakan ketika bersama
Grayson. Kehangatan yang sama setiap aku mendengar Chris bercerita kepadaku
sambil menikmati strawberry shortcake di patisserie
pada Sabtu pagi.
“Sophomore
sepertiku hanya akan dibangkucadangkan, Julia. Mereka tidak butuh dua quarterback dalam satu pertandingan football. Para senior sedang dalam masa
kejayaan mereka. Chris adalah quarterback
mereka sejak dua musim lalu, jadi sepertinya aku masih harus bersabar satu musim
pertandingan ini dan duduk manis di bangku cadangan sambil menunggu dia lulus,”
keluh Grayson.
“Selalu
ada harapan asalkan kamu rajin berlatih, Grayson. Aku yakin kamu bakal jadi
bintang quarterback pada saatnya
nanti.”
Aku
membiarkan tangan Grayson membelai rambutku dan menyentuh pipiku. Aku rasa aku
menyukainya, hanya saja aku sama sekali tidak siap untuk menjalin hubungan apa
pun dengan siapa pun, sampai aku bisa menjelaskan kepada diriku sendiri bagaimana
perasaanku kepada Chris.
Aku
tahu Chris benar-benar tak dapat dijangkau, selain karena ia adalah kakak dari
sahabat terbaikku, ia juga memiliki pacar yang luar biasa populer meski
hubungan mereka agaknya sejak tahun lalu mulai terlihat pasang surut. Hanya
saja aku tidak ingin melampiaskan perasaanku terhadap Chris yang tidak
kesampaian kepada Grayson. Akan menjadi tidak adil untuk kami berdua.
Grayson
mendekatkan wajahnya kepadaku. Aku bisa merasakan deru nafasnya dengan jelas,
terasa hangat dan menggebu. Aroma tubuhnya yang penuh peluh bercampur dengan
aroma matahari dan rerumputan basah menguar memenuhi indera penciumanku.
Jantungku menjadi berdebar tak karuan.
“Grayson,
hentikan! Apa yang kamu lakukan?” Aku mendorong tubuhnya sekuat tenaga.
“Ayolah,
Julia. Kita sudah bersama selama satu tahun belakangan ini, mengapa kamu tidak
juga mengizinkanku untuk menciummu?” Grayson nampak terkejut.
“Kamu
tahu alasannya! Aku sudah memberitahumu ketika pertama kali kamu mencoba
menciumku. Kamu bilang kamu mengerti dan menghormati keputusanku.”
“Ya
ampun, itu lagi! Mau sampai kapan, Julia? Apa sih yang sebenarnya kamu tunggu?
Aku akan menjadi yang pertama bagimu dan aku akan melakukannya sekarang!”
Aku
bangkit dari tribun dan memasukkan buku ke dalam ranselku secepat kilat.
Sebelum aku bisa pergi dari hadapannya, Grayson menangkap pergelangan tanganku
dan menarik tubuhku ke dalam dekapannya. Ia mencoba menciumku kembali.
“Kamu
gila, Grayson! Hentikan!” Aku meronta dan mencoba mendorong tubuhnya, namun
sia-sia. Aku memejamkan mataku dan berharap ada keajaiban. Air mataku mulai
mengalir, tetapi Grayson tak menghiraukannya.
“Lepaskan
sahabatku, bajingan!”
Tiba-tiba
aku merasa ada yang menarik tubuh Grayson dan membuatku terhuyung ke belakang.
Aku memberanikan diri untuk membuka mata dan melihat Skye sedang memukul
Grayson tepat di hidungnya.
“Sialan,
Skye! Hidungku bisa patah!”
“Aku
tidak peduli, lelaki bajingan! Kamu menyakiti sahabatku, aku harus memberimu
pelajaran. Beruntung aku tidak membunuhmu!”
“Jangan
ikut campur, ini urusanku dan Julia!”
“Julia
itu sahabatku, maka itu jadi urusanku juga! Sekarang enyah dari sini, dan
jangan pernah ganggu Julia lagi! Awas kalau aku melihatmu masih saja berada di
dekatnya!” Skye berteriak keras dan matanya membara dengan penuh amarah.
“Sial!
Ini belum selesai, Skye!” Grayson berdiri menantang Skye, seolah mereka berdua
siap baku hantam, tak peduli jika tubuhnya jauh lebih besar dari Skye.
“Cukup,
Grayson! Pergi ke ruang ganti, latihan hari ini selesai,” Flynn tiba-tiba
muncul memecah keributan yang tengah terjadi ini. Chris berada tepat di
belakangnya. Aku melihat rahangnya menegang dan garis-garis wajahnya merengut
seperti menahan sesuatu, akan tetapi ia diam saja.
“Kapten…”
ujar Grayson menurunkan nada bicaranya.
“Pergi
saja,” kata Flynn dengan tegas.
“Baik,
aku pergi. Hanya karena ini perintah dari kapten timku,” kata Grayson kepada
Skye. Ia lalu membalikkan tubuhnya ke arahku dan berkata, “Kamu bisa pergi ke
pesta dansa homecoming sendiri,
Julia. Aku sudah tidak tertarik lagi dengan jalan pikiranmu yang sok suci itu.
Sampai pesta prom senior pun tidak akan
ada satu pun lelaki yang mau mengajakmu.”
Grayson
pergi dengan menorehkan kata-kata yang menyakitkan hatiku. Air mataku mengalir
semakin deras di pelukan Skye.
“Sudah
aku bilang jangan berurusan dengan lelaki bajingan seperti dia. Kamu harus
belajar untuk membela dirimu sendiri, Julia. Bagaimana kalau aku tidak ada?
Siapa yang akan melindungimu?” kata Skye yang justru membuat tangisanku makin
keras.
“Jangan
memarahinya, adik manis. Apa kamu tidak lihat Julia masih shock? Ayo, kita pulang saja. Aku akan mengantar kalian berdua
pulang,” kata Chris.
“Tetapi
bukankah kamu biasanya harus bersama Melody?” protes Skye.
Chris
tersenyum, wajahnya menunjukkan raut lelah. “Tidak, dia bisa pulang bersama
teman-temannya. Saat ini adikku dan sahabat terbaiknya lebih penting dari siapa
pun di dunia.”
“Nanti
dia marah…” ujar Skye yang dengan cepat dipotong oleh Chris.
“Kami
berdua…. Bisa dibilang kami berdua saat ini sedang tidak dalam sebuah hubungan
yang sehat. Lain kali aku akan ceritakan padamu, tapi sekarang kita fokus pada
Julia saja dulu.”
Skye
merangkulku dan membawaku ke lapangan parkir menuju tempat Chris memarkir
mobilnya. Melody sudah menunggu di sana dan nampak terkejut ketika Chris
memintanya untuk pulang sendiri. Kami naik ke mobil Chris diiringi tatapan
penuh kebencian dari Melody Stevens, si ketua pemandu sorak, anak paling
populer di sekolah kami.
“Nah,
siapa yang mau mulai bercerita kepadaku apa yang sebenarnya telah terjadi
barusan?” kata Chris saat mobil sudah melaju meninggalkan sekolah. Ia menatap
kami berdua yang duduk di kursi belakang dari kaca spionnya.
“Grayson
itu bajingan dan besok aku akan membunuhnya!” kata Skye berapi-api masih
terbayang peristiwa tadi.
“Julia?”
Chris bertanya kepadaku.
“Eh,
aku tidak apa-apa. Sungguh, aku tidak mau merepotkan semua orang,” jawabku
pelan, masih diselingi isak tangis.
“Sudahlah,
Julia. Dia kakakku, aku akan menceritakan semua kepadanya. Terkadang aku tidak
bisa menahan kesabaran jika itu menyangkut dirimu,” kata Skye.
“Siapa
sebenarnya Grayson ini? Yah, dia ada di tim football,
tetapi aku tidak begitu mengenalnya,” kata Chris.
“Dia
temanku. Dia sebenarnya anak yang baik, tapi aku tidak tahu apa yang sedang ia
pikirkan tadi,” kataku mulai agak tenang.
“Dia
berusaha menciumnya, Kak!” teriak Skye histeris.
Chris
menunjukkan wajah bingung. “Lalu?”
“Oh,
kakakku ternyata belum mengenalmu dengan baik, Julia. Kamu dengar itu? Dia
malah bertanya balik.”
“Apa
salahnya berciuman? Kita semua sudah besar, bukan?”
“Kak,
Julia itu berbeda dari kita semua. Makhluk jenis Julia Jane Parker ini langka.
Makhluk seperti dia sepertinya hanya bisa jatuh cinta satu kali seumur hidup,
jadi dia tidak akan memberikan segalanya kepada sembarang laki-laki.”
“Skye,
jangan cerita kepada kakakmu. Itu semua memalukan,” aku berkata kepada Skye dan
memohon ia menghentikan ucapannya. Terlambat.
“Dia
tidak akan mau dicium lelaki mana pun sebelum usianya 16 tahun dan itu masih
sekitar delapan bulan lagi, cukup waktu baginya untuk berpikir kepada siapa ia
akan memberikan izin untuk menciumnya pertama kali.”
“Skye!!!”
Aku mulai berteriak karena panik.
“Julia
juga tidak akan mau tidur dengan siapa pun sampai ia berusia 22 tahun. Dia
berencana lulus kuliah dulu sebelum bisa melepas keperawa…”
“Cukup,
Skye!” Aku menutup mulut Skye dan tidak berencana melepasnya lagi jika ia masih
membeberkan rahasia-rahasiaku kepada kakaknya.
“Maaf,
Julia. Kakakku harus tahu karena siapa tahu dia salah satu kandidat terbaik
untuk memenangkan hatimu. Jauh lebih baik daripada Grayson si bajingan itu.”
Skye berusaha melepaskan diri dari tanganku.
“Skye…”
ucapku lemah. Rasanya aku ingin sekali melempar tubuhku keluar dari mobil yang
sedang melaju ini karena baru saja dipermalukan sahabatku di depan lelaki yang
selalu membuat hatiku berdebar-debar.
“Hey!
Aku harus memastikan kamu berada di tangan lelaki yang layak dan bisa
melindungimu jika aku tidak bisa bersamamu nanti. Aku takut tugasku sebagai pelindungmu
sejak kita berusia lima tahun tidak memiliki penerus yang layak,” cerocos Skye.
“Aku
tidak keberatan,” ujar Chris tiba-tiba.
Aku
dan Skye sama-sama terdiam saking terkejutnya. Pergulatan kami di kursi
belakang terhenti tepat ketika tanganku hendak menutup mulutnya kembali.
“Ehm,
aku tidak keberatan menunggu untuk gadis semanis Julia. Aku rasa jika seorang
lelaki benar-benar mencintai perempuan, ia akan membuat perempuan itu layak
untuk ditunggu dan tidak memaksakan kehendaknya,” kata Chris lagi.
“Kakak
benar-benar mau menunggu? Maksudku, kakakku yang selalu berciuman dengan
pacarnya setiap ada kesempatan ini mau
menunggu untuk seorang gadis yang benar-benar disayangi?” ujar Skye tak
percaya.
“Hey!
Aku tidak selalu berciuman setiap ada kesempatan! Sepertinya itu kamu dan Flynn
yang selalu aku pergoki berciuman di dalam mobil dan di teras rumah. Membuatku
mendapatkan mimpi buruk nyaris setiap malam,” ujar Chris.
“Aku
tidak tahu kalau aku punya kakak seorang stalker!”
“Hanya
menjagamu, adik kecil. Beruntung kamu jatuh ke pelukan sahabatku. Dia adalah laki-laki
terbaik yang aku tahu.”
Skye
tersenyum dan meninju bahu kakaknya dengan pelan.
“Maksudmu,
dia yang jatuh ke pelukanku, tentu saja. Jadi kakak dan Julia ada harapan?” kata
Skye yang kemudian menatapku dengan sorot mata yang belum pernah ia berikan
kepadaku sebelumnya. Seolah ia sedang menilaiku dan memikirkan sesuatu di dalam
benaknya.
Aku
tidak tahu apa maksud tatapannya saat itu, namun di kemudian hari aku
mempelajari bahwa di dalam mobil itulah ia menyadari untuk pertama kalinya bahwa
kakaknya diam-diam menaruh perasaan kepadaku. Hal itu membuat Skye amat
gembira.
“Julia,
aku serius dengan ucapanku. Kamu perlu tahu bahwa kamu adalah gadis yang layak
ditunggu,” ujar Chris.
Mata
biru gelapnya menatapku lekat-lekat lewat kaca spion mobil, membuat jantungku
kembali berdebar-debar.
“Aku
akan selalu menunggumu, little princess.”
*****
Comments
Post a Comment