Dalam sepi, anganku terbuai
pada sebuah episode hidup yang telah mengantarku sampai ke adegan ini...
Sudah lewat pukul 5 sore. Matahari mulai beranjak
menuju peraduannya. Langit jingga menghias jarak pandangku ke batas cakrawala. Pemandangan
yang telah dengan sabar kuamati sambil mengharap seseorang muncul di jalanan
yang membelakangi arah mentari terbenam. Lelaki tinggi, berkulit kecokelatan,
beralis tebal, yang tak pernah bisa lepas dari jaket kulit hitam dan motor
Kawasaki Vulcan S kesayangannya.
Ia tak pernah seterlambat ini. Yah, maksudku ia memang
selalu terlambat menjemputku setiap aku pulang kuliah, namun tidak pernah selama
ini. Apalagi hari ini ia secara khusus telah berjanji akan menjemputku.
Kelas berakhir sejak pukul 3 dan aku sudah terlalu lama
menunggu. Duduk termenung seorang diri di kursi taman, di bawah rindangnya
pohon beringin yang semakin lama membuat bulu kudukku bergidik. Entah karena
semilir angin yang semakin dingin atau sensasi mistis dari pohon yang seolah sudah
beratus-ratus tahun usianya itu.
Biola Cremonaku
duduk dengan manisnya di dalam kotaknya, di samping kakiku. Ia mungkin sama
lelahnya denganku, setelah seharian dipakai berlatih keras dan kini sama-sama sedang
menunggu dalam ketidakpastian.
“Aku pulang sendiri saja,” ucapku pada lelaki itu di ponsel,
sekira satu jam lalu.
“Tidak! Aku akan menjemputmu seperti biasa. Tunggu sampai
aku datang!” katanya, setengah membentak.
“Kamu ingat, aku ada audisi pukul 7 nanti. Jauh lokasinya,
di Gedung Kesenian Jakarta. Kalau tidak berangkat sekarang, aku tak akan sampai
tepat waktu. Aku naik taxi saja.”
“Tidak! Sudah kubilang, tunggu sampai aku datang!” Ia menutup
sambungan telepon dengan gusar.
Selalu begitu. Dasar keras kepala! Selalu mengaturku, mengatakan apa yang semestinya kulakukan atau tidak kulakukan, memarahiku, dan tak pernah membiarkanku kemana-mana seorang diri.
Kemudian aku dengan bodohnya selalu menuruti setiap detail
keinginannya, seolah aku tak punya pendirian. Seolah aku tersihir pada tatapan
matanya yang terkadang penuh amarah sekaligus menyiratkan rona kesedihan. Seolah
ia itu kekasih yang posesif.
Aku dan dia berteman baik sejak kami masih sekolah menengah,
namun aku tak pernah dapat memastikan apakah ia sebenarnya kekasihku atau bukan.
Kami memang selalu bersama, layaknya dua orang yang saling membutuhkan dan
terikat chemistry yang tak dapat
kujelaskan. Aku hanya merasa ia adalah bagian dari hidupku dan akan terasa
janggal jika ia tiba-tiba menghilang dalam gambaran itu. Aku rasa ia pun
demikian. Mungkin.
Ah, seandainya saja ia tahu perasaanku yang sesungguhnya...
Satu per satu teman-temanku mulai pulang. Mereka tak bisa
menemaniku terlalu lama. Hari ini hari
Kamis, awal dari akhir pekan yang panjang karena esok tanggal merah. Semua orang
pasti ingin bergegas meninggalkan kampus demi menjalani rencana mereka. Seperti
halnya aku.
Setelah berbulan-bulan berharap cemas, akhirnya permohonan
audisiku untuk tampil solo dalam konser musik klasik-kontemporer yang akan
digelar awal tahun depan diterima juga. Pihak penyeleksi mengundangku untuk
audisi di hadapan mereka malam ini. Aku harus membawakan dua buah lagu, satu
klasik dan satu kontemporer atau modern. Aku tentu saja memilih gubahan
favoritku, Four Seasons karya Antonio
Vivaldi, dan lagu kesukaan lelaki itu, Lay
Me Down-nya Sam Smith.
Aku menatap nanar pada layar ponselku. Tak juga ada pesan
yang masuk darinya. Mungkin ia masih mengendarai motornya menuju sekolah,
entahlah. Aku tidak yakin. Aku mulai kehilangan jejaknya perlahan-lahan sejak
ia mendekati Riana, teman satu kampusnya. Aku tak mengenal Riana karena kampus
kami memang berada di belahan kota yang berbeda. Mereka berdua sama-sama di
sekolah bisnis, sementara aku di sekolah seni.
Pertama kali ia mengungkapkan kedekatannya pada Riana, ada
sensasi aneh menggerayangi batinku. Sakit. Tidak, aku tidak sedih dan menangis
berhari-hari layaknya orang yang baru saja patah hati. Aku tak keberatan mereka
bersama. Namun aku tak dapat memungkiri bahwa aku kecewa dan takut ia tak
membutuhkanku lagi, sekaligus ada sekelebat rasa lega karena pada akhirnya ia
akan meninggalkanku sendiri. Melepaskanku.
Pada kenyataannya, ia tak menjauh sejengkal pun dariku.
Semua berjalan seperti biasa. Ia meneleponku, mengirimiku pesan singkat, dan
menjemputku setiap hari sepulang dari kampus. Pada akhir pekan, sesekali ia
mampir ke rumah untuk sekedar menyapa mama dan papa. Hanya saja ada waktu-waktu
tertentu di mana ia menghilang tanpa kabar dan tak mau ditanya sama sekali.
Pasti saat itu ia tengah bersama Riana.
Samar-samar terdengar suara yang terdengar akrab memanggil
namaku. Lamunanku buyar...
“Kamu belum pulang?” ucap seorang lelaki dengan ramah. Rama,
mahasiswa tahun ketiga jurusan fotografi.
Aku menatap ke arah wajahnya yang diterpa hangatnya sinar
senja. Rambutnya yang hitam legam nampak berkilau dan wajahnya bercahaya,
seolah ia utusan dewa yang sengaja datang menyelamatkanku. Faktanya, ia memang
penyelamatku semenjak aku pertama kali menginjakkan kaki di kampus ini.
Kala itu – satu tahun yang lalu, emosiku sedang tak stabil.
Terkadang pertengkaran demi pertengkaran dengan lelaki itu memang tak dapat
kuhentikan, hingga akhirnya emosiku pun meledak. Aku seorang diri di dalam
studio musik, bermain biola hingga berjam-jam lamanya tanpa menyadari bahwa
Rama memperhatikanku sejak awal.
“Aku mulai kehilanganmu saat lagu Listen-nya Beyonce. Sepertinya kamu benar-benar larut dalam lagu
itu. Oh, dan aku patut mengacungimu jempol atas upayamu memainkan karya
Paganini. Kamu masih tingkat pertama kan? Cukup punya nyali juga,” ucapnya.
Aku hanya diam saking terkejutnya.
“Kamu tak keberatan?” Ia mengangkat kamera DSLR Canon 60D miliknya yang sedari tadi tersampir di bahu, lalu menjepret wajahku dan biolaku
bergantian.
“Lumayan menginspirasi untuk tugas essay foto portrait yang harus segera dipamerkan
bulan depan,” katanya seraya tersenyum. Senyuman paling menenangkan yang pernah
kurasakan seumur hidupku.
“Namaku Carissa,” kataku salah tingkah.
“Ah, aku tahu namamu,” ucapnya seraya melirik ke arah kotak
biolaku. Huruf-huruf emas bertuliskan Carissa terpampang jelas. Aku jadi
semakin salah tingkah.
Sejak perjumpaan pertama itulah aku mulai dekat dengan Rama.
Aku memang tak berbagi semua kisahku kepadanya, namun ia mampu memberikanku
ketenangan tersendiri. Rama selalu menanyakan kabarku, ingin tahu diriku
sepenuhnya, berbeda dengan lelaki itu yang segala sesuatunya selalu berpusat
hanya pada dirinya.
“Carissa..”
Lamunanku kembali buyar.
“Sedari tadi aku bertanya, mengapa kamu belum pulang?”
“Oh, iya maaf. Aku belum dijemput.”
“Dia lagi?”
Aku mengangguk.
Rama menghembuskan nafas seolah ia merasa teramat sangat
lelah setelah memikul beban yang berat.
“Aku sudah bilang, kamu harus berani menolak setiap
perintahnya. Dia bukan siapa-siapa bagimu,” katanya. Alisnya mengkerut,
memperlihatkan guratan-guratan halus di dahinya. Aku langsung tahu jika Rama
sudah hampir menyerah menasehatiku mengenai lelaki itu.
“Aku tidak bisa,” ucapku hendak menutup pembicaraan.
Berharap Rama segera pergi.
“Bukan itu masalahnya. Kamu sebenarnya bisa, tetapi kamu
tidak mau. Kalian memiliki keterikatan yang aneh.”
“Aku menyayanginya.”
“Itu bukan perasaan sayang, Carissa. Itu adalah sebuah
ketakutan. Kamu tak mampu membayangkan kemalangan apa yang akan menimpamu jika
kamu meninggalkannya. Entah kamu yang tak akan mampu bertahan, atau dia.”
“Cukup, Rama.”
“Izinkan aku melepaskan keterikatan itu. Kamu bisa mencapai
banyak hal jika terbebas dari bayangannya.”
Aku hanya tersenyum. Lalu diam dan menatap jemari kakiku
yang bercat kuku merah jambu dan berbalut sandal wedges cokelat muda.
“Kamu tahu ke mana mencariku, Carissa. Aku pulang dulu,”
kata Rama akhirnya menyerah.
Sosoknya segera menjauh dariku, hanya meninggalkan
bayangannya yang memanjang dan menyentuh kulitku. Ada sedetik masa di mana aku
ingin mengejarnya, namun aku kembali teringat pada lelaki itu. Rama benar, aku bukannya
tidak bisa, akan tetapi aku tidak mau melepaskan diri dari lelaki itu. Aku tidak
siap. Kami sudah terlalu lama bersama.
“Hanya kamu yang bisa menenangkan diriku. Bersamamu, segala
amarahku menjadi reda. Aku akan tenang jika kamu selalu ada di sisiku,” ucap
lelaki itu suatu hari. Entah kapan, sepertinya sudah lama sekali.
Hal-hal semacam inilah yang menjadikanku terikat dengannya.
Aku merasa dibutuhkan.
Aku tak pernah menuntut banyak dalam hidup, hanya ingin
menjadi orang yang berguna bagi orang-orang terdekatku. Dan faktanya, lelaki
itu selalu mencariku setiap ia memiliki masalah atau merasa sedih, sehingga aku
tahu dengan pasti jika ia membutuhkanku lebih dari siapa pun di dunia ini.
Tidak sahabat-sahabatnya. Tidak juga Riana.
Namun terkadang aku tidak yakin jika saat ini ucapannya
adalah sebuah kejujuran. Ia lebih banyak menghilang akhir-akhir ini jika tengah
emosi. Mungkin jiwanya kini lebih tenang dalam pelukan orang lain.
Ia tak pernah mau berterus terang, itu yang membuatku kesal.
Padahal akan lebih baik jika ia melepaskanku saja jika ia tak membutuhkanku
lagi. Jangan terus menarikku masuk ke dalam pusaran hidupnya yang serba tak
pasti. Apakah ia menginginkanku lagi atau tidak?
Memikirkannya saja sudah cukup untuk mengembalikan sensasi
aneh yang dahulu kurasakan saat ia memberitahu soal Riana. Sakit yang menusuk
jauh di relung hati.
Tiba-tiba ponselku berbunyi.
“Kamu sudah sampai?” cerocosku tak sabar. Langit sudah
hampir gelap, wajar jika aku menjadi sedikit kesal.
“Aku baru saja mengantar Riana pulang. Kamu tunggu sebentar
ya.”
“Menunggu? Kenapa kamu tidak bilang jika bersama Riana? Aku
bisa pergi ke tempat audisi sendiri.”
“Tunggu saja sebentar lagi,” ucapnya tak memedulikan
protesku.
Entah keberanian dari mana yang mendadak muncul dalam
diriku, tapi aku mendengar diriku sendiri berkata, “Tidak! Aku sendiri saja.
Kamu berjanji padaku akan menjemputku hari ini lalu mengantarku ke tempat
audisi. Kamu tahu audisi ini sangat penting bagiku dan aku selalu benci jika
kamu ingkar janji.”
“Aku tidak ingkar. Aku akan menjemputmu. Tunggu saja.”
“Tidak! Aku pergi sendiri!”
Aku menutup sambungan telepon dan mengamati layar ponselku
yang retak di sana-sini. Aku teringat ia pernah membanting ponselku setelah
mendapati aku pulang diantar Rama. Hari itu memang tengah hujan deras dan ia
tak dapat menjemputku karena masih menunggu Riana yang kelasnya tak kunjung
berakhir.
Ah, Rama benar. Aku sudah terlalu lama hidup di bawah
bayangannya. Aku hanya manusia yang memiliki batas kesabaran dan perasaan yang
tak ingin disakiti. Mengapa ia tak mau meninggalkanku jika ia tak bisa
memilihku? Mengapa aku tak pernah bisa meninggalkannya? Aku membenci diriku
sendiri!
Aku tiba di tempat audisi tepat waktu. Syukurlah lalu lintas
sedang tidak terlalu padat. Bisa buyar impianku jika sampai aku terlambat,
meski hanya sedetik. Penyelenggara konser ini terkenal sangat ketat dan
disiplin. Kesalahan setitik pun rasanya tak dapat ditoleransi.
Aku masih punya waktu sepuluh menit untuk bersiap di
belakang panggung, melakukan pemanasan. Aku mengintip dari balik tirai dan
melihat tiga manusia yang membuat nyaliku sedikit ciut duduk di baris ketiga
kursi penonton. Mereka orang-orang yang telah memiliki nama di dunia musik - sang direktur konser, kurator seni, dan komponis idolaku. Selain mereka, hampa.
Audisi ini tertutup tanpa penonton.
Saat berbalik, aku dikejutkan dengan sosok lelaki yang tak
kuharapkan ada di sini.
“Carissa, aku menyuruhmu menunggu.”
“Aku akan terlambat jika menunggumu. Kalau tidak bisa
bersamaku hari ini, tinggal bilang. Tidak usah memaksakan diri. Aku bisa
mengerti,” ucapku mengacuhkannya dan mulai melakukan pemanasan tangga nada
dengan biola Cremonaku.
Lelaki itu terdiam, seolah ia menikmati nada-nada teratur
yang sedang kumainkan.
“Carissa, kamu sebenarnya kenapa?”
Aku berhenti dari kesibukanku dan menatapnya tak percaya.
“Kamu aneh, Carissa. Mengapa mempermasalahkan hal ini? Kamu
hanya perlu menunggu sedikit lebih lama dan semua akan baik-baik saja.”
Aku berhenti memainkan biolaku.
“Dengar, sudah cukup semua ini. Aku tidak mengerti
sebenarnya kita sedang menjalani apa. Kamu dengan aku, kamu dengan Riana. Aku
ada di mana dalam hidupmu? Aku ini siapa? Mengapa kamu tidak berhenti
menemuiku? Aku selalu menyayangimu, tetapi kamu tidak pernah menjelaskan
perasaanmu kepadaku.”
“Aku menyayangimu, Carissa.”
“Sebagai apa?”
Ia terdiam.
“Teman? Adik? Kekasih? Tentu tidak!” kataku memaksa.
Ia tetap terdiam.
“Pergi saja, aku harus naik ke panggung satu menit lagi.”
“Carissa, jangan seperti ini. Aku tak ingin lepas darimu.
Aku memang selalu meninggalkanmu dan pergi bersama perempuan lain, tetapi tidak
pernah ada yang bisa membuatku merasa tenang seperti saat aku berada bersamamu.”
“Bohong!”
“Percayalah, Carissa. Kamu selalu membuatku melupakan semua
masalah. Kamu juga selalu mendukungku dan menyelesaikan setiap masalah yang
menimpaku. Perempuan lain hanya bisa menyuruhku sabar dan tidak melakukan
apa-apa.”
“Lalu mengapa kamu memperlakukanku seenaknya? Aku juga punya
persaan.”
“Aku tidak tahu. Aku hanya tahu bersamamu aku akan selalu
disayangi dan aku pun yakin menyayangi orang yang tepat. Lalu kita berdua bisa
menghadapi apa pun bersama. Selamanya. Sampai mati,” katanya seraya menatap
kosong ke arah lantai.
“Sudah terlambat. Pergi saja. Aku harus audisi.”
Aku bergegas menghilang ke balik tirai, menuju panggung
audisi. Meninggalkannya seorang diri dalam kehampaan.
Alunan lagu Four
Seasons menggema di Gedung Kesenian Jakarta. Aku memainkannya dengan hati
yang mantap, seolah terbebas dari belenggu yang selama ini membebaniku.
Mengiringi langkah kaki seorang lelaki yang mengamatiku dari kejauhan dengan
tatapan sedih. Perlahan ia meninggalkan gedung dengan perasaan campur aduk.
Aku melanjutkan penampilanku dengan Lay Me Down. Mataku terpejam, membayangkan sosoknya yang begitu
kucinta namun tak pernah memberikanku rasa percaya dan kepastian. Betapa aku
selalu menginginkannya, tetapi aku tahu sekarang sudah saatnya aku
merelakannya.
Bagian bridge lagu
itu terasa begitu menyentuh dan emosional...
Lay me down tonight
Lay me by your side...
Lay me down tonight
Lay me by your side...
Aku tak lagi peduli apakah audisiku akan membuahkan hasil
menggembirakan. Aku hanya merasa lega memainkan lagu ini dari hatiku yang
terdalam. Ini adalah diriku yang mencoba bangkit dari bayangannya yang begitu
kucintai. Akhirnya aku bebas!
Di saat bersamaan, tak terlalu jauh dari sana, seorang lelaki berjaket kulit hitam tak
mampu mengerem motor Kawasaki Vulcan S-nya tepat waktu hingga menabrak truk
yang berhenti mendadak di hadapannya. Kecepatan tinggi membuat motornya
terseret sepanjang jalan protokol dan tubuhnya terlempar membentur aspal. Darah
mengalir deras dari kepalanya. Membanjiri tubuhnya yang tak lagi mampu
bergerak.
Dan di dalam tepuk
tangan sepi tanpa penonton, jiwa dua manusia yang saling terbelenggu oleh rasa, pada akhirnya ditentukan nasibnya sejak saat ini...
Comments
Post a Comment