Skip to main content

Permata di Tengah Kesedihan

Pandanganku tengah tertunduk kala itu, nyaris terpejam. Pikiranku melayang. Entah apa yang sedang menari di dalamnya, tetapi yang jelas mampu membuat perasaanku benar-benar sedih. Nafasku sesak. Aku merasa menjadi orang yang paling tidak berharga di dunia saat ini. Setidaknya bagi dia.

Namun saat pandanganku terangkat, sesosok lelaki menatapku dari kejauhan. Tubuhnya bersandar menyamping pada tembok. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana panjangnya. Dan ia menatapku dengan hangat. Sepertinya ia telah lama melakukannya.

Kemudian ia tersenyum padaku. Senyuman yang menenangkan, yang akrab memenuhi hari-hariku bertahun-tahun silam.  Senyuman yang sudah lama tak kulihat dan teramat kurindukan. Aku pun menghampirinya.

“Jangan bersedih,” ucapnya.

“Aku tidak bersedih,” kataku.

“Kamu tak perlu berbohong. Aku tau apa yang tengah menimpamu. Aku ingin sekali bisa membantumu atau membawamu lari dari dekapannya, tapi aku tau aku tak berdaya. Aku hanya bisa menyuruhmu bersabar.”

Aku terdiam, tak tau harus berucap apa. Ingin sekali memeluk raga yang tengah berada di hadapanku, namun lenganku kaku tak mau bergerak. Aku tak bisa. Ia bukan milikku lagi dan aku pun bukan miliknya lagi.

“Tinggalkan dia,” ucapnya.

Aku menatapnya heran.

“Ia telah mengambil matahari dalam kehidupanmu. Kamu jarang tersenyum. Pipimu tak pernah merona lagi seperti dahulu. Sorot matamu selalu menampakkan kesedihan,” katanya lagi.

Apa yang ia katakan tak pernah terlintas dalam pikiranku. Aku tak ingin meninggalkan siapa-siapa. Aku tidak pernah meninggalkan siapa-siapa seumur hidupku. Selalu saja aku yang ditinggalkan.

“Aku tidak mau,” kataku.

“Tidak mau atau tidak bisa?” balasnya.

“Tidak...”

“Kamu adalah perempuan paling kuat yang pernah kutemui sepanjang hidupku. Tapi kekuatanmu selalu kamu dapatkan dari menyembunyikan perasaanmu sendiri. Mengalahkan keinginanmu. Merusak dirimu. Kamu memang kelihatan kuat, tapi aku mengenalmu. Hatimu begitu rapuh.”

Aku kembali terdiam. Lelaki itu kemudian beranjak pergi. Ingin sekali rasanya aku mengejar dan memeluknya. Kembali padanya. Tapi semua itu tak akan pernah terjadi. Kisah kami telah berakhir sejak lama.

“Terima kasih,” kataku sebelum ia lepas dari pandanganku.

Lelaki itu hanya menoleh ke arahku, menatapku lekat, dan memberikanku senyumannya yang menenangkan. Betapa hatiku damai setelah berjumpa sejenak dengannya.

Kata sahabatku, lelaki itu bagai permata di tengah kesedihan. Berkilau, memberikan kebahagiaan meski sekelilingnya begitu suram.


Dan aku tau dengan pasti, bahwa aku akan selalu menyayanginya sepanjang umurku. Meski aku tak bisa memilikinya kembali.

Comments

Popular posts from this blog

Story of a Friend

Sahabatku, Miss Elen. Ia memang tak lagi mengajar di sekolah yang sama denganku, namun aku selalu mengingat segala keseruan saat bekerja dengannya. Tentu bukan dalam hal mengajar, karena kami sama sekali berbeda. Ia mengajar Biologi, sementara aku mengajar Sosiologi. Hal yang membuat kami seiring adalah sifat dan kegemaran yang serba bertolak belakang. Hihihi... lucu ya, betapa dua individu yang sangat berbeda bisa lekat. Mungkin seperti magnet, jika kutubnya berbeda, maka magnet akan melekat. Bayangkan saja, kami memang sama-sama menyukai film. Namun ia lebih tersihir oleh film-film thriller dan horor. Sutradara favoritnya Hitchcock. Sementara aku lebih memilih memanjakan mata dan daya khayal lewat film-film Spielberg. Lalu kami juga sama-sama menyukai musik. Jangan tanya Miss Elen suka musik apa, karena nama-nama penyanyi dari Perancis akan ia sebutkan, dan aku tidak akan paham sama sekali. Akan tetapi saat ia kuperkenalkan dengan Coldplay, Blur, dan Radiohead, ia s...

(Promo Video) Not an Angel, a Devil Perhaps

Dear friends, family, students, and readers, This is a video promotion for my 1st ever novel: Not an Angel, a Devil Perhaps I wrote it in a simple chicklit style, but the conflict and message are worth to wait. Unique, and not too mainstream. If I could start a new genre, probably it will be Dark Chicklit or what so ever. I will selfpublish Not an Angel, a Devil Perhaps  with one of Jakarta's indie selfpublish consultant in a couple of month. Just check out the date and info from my blog, twitter, facebook, or blackberry private message. Please support literacy culture in our country. Wanna take a sneak peak of my novel? Check out this video! Cheers, Miss Tya

Saat Sidang KTI Menjadi "Beban"

Dear Batch 11, Saya tergelitik untuk menulis ini karena hari ini ada dua fakta berlalu di hadapan saya. Mengenai apa? Tentu saja tentang Karya Tulis Ilmiah alias KTI yang sepertinya menjadi momok dan beban berat yang menggantung di pundak kalian. Fakta pertama, tumpukan KTI yang semestinya saya uji beberapa minggu lagi masih tipis. Baru dua dari tujuh yang mengumpulkan. Padahal untuk menguji, saya harus membaca dan itu butuh waktu. Percaya deh, saya tidak mau membudayakan KTI asal jadi (yang penting ngumpul), maka saya pun berusaha serius menanggapi tanggung jawab ini. Jadi jangan harap ujian dengan saya itu bakalan woles dan asal-asalan ya.. Fakta kedua, anak-anak yang "stress" menhadapi hari ujian mulai berseliweran di depan mata saya. Ada yang terlihat tegang, ada yang menanggapi sambil lalu seolah tidak mau memikirkan, bahkan ada yang sampai menangis. Mau tidak mau akhirnya timbul pertanyaan di benak saya, "sebegininya ya sidang KTI itu?" Saya paham, i...