Tak pernah ada larangan bagi
setiap anak untuk menggapai cita-citanya. Setinggi langit, atau setinggi angan
mampu membawanya, kalau perlu. Bagi saya yang seorang pendidik, larangan bagi
anak untuk mengejar mimpi tentu terdengar aneh. Kami para guru justru ingin
mendorong anak untuk mewujudkan cita-cita.
Ingin menjadi apa pun mereka di
dalam masyarakat kelak, asalkan bermanfaat dan dilakoni dengan serius, maka
jadilah. Kami dengan senang hati memberikan uluran tangan dan menjembatani
angan mereka lewat bangku pendidikan.
Salah satu inspirasi saya dalam
mengejar cita-cita hadir lewat sebuah film Inggris berjudul Billy Elliot. Drama besutan sutradara
Stephen Daldry dan ditulis oleh Lee Hall pada tahun 2000 ini sesungguhnya
sederhana.
Mengisahkan seorang bocah lelaki
bernama Billy Eliot (diperani Jamie Bell) dalam mewujudkan cita-citanya. Namun
yang membuatnya menarik adalah cita-cita Billy yang kala itu tak lazim –
setting pertengahan tahun 1980an – yaitu menjadi seorang penari balet.
Jauh sebelum gender diakui
sebagai konstruksi sosial dan pernikahan gay
di beberapa negara diizinkan, masyarakat – bahkan di Eropa Barat sekali pun –
mengkotak-kotakkan jenis profesi antara lelaki dan perempuan. Misalnya saja,
olahragawan adalah milik kaum adam, sementara pekerjaan domestik adalah milik
kaum hawa.
Begitu pun di tempat Billy
bermukim, sebuah kota kecil di Inggris. Apalagi Billy berasal dari keluarga
yang didominasi lelaki, yaitu Jackie (Gary Lewis), sang ayah, serta Tony (Jamie
Draven), kakak laki-laki Billy.
Jackie menginginkan Billy menjadi
seorang petinju tangguh, sebagaimana lazimnya anak-anak lelaki pada masa itu.
Namun sedikit yang diketahui Jackie, bahwa Billy sangat mencintai tari dan
memiliki angan menjadi penari balet profesional.
Alhasil, Billy tak pernah fokus
bertinju, ia malah terpukau dengan kelompok balet yang berlatih di sasana tinju
tempat ia juga berlatih. Diam-diam Billy pun mengikuti latihan kelompok yang
dipimpin oleh guru balet, Sandra Wilkinson (Julie Walters) tersebut.
Singkat cerita, Jackie pun tahu
bahwa putra bungsunya berlatih balet dan menjadi murka. Ia melarang Billy
berlatih balet karena balet bukanlah pekerjaan yang cocok bagi anak laki-laki.
Balet adalah kepunyaan perempuan. Seorang anak lelaki semestinya tangguh dan
pergi bertinju. Billy yang selalu mencintai tari, tetap nekat berlatih
sembunyi-sembunyi dengan bantuan Sandra.
Hingga pada suatu ketika, Sandra
menemukan bakat pada diri Billy dan menyadari bahwa bocah itu layak untuk
belajar balet lebih serius lagi di sekolah ternama, Royal Balet School, di
London. Namun karena sebuah situasi dan ketidaksetujuan keluarganya, Billy
urung berangkat audisi ke London. Billy hanya bisa menyimpan angannya
rapat-rapat.
Jalan terang bagi Billy baru
terbuka usai Natal, tatkala sang ayah melihat penampilan Billy yang tengah
menari. Betapa terpukaunya Jackie melihat putra bungsunya ini piawai menari.
Hatinya luluh dan mengizinkan Billy untuk mengikuti audisi di Royal Balet
School pada kesempatan berikutnya. Dan setelah melalui perjalanan yang tak mudah,
ia pun diterima.
Film ditutup dengan setting
sekira 14 tahun kemudian (tahun 1999). Billy yang telah dewasa (kini diperani
Adam Cooper) tengah menari di pentas Swan
Lake, sebuah mahakarya Matthew Bourne yang kesohor. Nampak di deretan
bangku penonton, ayah dan kakak laki-laki Billy yang tengah menyaksikan
pertunjukan dengan haru sekaligus bangga.
Billy kecil yang tadinya harus
sembunyi-sembunyi menari balet, kini telah bermetamorfosis menjadi Billy dewasa
yang menari dengan gemilang di bawah lampu sorot panggung pertunjukan. Angan
Billy kecil pun mampu terbang bebas bagai kupu-kupu. Tak lagi terkungkung
seribu satu anggapan miring dari keluarga maupun masyarakat.
Film yang sederhana ini mengajari
saya banyak hal mengenai kehidupan. Hal yang terutama berkaitan dengan tulisan
ini adalah mengenai kegigihan dalam menggapai angan. Betapa pun sulit atau
nyaris mustahilnya angan kita, berusaha tak pernah ada salahnya. Inilah yang
selalu saya coba tanamkan pada diri murid-murid saya.
Meski jalan yang dilalui terasa
menyakitkan dan terkadang membuat putus asa, akan tetapi yakinlah jerih payah
kita akan membuahkan hasil. Jika tidak sekarang, maka kelak. Seperti halnya
Billy kecil. Jika Billy saja bisa, maka bukan tidak mungkin setiap dari kita
yang melakukan usaha tanpa mengenal arti kata menyerah pun bisa. Percaya.
Billy Eliot ini bukan sekedar fiksi atau isapan jempol belaka,
melainkan terinspirasi dari sebuah kisah nyata.
Comments
Post a Comment