Skip to main content

Segenggam Pengalaman dan Kearifan Lokal dalam Local Immersion




Ada beragam cara melatih kemandirian sekaligus mengenalkan sisi kehidupan yang sarat kearifan lokal dan kebersahajaan kepada siswa. Salah satunya melalui kegiatan Local Immersion yang baru saja dilaksanakan 89 siswa kelas 11 SHS GPS pada tanggal 4-9 Oktober 2015 lalu di Desa Buntu, Dieng, Wonosobo, Jawa Tengah.

Kegiatan yang dihelat tahunan tersebut kali ini mengambil tema Let’s Learn Local Wisdom Through Social Experiences. Para siswa memang dikenalkan pada budaya setempat yang sama sekali berbeda dengan keseharian mereka.Para siswa juga ditempa dengan beragam kegiatan serta pengalaman yang bagi penduduk desa merupakan hal biasa, namun bagi mereka menjadi hal yang tak terlupakan.

Kegiatan bermula pada hari Minggu, 4 Oktober 2015. Rombongan yang dikepalai Mr. Arif Suryono ini bertolak dari GPS tepat pukul 16.30, dengan harapan tiba di Desa Buntu tepat pada Senin pagi agar para siswa dapat langsung  berkenalan dengan keluarga asuh mereka dan memulai aktivitas.

Dan benar saja. Rombongan tiba di Desa Buntu pada pukul 3 dini hari, bahkan di saat sebagian besar warga masih terlelap dalam tidurnya. Namun saat fajar mulai merekah, kegiatan pun langsung dimulai tanpa ada kendala apa pun.



Pada hari pertama, Senin, 5 Oktober 2015, para siswa mengikuti kegiatan di keluarga asuhnya. Setiap keluarga “mengasuh” dua siswa selama Local Immersion. Setiap siswa dipasangkan dengan siswa dari kelas lain agar para siswa batch 10 ini menjadi lebih lebur dan kompak.

Pagi hari itu, mereka pergi berladang. Aktivitas mata pencaharian masyarakat Desa Buntu yang utama adalah berladang. Sepagian itu para siswa melihat bagaimana rupa ladang, menanjak hingga satu kilo untuk mencapai ladang dengan berjalan kaki, memetik cabai, kentang, bahkan membuat pupuk secara alami.

Aktivitas dilanjutkan sore hari dengan mengunjungi rumah-rumah warga sembari mengumpulkan data sosial ekonomi. Setiap siswa dengan pasangan serumahnya mewawancarai beberapa kepala keluarga untuk mengetahui bagaimana kehidupan warga Desa Buntu dilihat dari sudut pandang sosial dan ekonomi. Hasil wawancara kemudian dibuat dalam bentuk laporan, lengkap dengan analisa mereka.

Hari kedua, Selasa, 6 Oktober 2015, para siswa dibagi ke dalam dua kelompok besar. Kelompok pertama mendapatkan tugas mengajar anak-anak SD Buntu 2 yang letak sekolahnya kurang lebih 2 kilo dari Desa Buntu. Sebuah pemandangan menakjubkan menjadi latar SD Buntu 2, pegunungan yang hijau diselimuti pepohonan dan dikelilingi ladang serta kebun dengan aneka tanaman. Rasanya hotel berbintang lima pun tak mampu menangkap pemandangan seindah ini.



Di sekolah tersebut, para siswa mengajar Matematika, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan ICT. Mereka berkreasi dengan cara mengajar yang diselipkan berbagai permainan, canda tawa, dan keseriusan tersendiri. Di sela-sela mengajar, beberapa siswa sempat merenung betapa tak mudahnya berdiri di depan kelas dan menghadapi sekian banyak anak.

Setelah mengajar, mereka mengecat 12 tong sampah dengan aneka warna. Tong sampah tersebut disumbangkan secara simbolis kepada perwakilan Desa Buntu 2 guna menciptakan lingkungan yang lebih hijau dan asri.



Kelompok kedua mendapatkan tugas bertandang ke Kelurahan Kejajar. Mereka berkenalan dengan sekretaris desa dan mendapatkan pengarahan tentang bagaimana menjalankan organisasi desa. Para siswa pun secara aktif melakukan tanya jawab dan diskusi interaktif dengan sekretaris desa.

Usai dari Kelurahan, para siswa di kelompok kedua ini mendapatkan proyek membuat perpustakaan mini alias taman bacaan di Gereja Katolik Ibu Marganingsih yang terletak tepat di tengah Desa Buntu. Mereka mendekorasi ruangan, melabeli buku-buku, serta menghibur para pengunjung cilik dengan pembacaan dongeng dan aneka permainan yang bertujuan membudayakan gemar membaca sedini mungkin.

Sore harinya merupakan ajang yang ditunggu-tunggu bagi para siswa laki-laki. Pasalnya, mereka akan bertanding voli, bulu tangkis, dan sepak bola dengan para pemuda Desa Buntu. Sudah dua tahun berturut-turut, SHS GPS melalui angkatan 8 dan angkatan 9, terpaksa mengaku kalah di lapangan hijau dengan para pemuda setempat. Namun untuk pertama kalinya, tim sepak bola angkatan 10 yang dikomandoi oleh Farel Andaresta, kelas XI Business1, mampu mengukir sejarah dengan memenangi pertandingan sepak bola dengan skor 5-4. Selamat!



Hari ketiga, Rabu, 7 Oktober 2015, kegiatan dimulai dengan aktivitas kebersamaan, yakni bermain kasti dan benteng di lapangan luas yang berlatar gunung nan indah. Teriknya matahari dan sejuknya angin menemani para siswa bersenda gurau layaknya mereka masih kanak-kanak.

Aktivitas utama hari itu adalah menyelenggarakan bazaar sembako dan pakaian murah bagi warga Desa Buntu. Para siswa dibagi ke dalam 7 kelompok berdasarkan rumah yang berdekatan, lalu mereka harus menjual sembako dan pakaian murah sekreatif mungkin agar para warga mau membeli. Kelompok yang mendapatkan profit paling tinggi, didaulat menjadi juara.



Malam harinya, para siswa menutup acara dengan pentas seni yang telah mereka persiapkan satu bulan sebelumnya. Lady Catherine, siswa kelas XI Science1, adalah sutradaranya. Catherine merancang teater bertema perpaduan dua budaya, lengkap dengan selipan tari kontemporer, tari saman, musik gamelan, musik akustik, dan musik modern yang semuanya dimainkan dengan apik oleh para siswa. Dalam pentas seni tersebut, para siswa juga berkesempatan menyaksikan kesenian Jatilan yang memang khas dari daerah Wonosobo.

Hari keempat, Kamis, 8 Oktober 2015, para siswa berekreasi mengunjungi kawasan wisata Dieng yang terkenal dengan pemandangan indah dan udara dinginnya. Rekreasi ini sekaligus merupakan penghujung kegiatan Local Immersion. Saat hari mulai gelap, rombongan kembali melakukan perjalanan menuju Bekasi dan tiba dengan selamat hari Jumat, 9 Oktober 2015, pukul 8 pagi.


Tak mudah menuliskan pengalaman yang begitu menyenangkan ini. Setiap siswa tentu memiliki kenangan dan kisahnya sendiri. Satu hal yang pasti, mereka kembali ke sekolah tercinta berbekal sebuah pelajaran dan pengalaman berharga yang telah mereka peroleh dari sebuah desa di penghujung kaki gunung, bernama Desa Buntu.


Comments

Popular posts from this blog

Story of a Friend

Sahabatku, Miss Elen. Ia memang tak lagi mengajar di sekolah yang sama denganku, namun aku selalu mengingat segala keseruan saat bekerja dengannya. Tentu bukan dalam hal mengajar, karena kami sama sekali berbeda. Ia mengajar Biologi, sementara aku mengajar Sosiologi. Hal yang membuat kami seiring adalah sifat dan kegemaran yang serba bertolak belakang. Hihihi... lucu ya, betapa dua individu yang sangat berbeda bisa lekat. Mungkin seperti magnet, jika kutubnya berbeda, maka magnet akan melekat. Bayangkan saja, kami memang sama-sama menyukai film. Namun ia lebih tersihir oleh film-film thriller dan horor. Sutradara favoritnya Hitchcock. Sementara aku lebih memilih memanjakan mata dan daya khayal lewat film-film Spielberg. Lalu kami juga sama-sama menyukai musik. Jangan tanya Miss Elen suka musik apa, karena nama-nama penyanyi dari Perancis akan ia sebutkan, dan aku tidak akan paham sama sekali. Akan tetapi saat ia kuperkenalkan dengan Coldplay, Blur, dan Radiohead, ia s...

(Promo Video) Not an Angel, a Devil Perhaps

Dear friends, family, students, and readers, This is a video promotion for my 1st ever novel: Not an Angel, a Devil Perhaps I wrote it in a simple chicklit style, but the conflict and message are worth to wait. Unique, and not too mainstream. If I could start a new genre, probably it will be Dark Chicklit or what so ever. I will selfpublish Not an Angel, a Devil Perhaps  with one of Jakarta's indie selfpublish consultant in a couple of month. Just check out the date and info from my blog, twitter, facebook, or blackberry private message. Please support literacy culture in our country. Wanna take a sneak peak of my novel? Check out this video! Cheers, Miss Tya

Saat Sidang KTI Menjadi "Beban"

Dear Batch 11, Saya tergelitik untuk menulis ini karena hari ini ada dua fakta berlalu di hadapan saya. Mengenai apa? Tentu saja tentang Karya Tulis Ilmiah alias KTI yang sepertinya menjadi momok dan beban berat yang menggantung di pundak kalian. Fakta pertama, tumpukan KTI yang semestinya saya uji beberapa minggu lagi masih tipis. Baru dua dari tujuh yang mengumpulkan. Padahal untuk menguji, saya harus membaca dan itu butuh waktu. Percaya deh, saya tidak mau membudayakan KTI asal jadi (yang penting ngumpul), maka saya pun berusaha serius menanggapi tanggung jawab ini. Jadi jangan harap ujian dengan saya itu bakalan woles dan asal-asalan ya.. Fakta kedua, anak-anak yang "stress" menhadapi hari ujian mulai berseliweran di depan mata saya. Ada yang terlihat tegang, ada yang menanggapi sambil lalu seolah tidak mau memikirkan, bahkan ada yang sampai menangis. Mau tidak mau akhirnya timbul pertanyaan di benak saya, "sebegininya ya sidang KTI itu?" Saya paham, i...