Ada kenangan
samar yang tersimpan dalam benakku. Kelas menggambar di Taman Kanak-kanak. Saat
itu jemariku yang masih kecil menggenggam krayon biru dan kugunakan untuk
mewarnai daun-daun di pepohonan. Krayon merah untuk memenuhi langit. Krayon
hijau untuk menandai kokohnya batang pohon.
Jika saja aku melakukannya saat ini,
mungkin aku akan dianggap sebagai anak jenius. Anak berbakat yang selalu
berpikir di luar kotak. Thinking out of
the box. Aku mungkin bahkan akan disebut-sebut sebagai penerus Picasso, Van
Gogh, atau jangan-jangan malah Leonardo Davinci. Akan tetapi tidak jika
mahakaryaku ini tercipta lebih dari sepuluh tahun silam.
Aku ingat Ibu Guru memandang kertas
gambarku dengan tatapan aneh. Didorongnya kacamata tebal yang melorot ke
pangkal hidungnya. Sedikit mengernyit, seolah tidak yakin akan apa yang
dilihatnya. Hal yang terlintas di benakku kemudian adalah Ibu Guru berbicara
dengan ibuku lama sekali. Aku menyanyikan lagu Bintang Kecil 20 kali, lagu Pelangi
20 kali, dan lagu Burung Kutilang 20
kali hingga akhirnya aku bosan menunggu sendirian di luar pintu kelas.
Pikiranku kemudian melayang pada
pembicaraanku dengan Ibu saat aku sudah duduk di Sekolah Dasar. “Kau ini
istimewa. Mungkin agak sedikit berbeda dengan teman-temanmu, namun tak ada yang
perlu dikhawatirkan. Dunia yang kamu lihat tetaplah sama,” kata Ibu seraya
menyisir rambutku yang hitam panjang.
Lalu kemudian Ibu menjelaskan mengenai
buta warna parsial. Rupanya aku merupakan perempuan langka yang terlahir ke
dunia dengan kondisi “istimewa” itu. Dengan pemikiranku yang masih naif, aku
terus saja menekuni dunia seni rupa. Mencintainya. Aku selalu senang
menggambar. Itu adalah sebuah kesenangan dalam hidup yang tak akan pernah aku
lepaskan.
*****
Jika ada istilah perempuan yang
paling sial di dunia, mungkin aku termasuk di dalamnya. Betapa tidak, saat
anak-anak seusiaku menggemari segala pernak-pernik Hello Kitty yang berwarna pink, aku tidak dapat memahami dengan
pasti rupa warna tersebut dan mengapa ia sangat digemari.
Saat aku menggambar tokoh-tokoh
animasi komik Jepang, macam Naruto
atau Sailor Moon, teman-teman selalu
berkomentar mengapa gambarku yang bagus itu tidak sesuai aslinya. Rambut
karakter yang semestinya biru, kuwarnai hijau, kostum karakter yang semestinya
cokelat, kuwarnai hijau muda.
Puncaknya, kini aku tengah duduk di
bangku kelas 12 SMA, jurusan IPA, dan sama sekali tidak yakin dengan
cita-citaku. Aku ingin sekali kuliah di ITB, Desain Grafis. Semua orang yakin
dengan kemampuanku menggambar, begitu pula diriku sendiri. Menggambar,
mendesain, mereka ulang objek adalah apa yang kuinginkan dalam hidupku kelak.
Namun agaknya betapa pun aku lolos dalam setiap ujian tertulisnya, aku tidak
akan pernah lolos dari ujian yang akan menjadi momok sepanjang hidupku. Tes
buta warna.
“Mari kita bahas lagi mengenai
cita-citamu, Sissy,” kata Ibu Susan, konselor sekolah. Hari ini adalah
giliranku dipanggil Ibu Susan untuk membahas pilihan studi dan universitas
setelah lulus SMA nanti. Kami berada di dalam ruang konseling yang sejuk dan
nyaman di sudut sekolah.
Ibu Susan cukup peduli dengan urusan
macam ini. Selain karena memang itu pekerjaannya, namun ada semacam dorongan
dari dalam hatinya untuk membimbing anak-anak dalam melanjutkan kehidupannya di
universitas. Sepertinya ia tidak ingin anak-anak salah langkah dalam menentukan
studi dan masa depan. Semua harus sesuai dengan minat dan bakat. Tanpa paksaan
sama sekali. Setidaknya itulah yang tergambar di mataku. Aku cukup mengagumi
dedikasinya.
“Nah, bagaimana dengan Desain Grafis,
Sissy? Saya lihat dalam formulir aplikasi yang kamu isi minggu lalu, kamu
menulisnya sebagai pilihan pertama,” kata Ibu Susan seraya membuka map berkas
yang tertulis namaku di depannya.
“Memang itu pilihan saya, Bu.”
“ITB ya? Pilihanmu cukup berat,
namun melihat data nilaimu semenjak kelas 10, saya rasa tak ada masalah.
Peringkat 5 besar sejak awal masuk. Prestasi yang bagus.”
“Iya,” kataku datar, nyaris tanpa
ekspresi.
“Mengapa? Apakah ada masalah? Kamu kelihatan
tidak terlalu antusias. Apakah kamu berubah pikiran?” Ibu Susan menatap mataku
lekat-lekat. Membuatku sedikit tidak nyaman dan lidahku kelu.
“Tidak, Bu.”
“Hmm.. Bagaimana jika saya usulkan
kamu untuk ikut jalur undangan saja? Tahun ini sekolah kita mendapatkan
undangan bagi murid-murid terbaik untuk mengikuti seleksi non-tes di ITB.
Jurusannya beragam, saya rasa Desain Grafis ada.”
“Jalur undangan, Bu?”
“Iya, Sissy. Kamu akan diseleksi
berdasarkan prestasi akademis dan non-akademis selama kelas 10 dan kelas 11.
Raportmu bagus, kamu pernah menjadi pengurus OSIS, dan kamu aktif di ekstra
kurikuler melukis. Kamu kandidat yang tepat.” Ibu Susan kembali membuka
berkasku.
“Tapi, Bu...”
“Ah, rupanya kamu juga pernah menang
lomba pidato bahasa inggris tingkat kota tahun lalu! Saya hampir lupa pada yang
satu itu,” kata Ibu Susan. Matanya tak beranjak dari berkasku. Seolah ada foto
Ryan Gossling atau Chris Evans di dalamnya.
“Tapi, Bu. Dengarkan saya dulu,
sebentar.” Dengan keraguan yang ada, aku memutuskan untuk menceritakan momok
terbesarku pada Ibu Susan. Sayang sekali, mungkin aku akan merusak
kebahagiaannya hari ini.
“Nah, baiklah, Nak. Mari kita dengar
apa yang ingin kau sampaikan,” kata Ibu Susan seraya menutup berkasku. Ia
memamerkan senyumnya yang paling lebar.
“Sepertinya saya bukan kandidat yang
tepat untuk jalur undangan itu, Bu. Berikan saja kepada Marley atau Salsa.
Bagaimana dengan Chiesa yang ketua OSIS itu? Ia juga kelihatannya tepat.”
“Tunggu dulu, Sissy. Apa maksudmu?
Sekolah bisa mengajukan lebih dari tiga kandidat. Mereka juga akan saya
sertakan bersama dengan nama kamu.”
“Saya mohon, dengarkan saya dulu, Bu.
Ada hal yang benar-benar harus saya sampaikan.”
“Oh, baiklah, Nak. Ada apa
sebenarnya?”
“Saya tidak akan pernah bisa masuk
ke Desain Grafis ITB, Bu. Bukan karena saya menyerah sebelum berjuang, tetapi
karena kondisi saya.”
“Kondisi? Apa maksudmu dengan
kondisi?”
“Ibu saya selalu bilang saya
istimewa. Melihat dunia yang sama dengan semua orang, namun dari sudut pandang yang
berbeda. Ketika masih kecil, saya percaya bahwa saya istimewa. Namun semakin
bertambah usia, saya mendapati kenyataan bahwa saya hanyalah orang cacat. Saya
tidak istimewa.”
“Cacat? Apa maksudmu sebenarnya,
Sissy?”
“Apakah Ibu tidak pernah melihat gambar-gambar
saya?”
“Tentu pernah. Kamu berbakat,
sungguh.”
“Bukan gambarnya, namun warnanya.
Tidakkah Ibu pernah memperhatikan?”
Ibu Susan terdiam sejenak. Raut
wajahnya yang bingung berangsur berubah seolah ia baru saja melihat sesuatu
yang baru. Raut wajahnya kemudian penuh rasa iba.
“Pohon yang tidak hijau, langit yang
tidak biru, kostum karakter animasi yang tidak sesuai aslinya,” kataku pelan.
“Saya pikir semua itu hanyalah
kreasimu, Sissy. Itu yang menjadikan gambar-gambarmu selalu menarik perhatian
ketimbang yang lain.”
“Saya buta warna parsial. Saya tidak
dapat membedakan dengan baik mana merah, mana hijau, dan mana biru. Pelangi di
mata saya tidaklah merah kuning hijau seperti yang ibu lihat. Di dunia saya,
merah kuning hijau memiliki arti yang lain. Sepertinya pelangi saya lebih
suram. Kelabu.”
“Bukankah selama ini, kondisimu itu
tidak pernah menjadi masalah? Mengapa harus risau?”
“Sejauh ini memang tidak terlalu
masalah, Bu. Toh saya tetap bisa melihat warna, tidak hanya hitam putih. Namun yang
saya lihat berbeda dengan orang lain pada umumnya. Itu saja. Tetapi sekarang,
semua akan berubah. Buta warna akan menjadi masalah besar dalam hidup saya.”
“Karena untuk masuk ITB kamu harus
melalui tes buta warna. Ibu mengerti. Kamu tidak akan bisa melalui tes Ishihara
itu.” Ibu Susan nampak lebih serius dari biasanya.
“Iya, Bu. Tidak akan ada dokter di
dunia ini yang akan memberikan saya surat keterangan bebas buta warna. Jadi
saya tidak akan bisa masuk Desain Grafis ITB sampai kapan pun. Paling tidak,
sampai buta warna bisa disembuhkan. Dan itu adalah hal yang sangat tidak
mungkin. Buta warna saya adalah karena faktor genetik.”
Ibu Susan menghela nafas. Baru kali
ini aku melihat konselor sekolah itu kehabisan kata-kata. Bukan karena adu
argumen, melainkan karena ia sama tahunya dengan aku bahwa masalah yang
kuhadapi ini adalah jalan buntu.
“Baiklah, Sissy. Sementara ini kita
akan tetap menempatkan Desain Grafis di urutan pertama. Ibu akan mempelajari
hal ini. Namun dalam hidup kita tetap harus memiliki rencana cadangan.
Kenalilah sisi lain dari dirimu. Saya percaya di dalamnya ada potensi lain yang
siap dikembangkan. Jangan buang mimpimu. Saya yakin kita masih bisa
mengusahakannya.”
“Sepertinya yang akan berlaku dalam
hidup saya selamanya adalah rencana cadangan.”
“Dengar, Nak. Ini tidak berarti kamu
gagal. Saya akan mempelajari kondisi ini dan menemukan jalan keluarnya. Saya
janji.”
“Jangan berjanji yang tidak mungkin
bisa ditepati, Bu. Saya tidak apa-apa. Memang sudah nasib.” Aku beranjak dari
kursi, hendak meninggalkan ruang konseling.
“Saya yakin bisa menepatinya. Apa
pun yang akan terjadi.” Suara Ibu Susan masih terdengar sebelum pintu kututup.
Entah fakta atau hanya perasaanku saja, suaranya terdengar ragu.
*****
Sejak kecil aku sudah akrab dengan
tes Ishihara yang dimaksud Ibu Susan dalam pembicaraan kecil kami tadi. Ishihara test. Tes khusus untuk menguji
apakah seseorang memiliki kondisi penglihatan normal, buta warna sebagian
(parsial), atau bahkan buta warna total.
Dalam tes itu, terdapat
lingkaran-lingkaran yang terdiri dari beraneka titik berwarna. Di dalam
masing-masing lingkaran tersebut, akan ada angka yang tersembunyi. Orang dengan
kondisi normal akan dengan mudah membaca angka-angka tersebut, namun bagiku
yang buta warna, hal itu tidak terjadi. Awalnya aku bahkan mengira bukan angka
yang tertera di dalam lingkaran, melainkan garis-garis. Semacam permainan
mencari jalan keluar seperti yang biasa ada di majalah Bobo.
Ibu bilang bahwa orang dengan buta
warna akan mengalami kesulitan dalam tes Ishihara. Itu adalah hal yang normal.
Sungguh ironis penggunaan kata normal dalam kondisi ini. Sayangnya, tes
Ishihara menjadi penentu dalam studi pilihanku di universitas saat ini. Dan
tentunya akan menjadi penentu dalam cita-citaku.
Ibu juga selalu bilang kalau aku
istimewa. Mungkin ibu hanya tidak ingin menyakiti perasaanku jika ia mengungkap
fakta bahwa aku hanyalah perempuan paling sial. Di dunia ini, perempuan adalah
pembawa sifat dari gen buta warna. Perempuan pembawa sifat itu sendiri tidak
mengalami buta warna. Sifat kemudian diturunkan biasanya ke anak laki-laki.
Jadi, lebih banyak laki-laki yang buta warna ketimbang perempuan. Hanya ada
sedikit kasus perempuan yang mengalami buta warna.
Saat masih kecil, aku percaya
keistimewaan itu. Terkadang aku merasa seperti Tinkerbell dengan serbuk peri ajaibnya. Aku anak yang istimewa.
Anak yang ajaib. Namun kini tak ada lagi yang istimewa dengan buta warna.
Kondisi ini hanyalah penghalang kebahagiaan dalam hidupku. Rasanya aku ingin
mengutuk diriku sendiri.
*****
“Saya sudah mempelajarinya.”
Ibu Susan memanggilku ke ruang
konseling dua minggu kemudian. Rupanya konselor yang satu ini benar-benar
menghabiskan dua minggu terakhirnya dengan menyelami seluk beluk buta warna.
Entah sudah berapa artikel, blog, dan jurnal yang ia baca. Entah sudah berapa
orang buta warna pula yang ia temui demi berbagi pengalaman.
Aku yakin Ibu Susan adalah tipikal
orang yang tidak setengah-setengah dalam menggali informasi. Aku bahkan hampir
yakin Ibu Susan sudah berkonsultasi dengan ayah dan ibu tanpa sepengetahuanku.
“Saya sudah banyak membaca dan
bertanya. Saya harap kamu mau mendengarkan pandangan saya,” katanya lagi.
“Buta warna seperti saya tidak bisa
disembuhkan, Bu. Jadi sepertinya memang tidak ada jalan lain selain menyerah
dengan cita-cita saya.”
Jujur saja, aku tidak terlalu
antusias. Aku sudah lelah dengan segala omong kosong positif pembangkit
semangat yang selalu kudengar sepanjang hidupku. Ayah dan ibu sudah
berkonsultasi ke dokter-dokter ternama dan semua jawaban tetap saja sama. Buta
warna karena faktor keturunan sama sekali tidak bisa disembuhkan. Penderitanya
hanya dapat mengatasi dan beradaptasi saja dengan kondisinya.
Ada suatu masa di mana aku sempat
menyalahkan ayah dan ibu. Mengapa mereka harus mewarisi buta warna kepadaku.
Mengapa bukan penyakit mematikan saja supaya aku cepat mati. Apa saja asal
jangan penyiksaan semacam ini. Hidup, namun mimpi-mimpinya dibiarkan mati.
Aku juga menyalahkan mereka karena
membiarkan aku mencintai seni rupa. Mengapa mereka membiarkanku bermain di
ruang kerja ayah yang penuh dengan blue
print layaknya arsitek pada umumnya. Atau mengapa ibuku memilih profesi
sebagai kurator galeri seni.
Dengan semua yang telah kulalui, aku
yakin tak ada yang dapat kulakukan untuk menembus jurusan Desain Grafis ITB.
Aku menuliskannya sebagai pilihan pertama studi di universitas hanya karena
angan semata.
“Dengarkan saya dulu, Sissy...”
“Kalau Ibu mau, saya bisa mengubah
pilihan pertama saya dan mencoret Desain Grafis. Namun saya minta waktu
beberapa hari lagi untuk memikirkan pilihan pertama saya.”
“Dengarkan saya dulu,” ucap Ibu
Susan tegas.
“Baiklah, Bu. Maafkan saya.” Aku
masih memandang urusan ini tidak penting. Lagi-lagi omong-kosong positif
pembangkit semangat.
“Nah, Sissy. Kita menghadapi dunia
yang baru sekarang ini. Saya sudah pelajari untuk Fakultas Seni Rupa dan Desain
memang memiliki syarat bebas buta warna. Tak ada pengecualian untuk itu. Hal
ini berarti akan sulit bagimu untuk mendaftar di jurusan Desain Grafis.”
“Jalan buntu ya, Bu?”
“Aduh, Nona Kecil! Dengarkan gurumu
ini dulu jika sedang berbicara.” Ibu Susan berpura-pura kesal dan berakting
mencubit lenganku.
“Baik, Bu.” Aku mulai tersenyum
sedikit.
“Saya ingin kamu melihatnya dari
sudut pandang yang berbeda. Bakatmu rupanya banyak, Sissy. Mungkin selama ini
kamu terlalu fokus pada menggambar, sehingga tidak menyadari yang lainnya,”
ucap Ibu Susan sambil menyodorkan berkas kepadaku.
Aku memandangi berkas dengan namaku
di atasnya itu. Semua adalah prestasi non-akademis yang pernah kuraih selama
dua tahun terakhir.
“Kamu bisa lihat, Sissy. Bidang apa
yang kamu pilih saat menjabat sebagai pengurus OSIS?”
“Bela Negara.”
“Lomba apa saja yang kamu menangi
dalam lingkup sekolah dan kota?”
“Errr... Seingat saya ada lomba
debat, lomba pidato Bahasa Inggris, lomba menulis tentang nasionalisme, lalu
pernah juga lomba menulis artikel dalam Bahasa Inggris. Tentang hak asasi
manusia kalau tidak salah.”
“Dan sekarang, apa yang paling kamu
sering jadikan sebagai objek dalam menggambar?”
“Yah, ada macam-macam, Bu. Terkadang
karakter animasi dari komik Jepang, terkadang pula kondisi realita saja yang
ada di masyarakat. Jarang sekali gambar alam atau pemandangan.”
“Tepat sekali! Tidak dapatkah kamu
melihat benang merahnya dari semua itu?”
“Tidak,” kataku kebingungan.
“Ada sisi humanis dan politis dalam
dirimu, Sissy. Kamu menyukai isu kemanusiaan, politik, dan dunia internasional.
Tidakkah kamu menyadarinya?”
“Tidak.” Aku semakin kebingungan.
“Itu semua adalah potensi yang tidak
pernah kamu gali. Resapilah semua itu. Pasti kamu bisa menemukan sisi lain dari
kehidupanmu.”
“Apakah Ibu ingin membuyarkan impian
saya? Ibu kan tahu betapa inginnya saya masuk desain grafis. Mempelajari
desain. Menggambar sepanjang hidup saya.”
“Dengar dulu, bukan berarti kamu
membuang impianmu. Kita masih bisa mengusahakannya. Saya hanya meminta kamu
melihat sisi lain dari hidupmu dan menemukan potensimu yang lain.”
“Mengapa sedari tadi Ibu menggunakan
kata “kita”? Padahal Ibu tahu bahwa yang menjalani semua ini adalah saya, bukan
kita,” kataku sambil berdiri. Aku bersiap meninggalkan ruangan saat Ibu Susan
terus berbicara.
“Karena ini adalah kehidupan saya,
Sissy. Tugas saya membimbingmu menemukan jalur yang tepat usai sekolah.”
“Orang tua saya saja tidak sampai
hati membuyarkan impian saya. Mengapa Ibu justru tega?
“Dengar dulu, Sissy...”
“Cukup! Jika Ibu tidak membawa
solusi yang bisa menyembuhkan buta warna ini, maka tak ada lagi yang perlu saya
dengarkan. Permisi.” Aku setengah berlari keluar dari ruang konseling,
menghiraukan suara Ibu Susan yang masih terus memanggilku.
Aku hanya bisa berlari terus
sepanjang lorong sekolah. Tak terasa air mataku perlahan membasahi pipi. Aku
benci ibu Susan. Aku benci buta warna. Aku benci diriku sendiri.
*****
Hujan turun dengan deras sekali sore
itu. Aku duduk bersandar pada sofa di sebelah jendela kamarku. Matahari masih
mengintip di balik awan, namun ragaku sudah lelah. Mataku berat menahan kantuk.
Akan tetapi jiwaku seolah belum mau tidur.
“Sudah tiga hari, Sissy. Menurut
Ibu, sebaiknya kamu besok masuk sekolah.” Tiba-tiba terdengar bisikan lembut di
sebelahku. Ibu datang membawa segelas cokelat hangat dan menyodorkannya
kepadaku. Masih mengenakan pakaian kerjanya.
“Sissy tidak mendengar Ibu masuk.
Sejak kapan Ibu ada di sebelah Sissy?”
“Yah, cukup lama untuk melihat anak
gadis Ibu satu-satunya ini melamun,” katanya tersenyum.
“Sissy tidak melamun. Hanya
berpikir, betapa indahnya dunia kalau pelangi yang kita lihat usai hujan ini
sama, Bu. Merah, kuning, hijau.”
“Sissy...” Ibu menghela nafas.
“Sampai kapan pun pelangiku tetap
kelabu. Pecahan-pecahan warna yang tak dapat kutangkap rupanya. Indah, namun
membingungkan.”
“Sissy, kita sudah membahas insiden
kemarin berkali-kali. Kamu tahu, Ibu sangat mendukung nasehat Ibu Susan
mengenai pilihan studimu di Universitas. Jika tidak ada cara untuk menempuh
pendidikan desain grafis secara formal, maka kamu harus mulai memikirkan
pilihan lain. Potensimu banyak, Sayang.”
“Itu sama saja dengan membuang
mimpi. Ibu sama saja dengan Ibu Susan. Dunia memang tidak adil, penuh
diskriminasi.”
“Lalu, apa kau ingin tetap
mempelajari desain grafis secara informal atau otodidak? Nanti Ibu bisa
usahakan. Ibu punya beberapa kenalan seniman yang pasti bersedia mengajarimu.”
“Tidak.”
Ibu kembali menghela nafas.
“Ingatkah kau, Ibu pernah bercerita
mengenai almarhum kakekmu yang juga buta warna?” Ibu menghiraukan kekesalanmu.
“Sudah berkali-kali Ibu bercerita.
Kakek adalah diplomat sukses, jadi duta besar selama bertahun-tahun hingga
akhir hayatnya.”
“Iya, beliau memang sukses. Namun
tahukah kau bahwa kesuksesan itu tidak ia raih dengan mudah?”
“Maksud Ibu, sulit untuk menjadi
diplomat?”
“Bukan, Nak. Ibu memang tidak pernah
bercerita sebelumnya karena khawatir terlalu sensitif bagimu.”
“Apa yang sensitif, Bu?”
“Kakekmu sangat ingin menjadi
dokter. Beliau adalah orang dengan jiwa sosial tinggi, ingin membantu sesama
manusia jika menjadi dokter. Sayangnya, di usia 18 tahun, beliau baru
mengetahui bahwa ia buta warna. Sama sepertimu. Dan ia pun gagal menjadi
dokter?”
“Lalu apa yang kakek lakukan?”
“Beliau sempat terpukul. Bekerja
serabutan selama beberapa tahun, berusaha menemukan jati dirinya kembali.
Hingga pada suatu hari, ia nekat pergi ke Amerika dengan uang pemberian orang
tuanya.”
“Untuk apa, Bu?”
“Sebagian untuk mencari jati diri,
sebagian lagi untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan sanak saudara dan
teman-teman mengenai statusnya saat itu.”
“Apa yang beliau lakukan di
Amerika?”
“Apa saja yang bisa ia lakukan
dengan uang terbatas. Menggelandang di New York, bekerja sebagai pencuci piring
di kedai, nyaris dideportasi karena dituduh imigran gelap, namun akhirnya ia
bangkit kembali dan melamar sebagai sukarelawan di PBB. Hanya PBB peluangnya
bekerja tanpa perlu paspor asing dan persyaratan lain.”
“Tetapi kakek yang kukenal kan bukan
orang PBB?”
“PBB adalah batu loncatannya.
Bekerja sebagai sukarelawan, beliau bekerja keras hingga bisa memperoleh
beasiswa dan akhirnya menekuni politik luar negeri. Setelah lulus, beliau
kembali ke Indonesia dan bekerja di Departemen Luar Negeri.”
“Lalu kakek menjadi diplomat sukses
seperti yang kukenal. Ya kan, Bu?”
“Tepat sekali, sayang. Kakekmu buta
warna, dan ia tak pernah menyerah. Ibu yakin ada semangat yang sama di dalam
dirimu.”
Aku tersenyum. Aku merasa seperti
ada sesuatu yang menggelitik di ulu hatiku. Belum pernah aku merasakan secercah
asa seperti ini. Masihkah ada harapan bagi seseorang yang buta warna dan nyaris
membuang impiannya sepertiku?”
“Kamu tetap bisa menggambar
sepanjang hidupmu, Sissy. Memangnya diplomat, politikus, pengamat sosial, atau
dosen tidak boleh memiliki hobi menggambar? Ibu tahu persis banyak galeri yang
akan menerima karya yang berkualitas, tanpa memedulikan apakah pelukisnya buta
warna atau tidak,” kata Ibu membuyarkan lamunanku.
“Dan aku masih bisa mendesain logo
atau membuat komik, karena kesempatan masih terbuka lebar.”
“Tepat sekali, sayang.” Ibu mendekapku
erat.
Dari balik punggung Ibu, di sudut
jendela kamarku, sebuah pelangi terlihat samar menghiasi langit yang tak lagi
menurunkan hujan. Merah, kuning, dan hijau. Entah mengapa aku merasa itu adalah
pelangi paling indah yang pernah kulihat sepanjang hidupku. Pelangiku kini tak
lagi kelabu.
*****
Kubuka resleting tas ranselku dengan
sedikit gemetaran. Kukeluarkan secarik kertas yang kini penuh coretan. Formulir
peminatan studi universitasku.
“Saya ingin mengganti pilihan studi
saya, Bu.” Suaraku juga terdengar gemetar. Aku sangat gugup karena semalam
memutuskan untuk meminta maaf kepada Ibu Susan dan melanjutkan pembicaraan yang
beberapa hari lalu kutinggalkan dengan berlari.
Ibu Susan membaca formulir itu
sambil mengernyit. Ia nampak kebingungan.
“Masih kosong, Bu. Saya ingin
menuliskannya bersama Ibu.”
“Baiklah, apa keputusanmu?”
“Saya minta maaf, Bu. Saya tahu Ibu
adalah orang terakhir yang akan menyakiti perasaanku. Namun saya malah
menyakiti perasaan Ibu,” kataku menunduk malu.
Ibu Susan tersenyum. “Tak ada yang
perlu di maafkan, karena memang tak ada kesalahan yang kamu lakukan sejak
awal,” ucapnya tulus.
“Terima kasih, Bu.” Aku memberikan
Ibu Susan senyumku yang paling lebar. Aku lega guruku ini begitu baik bak
malaikat.
“Lalu, apa pilihanmu?”
“Aku..... Eh, saya ingin menjadi
diplomat. Jika pilihan saya masih terbuka, saya juga ingin bekerja di bidang
hukum.”
Ibu Susan kembali tersenyum. Ia
menyodorkan formulir tersebut kepadaku dan
menunjuk bagian
yang kosong.
“Kalau begitu, tuliskan Hubungan
Internasional sebagai pilihan pertamamu dan Hukum sebagai pilihan keduamu.
Nanti kita lihat kedua jurusan ini di UI, Unpad, dan UGM. Saya yakin semuanya
baik. Kita tinggal memilih yang terbaik menurut versi kita,” katanya mantap.
Aku mengangguk dan mulai menulis.
“Kamu akan menjadi diplomat atau
pengacara yang tangguh. Ibu bahkan bisa membayangkanmu membela hak-hak kaum
marjinal. Indah sekali.”
“Saya akan menjadi diplomat atau
pengacara yang hobi melukis, Bu. Desain saya akan terpampang di mana-mana dan
lukisan saya akan dipamerkan di galeri.”
“Amin. Senang bisa melihatmu seperti
ini, Sissy.”
“Sekarang saya ingin perlahan-lahan
mempelajari potensi yang baru saya temukan ini, Bu. Saya berjanji akan
mencintai ilmu dan profesi apa pun yang bisa saya raih nanti. Namun saat ini
saya ingin memulainya perlahan-lahan.”
“Sudah pasti kamu bisa, Nak. Sudah
pasti.”
Sejak hari itu pelangi tak pernah
lagi terlihat kelabu di mataku. Selalu merah, kuning, dan hijau.
*****
Bagus tya!!!
ReplyDelete