Standing in the Crossroads of My Mind
Persimpangan
ini nampak begitu asing bagiku. Lampu jalannya memang sama, menggantung pada
tiang hitam berukir ornamen emas, seakan memberi naungan pada papan hijau
penunjuk nama jalan yang melekat dengan kokoh di bagian tengah tiang. Akan
tetapi Kafe Perancis yang biasa terlihat manis dengan kursi-kursi putih dan
dekorasi bunga-bunga berwarna merah jambu di sudut jalan tak terlihat sedikit
pun. Begitu pula dengan toko serba ada yang selalu saja sibuk di seberangnya.
Pemandangan yang biasa kulihat itu mendadak berganti menjadi barisan butik
kelas atas yang menjulang dengan dominasi warna hitam dan putih. Benar-benar
pemandangan yang terasa asing bagiku.
Ternyata
benar, aku tidak pernah melewati persimpangan ini sebelumnya. Nama jalannya
jelas-jelas berbeda. Sepertinya ini adalah salah satu jalanan utama kawasan
pertokoan mewah yang belum pernah aku lalui. Aku tidak tahu kini berada di mana
atau harus melangkah ke mana. Sepertinya aku tadi melewati satu atau dua
persimpangan dan berbelok di jalanan yang salah.
Aku
melihat sekeliling, mencoba memutar otak sambil memastikan kewaspadaanku tetap
terjaga. Aku tidak ingin dia menemukanku dan memberinya alasan untuk
menghampiriku atau sekedar berbicara kepadaku. Tidak ada satu kata pun yang aku
ingin dengar darinya. Paling tidak untuk saat ini, ketika pikiranku belum
benar-benar jernih. Aku harus memastikan dia kehilangan jejakku.
Menyadari
pengetahuanku pada peta yang sepenuhnya telah buntu, aku mulai merasa cemas dan
ingin menyerah saja. Aaargghh! Kota
ini terlalu besar. Gedung-gedungnya begitu beragam, dengan
persimpangan-persimpangan jalan yang nyaris identik. Belum lagi trotoar
disesaki para pejalan kaki yang hilir-mudik. Mereka semua melangkah dengan
langkah-langkah panjang yang tergesa-gesa, seolah mengejar sesuatu yang nyaris
lepas dari hadapan. Seperti akan melewatkan kesempatan berharga jika mereka
berjalan dengan ritme yang lebih lambat, biarpun hanya sedikit. Bunyi decit rem
dan klakson mobil di jalan raya pun tak membantu. Semua bising dan menyesakkan.
Kepalaku
mendadak pusing, serasa mau pecah. Gejolak di perutku makin tak karuan. Apakah
benda asing di ruang rahimku ini juga merasa gelisah usai menyaksikan sesuatu
yang sebegitu mengejutkan? Aku tak bisa berpikir. Masih merasa kesulitan
mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi. Aku dan insting bodohku yang sudah
terlanjur memutuskan untuk mengambil langkah seribu sebelum telinga ini
mendengar sebuah penjelasan. Jika dipikirkan kembali, mungkin memang relung
hati ini tidak siap menerima penjelasan apa-apa dari lelaki itu.
“Julia,
ini tidak seperti yang kamu pikirkan…” ucapnya beberapa saat lalu tanpa melepaskan
pandangannya sedikit pun pada kedua mataku. Tatapannya begitu lembut, tetapi
aku merasa ada sesuatu yang ia sembunyikan dariku. Aku tiba-tiba merasa tak
mengenal lelaki yang berada di hadapanku.
Lelaki
itu kemudian berjongkok dan memungut bingkisan kecil berpita perak yang tadi
kujatuhkan tanpa sengaja. Ia menatap barisan-barisan huruf yang terbuat dari
cokelat di atas kue favoritnya semasa remaja itu.
“Julia,
apakah kamu… kita…”
Belum
selesai ia berbicara, aku melangkah pergi. Aku menekan tombol lift berkali-kali
dengan frustasi karena pintu lift tak mau juga membuka. Tiba-tiba telapak
tangannya yang terasa begitu hangat menggenggam lenganku dan kemudian menyentuh
pipiku.
“Julia…”
ucapnya lagi. Kali ini sebuah senyum mulai merekah menghiasi wajahnya yang tadi
terlihat begitu sedih dan lelah.
Aku
mendorong tubuhnya yang nyaris dua kali lebih besar daripadaku itu menjauh. Aku
ingin sekali meneriakinya, memakinya, bahkan mengucap sumpah serapah yang akan
membuat mendiang nenekku bangkit lagi dari kubur hanya untuk kemudian kena
serangan jantung lagi jika mendengarnya. Namun lidahku kelu. Aku hanya bisa
diam dan memalingkan wajahku dari hadapannya.
“Ayo,
kita pulang. Tubuhku kedinginan dan aku yakin kamu juga lelah setelah perjalanan
pagi. Kita bicara di dalam,” katanya seraya berusaha menggenggam tanganku.
“Aku
– tidak – sudi – masuk – ke – ruangan – yang – kamu – bagi – bersama – perempuan
– lain! Tempat itu sudah bukan rumahku lagi!!!”
Kata-kata
itu meluncur begitu saja dari bibirku dan membuat lelakiku itu terkejut. Aku
sendiri tidak percaya aku bisa berkata seketus itu sambil susah payah menahan
air mata agar tak setetes pun jatuh di hadapannya. Saat itu aku merasa harga
diriku jauh lebih penting dari segalanya, terutama setelah aku mencium sebuah
pengkhianatan.
Apa
boleh buat, semua sudah terjadi. Aku mendorong tubuhnya agar kembali menjauh
dan memasuki pintu lift yang akhirnya terbuka di belakangku. Pintu lift itu
kemudian berdenting dan menutup tepat di hadapan lelaki yang berdiri mematung
seolah lemah tak berdaya karena baru saja mendengar sesuatu yang sebelumnya tak
pernah ia dengar. Sesaat sebelum lift meluncur turun, aku sempat mendengar ia
meneriakkan namaku sekali lagi dan memohon agar aku mendengarkan penjelasannya.
Semua
kejadian itu akhirnya membawaku ke persimpangan antah berantah ini. Aku
memutuskan untuk membuka aplikasi penunjuk jalan yang menghiasi layar ponselku
dan mulai mengetik arah ke tempat sahabatku bekerja di kota ini. Rumah Sakit
Umum Pusat.
Semenjak
lulus SMA, Skye hanya memiliki dua prioritas dalam hidupnya: menjadi dokter
anak dan menyeret kakaknya pulang kembali ke kota kecil tepi laut, bertekuk
lutut di hadapan ayah ibu mereka. Oh, tadinya prioritas sahabatku itu hanya
menjadi dokter anak, namun ketika kakaknya pergi dari rumah, ia tanpa ragu
menjadikan kepulangan sang kakak ke rumah sebagai tujuan kedua dari hidupnya.
Maka
setelah melalui proses pemikiran yang panjang dan kerja keras tiada akhir, Skye
berhasil menjadi mahasiswa kedokteran di universitas yang letaknya tepat di
kota tempat kakaknya menimba ilmu dan pengalaman menjadi aktor. Artinya, ia
bisa leluasa menjalani cita-citanya menjadi dokter dan menjalin hubungan lebih
dekat dengan sang kakak yang keras kepala, dengan harapan suatu hari bisa
membuatnya pulang ke rumah dan membuat mereka semua berkumpul layaknya sebuah
keluarga bahagia.
Aku
selalu mengagumi Skye entah sejak berapa lama. Mungkin semenjak ia yang baru
berusia lima tahun dengan nekat menyeberang jalan yang memisahkan kedua rumah
kami dan membuat ibunya nyaris pingsan karena sedetik saja ia lengah dan anak
perempuannya itu dengan gagah melintasi jalanan yang biasanya dilalui kendaraan
bermotor dan sepeda dengan laju yang tak bisa dibilang pelan.
Skye
kecil penasaran dengan gadis berambut merah yang selalu dikuncir kuda dan tak
pernah terlihat selangkah pun keluar dari rumah. Gadis itu hanya bermain di
teras rumah dan tak pernah menikmati sinar mentari di pekarangan. Tak pernah
naik sepeda, main sepatu roda, atau sekedar bermain bola di pinggir jalan.
Gadis kecil itu, aku.
Ibu
Skye datang tergopoh-gopoh ke rumah, tepat ketika Skye sedang menarik tanganku
dan menyeretku ke pekarangan. Aku yang pemalu dan penakut saat itu tentu saja
menangis keras hingga ibuku sampai keluar rumah dengan wajah yang tak kalah
panik dengan ibu Skye. Tak butuh waktu lama sebelum akhirnya kedua ibu yang
bertetangga sekaligus bersahabat karib itu tertawa terbahak-bahak melihat
kepolosan anak-anak mereka.
“Tapi,
Bu. Aku hanya ingin mengajak Julia bermain di luar,” ucap Skye kala itu tanpa
merasa bersalah sedikit pun.
Seingatku,
sejak saat itulah hari-hariku selalu diwarnai dengan petualangan bersamanya. Di
tahun-tahun pertama aku berteman dengannya, entah bagaimana keberanian muncul
dalam diriku. Aku yang tadinya selalu enggan bermain di luar rumah pun mulai
mengenal asyiknya bercengkerama di kebun, piknik di atas rumput yang baru saja
dipotong, menangkap kupu-kupu dan kumbang yang menyeramkan, mencicipi berbagai
buah berry yang ditanam oleh ibuku di kebun, dan tentu saja yang paling
mengasyikkan adalah bersepeda mengelilingi blok, hingga jauh ke tepi pantai.
Ketika
memasuki usia remaja, kami memang memiliki banyak perbedaan. Aku yang pada
dasarnya memang cenderung pendiam dan pemalu, tak banyak aktif di kegiatan
sekolah. Nilai-nilaiku juga biasa-biasa saja. Hanya di kelas Bahasa Inggris aku
menonjol. Essayku kerap dipuji guru dan puisi-puisiku tak jarang menghiasi
koran sekolah. Selain itu, rasanya tak banyak yang tahu kalau aku hidup dan
bernafas di sekolah itu.
Berbeda
dengan Skye yang begitu populer. Di tahun sophomore
ia sudah terpilih jadi wakil kapten di tim pemandu sorak. Sebuah prestasi
yang biasanya hanya bisa dicapai oleh siswa tahun ketiga, tak pernah sekalipun
oleh siswa sophomore. Meski selalu
terlihat sibuk latihan dan berkompetisi, akan tetapi Skye tetap mampu mempertahankan
nilai-nilainya di atas rata-rata.
“Sumpah,
Julia. Aku tidak mau larut dalam stereotipe gadis pemandu sorak yang bakalan
hamil di tengah-tengah puncak prestasinya dan menghancurkan hidupnya sendiri.
Tidak, terima kasih! Aku bakalan jadi gadis pemandu sorak yang berbeda dari
ekspektasi semua orang. Rambutku bahkan tidak pirang, demi Tuhan!” katanya
suatu ketika sambil mengibaskan rambut ekor kudanya yang berwarna cokelat gelap.
Aku hanya tertawa dan merasa Skye terlalu banyak nonton drama televisi tentang
gadis pemandu sorak yang kebanyakan memang berambut pirang.
Perbedaan
karakter dan segalanya yang membuat kami seakan tak mampu sejalan itu ternyata tak
pernah menghalangi pertemanan kami. Berapa pun banyaknya teman kami pada masa
sekolah dan berapa pun banyaknya kesibukan kami, Skye dan aku selalu saja tak
terpisahkan. Pertemanan selamanya ini lah yang juga kemudian membuatku mengenal
kakak lelaki Skye sejak hari pertama aku berteman dengannya. Kakak lelaki yang
baru saja aku tinggalkan di depan pintu lift.
“Skye, aku menuju rumah sakit
tempatmu bekerja sekarang. Telepon aku jika kamu sedang tidak sibuk.” Aku
mengetik kata-kata itu dengan jemari yang gemetar. Kuharap Skye membacanya,
karena jujur saja aku sedikit bertaruh pada nasib jika mengingat Skye tak bisa
memegang ponsel sesuka hatinya karena ia tengah sibuk menjadi dokter residen di
rumah sakit itu. Namun ternyata aku tak perlu meletakkan harapanku, karena
beberapa detik kemudian ponselku berdering dengan wajah Skye yang sedang
tersenyum lebar menghiasi layar.
“Julia!
Apa-apaan? Kenapa tidak bilang kalau kamu akan ke sini? Aku bisa menjemputmu di
stasiun atau kita bisa janjian di restoran favorit kita, atau dimana pun yang
kamu suka,” cerocosnya dari ujung saluran.
“Skye,
aku hanya ingin bertemu… sebentar,” suaraku terdengar begitu lirih tanpa
kusadari.
“Hey,
Julia? Kamu baik-baik saja?”
“Aku
baik-baik saja, hanya ingin bertemu sebentar sebelum aku pulang kembali. Aku ke
rumah sakit sekarang, ya?”
“Oke,
jadwal piketku akan selesai sebentar lagi. Kebetulan kemarin aku kebagian shift malam. Kemarilah, tunggu aku di
kafetaria. Aku mendadak khawatir denganmu,” katanya sebelum memutuskan hubungan
telepon.
Aku
menghela nafas dan kembali memantau aplikasi peta di layar ponsel. Rumah Sakit
Umum Pusat semestinya tidak jauh, hanya butuh beberapa menit berjalan kaki dari
apartemen tempatku tadi keluar sembari menahan luapan emosi yang menyesakkan
jiwa. Kalau saja aku bisa kembali ke persimpangan jalan yang benar tempat Kafe
Perancis itu berada. Setelah sibuk berbelok sana-sini mengikuti arahan aplikasi
selama hampir sepuluh menit, tibalah juga aku di muka rumah sakit terbesar di
kota ini: Rumah Sakit Umum Pusat.
Kafetaria
rumah sakit tak terlalu penuh. Hari memang masih cukup pagi, sehingga
kelihatannya belum banyak yang mengunjungi rumah sakit, kecuali mungkin mereka
yang memang terjaga semalaman atau baru saja meringkuk di kursi ruang tunggu
demi menunggu kabar dari kerabat mereka yang tengah dirawat. Aku memesan kopi dan
roti bagel sembari menunggu Skye. Aku baru sadar bahwa aku belum sarapan dengan
layak sebelum naik kereta dan peristiwa yang baru kualami tadi membuatku
membutuhkan banyak asupan untuk bisa berpikir apa yang selanjutnya harus
kulakukan.
Beberapa
saat kemudian, Skye masuk ke kafetaria dan mengambil tempat duduk di hadapanku.
Ia masih mengenakan seragam kerjanya yang berwarna biru dan sepatu kanvas
putih. Tas ransel tersampir di bahu kirinya dan sweater hoodie di bahu satunya. Rambut ekor kudanya nampak acak-acakan. Wajahnya
terlihat begitu lelah dengan kantung mata menebal yang membuatnya sebentar lagi
nampak seperti zombie.
Skye
memang pada dasarnya cantik apa pun yang ia kenakan dan dalam seribu satu macam
kondisi. Skye yang harus lari di bawah guyuran hujan sepulang sekolah karena
ketinggalan bus pun masih nampak keren seolah baru keluar dari salon kecantikan
dengan dandanan a la wet look. Kalau
dipikir-pikir, begitu pula dengan kakaknya yang terlihat seperti dewa laut yang
tengah mengunjungi daratan ketika ia bermain football di lapangan, di tengah guyuran hujan. Gen keluarga mereka
sepertinya memang bagus. Mata biru gelap, rambut dengan rona kecoklatan yang di
bawah sinar mentari bisa terlihat cerah, dan menggelap ketika terkena air
hujan.
Bandingkan
denganku ketika harus lari-lari dalam hujan sepulang sekolah akibat si kembar
lupa bilang kepada ibu bahwa aku ada kelas tambahan dan harus pulang lebih sore
dari biasanya, pasti penampilanku sudah seperti Fluffy, kucing angora kami yang
dimandikan paksa oleh si kembar, dan bulunya belum dikeringkan oleh hair dryer. Sama sekali tak menyisakan
rona kecantikan sedikit pun. Definisi nyata dari istilah “kucing tercebur got”.
Jadi
Skye yang tengah duduk di hadapanku ini adalah pemandangan yang super langka.
Maksudku, ia tetaplah Skye yang cantik, namun terlihat jelas wajah lelahnya
yang mungkin menyurutkan pesonanya nol koma sekian persen. Apa pun itu, tetap
saja langka!
“Malam
yang berat?” tanyaku penuh simpati.
“Yah,
kamu bisa bilang itu sekali lagi. Semalam terjadi kecelakaan lalu lintas di
Jalan Raya 41. Tiga mobil pribadi dan satu truk kontainer. Kamu tidak akan bisa
membayangkan betapa riuhnya ruang gawat darurat dan bagaimana kondisi para
korban yang masuk ke sana,” ujarnya.
“Kamu
sekarang ditugaskan di ruang gawat darurat?”
“Semua
tenaga yang ada malam tadi dikerahkan untuk membantu, Julia. Ini mungkin
peristiwa kecelakaan terbesar yang pernah aku alami sepanjang tahun-tahunku
menjadi dokter residen di sini. Meski pengalaman luar biasa, namun kuharap hal
seperti itu tidak pernah terjadi lagi,” katanya sembari meletakkan tangannya di
dada dan menghela nafas lega.
Aku
bersandar pada kursi dan tersenyum membayangkan betapa sahabat terbaikku di
dunia sepertinya telah menemukan apa yang menjadi hasratnya dalam hidup.
“Berhenti
bicara soal aku, apa yang membuatmu tiba-tiba datang kemari?” tanyanya.
Jujur
saja, aku bingung harus bercerita apa kepada Skye saat ini. Menghubunginya
adalah insting pertamaku setelah melarikan diri dari kakaknya, karena aku
sungguh tidak tahu harus melangkah ke mana lagi di kota yang selalu nampak
asing ini. Padahal aku hampir selalu menghabiskan masa liburan musim panasku di
sini semenjak lulus SMA. Mendatanginya, bersamanya.
Masih
terekam jelas dalam ingatan ketika aku pertama kali menginjakkan kaki di kota
ini bertahun-tahun silam. Saat itu aku menemani Skye yang harus menghadiri
wawancara seleksi masuk dengan Dekan Fakultas Kedokteran tempatnya mendaftar.
Bagi Skye, peluang itu adalah segalanya. Jadi ia tidak mau pergi sendirian.
Orang tuanya terlalu sibuk menangani bisnis yang menopang banyak keluarga di
kota kecil kami, sehingga merasa tak sanggup untuk menghabiskan waktu dengan
pergi meninggalkan para pekerjanya. Bisnis sedang cukup sulit kala itu,
sehingga mereka membutuhkan semua tenaga yang ada.
Flynn,
kekasih Skye semenjak SMA yang juga kakak kelas kami, sedang mengikuti latihan
persiapan kompetisi football nasional
musim depan di universitasnya yang terletak di belahan negara bagian lain.
Tentu saja kondisi ini membuat Skye langsung menggandengku pergi bersamanya.
Aku yang sudah memastikan diri mendapat bangku kuliah dan mengurus segala administrasinya,
tentu saja tak punya alasan untuk menolak.
Selama
Skye mengikuti proses seleksi dan wawancara, aku terpaksa menunggunya di
sekitar kampus. Aku tak berani berpetualang di kota itu sendirian tanpanya.
Kota ini terlalu besar bagiku dan tak ada seorang pun yang kukenal di sini, kecuali
lelaki itu: kakak Skye. Ah, aku sudah dua tahun tak berjumpa dengannya. Meski
ia memang tak pernah sepenuhnya pergi dari kehidupanku, namun segala
perbincangan yang kami lakukan semenjak ia pergi ke kota ini hanyalah melalui
telepon, pesan singkat, video call,
atau email. Semua begitu intens pada awalnya dan menjadi semakin berkurang
hingga saat ini. Terakhir aku mengabarinya bahwa aku akan datang kemari pekan
lalu, namun ia tak kunjung membalasnya.
Aku
memutuskan menunggu Skye sambil duduk dan membaca buku di tepi danau dekat
kampus. Udara begitu sejuk dengan semilir angin yang berhembus memainkan
anak-anak rambutku yang terlepas dari ikatannya. Udara seperti ini yang
membuatku rindu akan pantai tempatku biasa merenung dan mencari inspirasi.
Suasananya juga begitu tenang, tak banyak manusia dalam gambaran tempat sedamai
ini.
Aku
hanya melihat beberapa orang yang kelihatannya seperti mahasiswa, lengkap
dengan tas punggung mereka, sibuk dengan buku, laptop, atau sekedar mengobrol.
Sebuah tempat yang benar-benar cocok dengan diriku yang memang tak pernah suka
pada keramaian.
“Kamu
benar-benar sudah dewasa sekarang, little princess!”
Tiba-tiba
sebuah sosok berdiri di hadapanku, menutupi sinar mentari yang sedari tadi
menerpa dari balik pepohonan yang rindang. Aku menengadah ke atas sembari
melindungi mata dari silaunya cahaya. Aku tak dapat melihat wajahnya dengan
jelas, hanya siluetnya yang terlihat. Tanpa memfokuskan pandangan, aku sudah
tahu sejak awal siapa yang kini sedang berdiri di hadapanku. Hanya lelaki itu
satu-satunya manusia di dunia yang memanggilku dengan sebutan little princess.
Sebelum
aku sempat bangkit, ia mendudukkan dirinya tepat di sampingku. “Lihatlah dirimu
sekarang, Julia,” ujarnya.
“Ke…
Kenapa kamu ada di sini?” kataku dengan sedikit serak. Aku berdehem dan
memperjelas ucapanku, “Maksudku, dari mana kamu tahu aku sekarang sedang berada
di sini?”
“Yah,
kamu sendiri yang memberi kabar bahwa kamu akan ke sini,” katanya santai.
Pandangannya lurus ke arah danau sehingga aku sulit menerka raut wajahnya
sedang menyiratkan apa. Aku sendiri hanya berani menatap rerumputan sejak ia
memutuskan untuk duduk di sebelahku.
Lelaki
itu akhirnya tertawa dan menatapku sembari mengucap, “Skye mengabariku bahwa ia
akan berada di kampus pagi ini. Dan sejak kamu sudah pasti akan mengekornya
kemana-mana, aku menduga hanya ada dua tempat yang memiliki kemungkinan
terbesar di mana aku bisa menemukanmu: perpustakaan atau di sini. Dugaan
pertamaku adalah di sini dan lihatlah sekarang.”
“Aku
tidak mengekor Skye!” protesku.
“Tidak?”
“Tentu
saja!”
“Kalau
begitu, ayo! Aku yakin adikku itu tidak akan keberatan jika aku menculikmu
sebentar,” ujarnya seraya menggenggam tanganku dan membawaku berlari
meninggalkan tepi danau yang nyaman itu. Tanpa punya kesempatan sedikitpun
untuk memberontak, ragaku pasrah mengikuti lelaki itu. Dari situlah kemudian
hubungan kami yang tadinya hanya teman bertukar pikiran di sebuah patisserie di kota kecil tepi laut, menjadi
sesuatu yang lebih. Setidaknya hingga hari ini.
“Julia!!!!”
Sebuah
suara samar-samar meneriakiku berkali-kali. Skye versi dokter residen sedang
menatapku dengan bingung dan sedikit merengut. “Aku kira kamu kerasukan, Julia!
Menatap entah ke mana dan berpikir entah apa, membuatku nyaris terkena serangan
jantung saja!” ujarnya.
“Ma…
Maaf, Skye!” Aku kembali tersadar dari lamunanku.
“Ada
apa sebenarnya? Aku mencemaskanmu, Julia.”
“Itu…
Skye, aku rasa aku…. hamil,” kataku lirih.
Mata
Skye yang biru gelap seperti milik kakaknya terbelalak, seolah ada binar-binar
gemintang di dalamnya, dan bibirnya merekah lebar. “Benarkah? Kakakku? Julia,
ini berita gembira! Bakalan ada bayi kecil dalam keluarga North yang bisa kumanja
sesuka hatiku.”
Aku
memalingkan wajahku darinya.
“Julia?
Ada apa?” Sorak-sorainya mendadak lenyap berganti tatapan heran ke arahku.
Aku
hanya membisu, tidak sanggup berkata apa-apa.
“Sebentar,
apakah kakakku sudah tahu?”
“Kurang
lebih,” jawabku akhirnya.
“Apa
maksudmu kurang lebih? Demi Tuhan, Julia! Sebenarnya ada apa? Kamu harus segera
menjelaskan semuanya kepadaku sebelum aku menjadi gila!”
“Masalahnya,
Skye...”
“Masalah
apa? Ini berita luar biasa gembira! Aku tahu kalian belum menikah atau semacamnya,
tapi kalian berdua saling mencintai dan kalian patut merayakannya. Bahkan
kakakku itu sebaiknya segera melamarmu dengan lamaran paling romantis sedunia.
Awas saja kalau kakak tidak melakukannya,” cerocos Skye tanpa henti.
“Skye,
dengar dulu…”
“Apakah
kakakku sudah tahu? Oh, jangan-jangan kamu memberitahuku secara resmi lebih
dulu daripada dia. Aku tersanjung sekali, Julia. Aku selalu tahu kamu akan
lebih menyayangiku daripada menyayangi kakakku itu,” ujarnya berkelakar.
Kegembiraan Skye seolah tak terbendung lagi. Kegembiraan yang semestinya
diluapkan oleh kakaknya kepadaku. Namun semua itu tinggal harapan yang sia-sia.
Skye
mengeluarkan ponsel dari tas ranselnya. “Aku akan menelepon kakakku dan
menyuruh bedebah itu segera menjemputmu dari sini. Kalian perlu waktu merayakan
ini berdua dan Julia, meski kamu tahu aku sangat menyayangimu dengan segenap
hatiku, tapi setelah malam yang luar biasa melelahkan tadi, aku hanya butuh
berendam di bak air panas kamar mandi apartemenku, segelas sampanye, dan tidur
pulas.”
Secara
refleks aku merebut ponsel Skye dari genggamannya. Aku melakukannya dengan
cukup kasar sehingga Skye nyaris melompat dari kursi saking terkejutnya.
“Julia,
apa-apaan?”
“Skye,
dengar dulu. Dari tadi kamu terus berbicara dan tidak memberikan kesempatan
kepadaku untuk menjelaskan.”
Skye
memelototiku dan merebut ponselnya kembali. “Baik, cepat katakan. Kamu aneh
sekali hari ini, Julia. Aku mencemaskanmu sekaligus kesal, tapi katakan saja
apa yang mau kamu katakan.”
“Aku
butuh bantuanmu untuk menggugurkan janin ini.”
*****
Comments
Post a Comment