Wira di depan Stasiun Universitas Indonesia |
Sudah berabad rasanya semenjak saya terakhir kali
menginjakkan kaki di stasiun commuter
line – dulu disebut KRL (kereta rel listrik) – jurusan Bogor-Kota. Kala
itu, KRL merupakan tunggangan sehari-hari bagi saya yang mukim di Bekasi untuk
menuju kampus tercinta di Depok. Bayangkan, harus membelah ibukota dari ujung
timur ke ujung selatan. Tak banyak pilihan berkendara (umum) yang nyaman saat
itu, jadi mau tak mau KRL adalah pilihan utama. Sampai-sampai ada julukan “rocker”
alias rombongan kereta bagi kami, mahasiswa yang setia menggunakan jasa KRL.
Bagi kalian yang kini biasa menggunakan commuter line, hapus gambaran gerbong kereta full AC, berkursi dengan bantalan empuk, gerbong perempuan, bersih,
nihil pedagang kaki lima, palang pintu yang bisa menutup secara otomatis, dan
dilengkapi petugas nyaris di setiap pintunya. Belasan tahun lalu, KRL kelas
ekonomi itu benar-benar “mengenaskan” dan ganas.
Bayangkan, kebersihan kereta sepertinya tak terlalu
dipedulikan sehingga setiap gerbong terlihat begitu kumuh. Sudah begitu, jadwal kereta yang tak beraturan
menyebabkan kereta kerap padat dan manusia berjejalan seperti cendol di setiap
gerbong. Plus, tiadanya AC yang menyebabkan aroma keringat setiap insan di
dalamnya menguar tanpa ampun.
Belum lagi pedagang kaki lima dan pengamen yang masih saja
memaksakan diri menembus lautan manusia yang sebenarnya sudah tak mampu lagi
bergerak untuk menjajakan dagangannya. Para pedagang kaki lima ini bahkan sudah
mulai memadati stasiun sejak pagi hari dan banyak yang kemudian memilih mangkal
secara tetap di setiap stasiun.
Masih belum cukup ganas, penumpang yang duduk di atap
gerbong pun tak bisa dibilang sedikit jumlahnya. Hal ini sudah menjadi
pemandangan biasa, meski risikonya adalah mati tersengat listrik atau jatuh
terbanting ke tanah dan terlindas kereta. Seperti itulah gambaran KRL setiap
harinya di jam-jam padat: pagi ke arah Kota dan sore ke arah Bogor.
Wira di peron Stasiun Cawang |
Oh, satu hal yang belum saya ceritakan adalah soal tiket. Berbekal uang seribu lima ratus rupiah, penumpang bisa menikmati perjalanan dari Bogor ke Jakarta atau sebaliknya. Cukup murah sebenarnya, namun sistem ticketing yang tidak ketat menyebabkan penumpang bisa naik tanpa harus beli tiket. Kondektur terkadang luput melakukan pemeriksaan di atas kereta dan penumpang pun minim kesadaran untuk membeli tiket. Salah satu taktik yang biasa digunakan adalah menyebut kata “abo” alias abondemen, yakni karcis langganan kereta yang dapat digunakan selama sebulan penuh. Itu pun kerap luput dari pemeriksaan kondektur.
Untunglah semenjak era Ignasius Jonan menjabat Menteri
Perhubungan, perbaikan yang positif segera dilakukan untuk memperbaiki
pelayanan jasa kereta api, termasuk KRL Bogor-Jakarta. Hasilnya adalah commuter line yang bisa kita nikmati
hingga kini.
Pekan lalu saya memutuskan untuk mencoba bernostalgia
menyusuri jalanan ke kampus saya menggunakan jasa commuter line. Saya tak sendiri, si Bungsu setia menemani sejak
awal perjalanan. Kami mulai perjalanan kami dari Stasiun Cawang. Stasiun mungil
yang dahulu menjadi tempat langganan saya berangkat kuliah, telah berubah.
Untuk memasukinya pun tak bisa sembarangan. Kami harus melakukan tap tiket
terlebih dahulu.
Maka, pergilah kami ke loket untuk membeli tiket ke Stasiun
Universitas Indonesia yang hanya seharga tiga ribu rupiah. Masih tergolong
sangat murah. Tiket ini plus uang jaminan sepuluh ribu rupiah yang bisa direfund di akhir perjalanan. Cara beli
dan refund tiket pun amat canggih,
karena selain di loket, kita bisa memperolehnya di mesin otomatis. Hebat!
Wira di dalam gerbong commuter line |
Tak lama menunggu kereta, karena setelah membeli tiket,
kereta jurusan Bogor langsung memasuki peron. Saya dan si kecil pun naik.
Kondisi Sabtu pagi membuat kereta amat lengang sehingga kami bisa menikmati
tempat duduk di mana pun kami mau. Gerbong perempuan yang kami pilih berada di
paling ujung depan rangkaian kereta dan ada satu lagi di ujung belakang. Hanya
perempuan dan anak kecil yang boleh menaiki gerbong ini.
Sepanjang perjalanan saya berdecak kagum sekaligus sedikit
menyesali mengapa perubahan positif semacam ini tak cepat dilakukan pada saat
saya kuliah. Kini commuter line
begitu nyaman dan perjalanan yang memang semestinya singkat menjadi
menyenangkan. Kondisi stasiun pun kini begitu bersih dengan sistem ticketing dan penjagaan yang lebih baik.
Ah, seandainya saya yang masih berwujud mahasiswa bisa menikmati perjalanan
semenyenangkan ini!
Wira punya pengalaman baru senang naik commuter line |
Comments
Post a Comment