Aku sudah tahu jika pada akhirnya, ia yang akan pergi. Bukan aku, tetapi dia.
Setiap orang yang ditakdirkan untuk singgah di dalam hidupku, merasakan kasih sayangku, menikmati kedalaman cintaku, menyesap seluruh jiwaku, memiliki ragaku, pasti akan pergi. Mereka akan berpaling dan meninggalkanku.
Seperti dirinya.
Masih terekam jelas dalam ingatanku. Tubuhnya yang menantang hujan, hanya untuk menemuiku, dan berkata, "kita sudah tidak bisa bersama lagi."
Jika aku boleh memilih kapan matiku, aku memohon kepada Tuhan untuk mengambil nyawaku sekarang. Karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan setelah ini. Tubuhku terpaku sesaat.
"Aku mencintaimu," ucapku lirih. Hanya itu yang terlintas dan sanggup kuucapkan.
"Kamu pasti bisa melupakanku. Kita hanya bersama sementara. Begitu banyak perbedaan yang tidak bisa lagi kuhadapi. Kamu telah berubah," katanya memberi alasan.
Aku bingung, karena aku masihlah gadis yang sama yang berjumpa dengannya hampir dua tahun silam. Tak banyak teman, tak memiliki kecantikan sempurna, selalu malu dan menghindar dari sorotan. Aku tidak pernah berubah.
"Jangan tinggalkan aku. Aku mohon," kataku. Air mata mulai mengalir di pipiku.
Aku meraih lengannya, mencoba bersandar di bahunya, seperti yang biasa kulakukan saat hatiku tidak tenang. Namun kali ini ia menepisku. Mencampakanku.
"Jangan seperti ini. Akan semakin sulit bagiku untuk pergi. Semakin sulit juga bagimu untuk melupakanku," ucapnya.
"Kalau begitu, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku," kataku mulai menangis.
"Aku harus pergi. Kita tidak bisa bersama lagi," ucapnya. Ia menyentuh pipiku dan berbalik menembus hujan.
Ia telah pergi.
Setiap orang yang ditakdirkan untuk singgah di dalam hidupku, merasakan kasih sayangku, menikmati kedalaman cintaku, menyesap seluruh jiwaku, memiliki ragaku, pasti akan pergi. Mereka akan berpaling dan meninggalkanku.
Seperti dirinya.
Masih terekam jelas dalam ingatanku. Tubuhnya yang menantang hujan, hanya untuk menemuiku, dan berkata, "kita sudah tidak bisa bersama lagi."
Jika aku boleh memilih kapan matiku, aku memohon kepada Tuhan untuk mengambil nyawaku sekarang. Karena aku tidak tahu apa yang harus kulakukan setelah ini. Tubuhku terpaku sesaat.
"Aku mencintaimu," ucapku lirih. Hanya itu yang terlintas dan sanggup kuucapkan.
"Kamu pasti bisa melupakanku. Kita hanya bersama sementara. Begitu banyak perbedaan yang tidak bisa lagi kuhadapi. Kamu telah berubah," katanya memberi alasan.
Aku bingung, karena aku masihlah gadis yang sama yang berjumpa dengannya hampir dua tahun silam. Tak banyak teman, tak memiliki kecantikan sempurna, selalu malu dan menghindar dari sorotan. Aku tidak pernah berubah.
"Jangan tinggalkan aku. Aku mohon," kataku. Air mata mulai mengalir di pipiku.
Aku meraih lengannya, mencoba bersandar di bahunya, seperti yang biasa kulakukan saat hatiku tidak tenang. Namun kali ini ia menepisku. Mencampakanku.
"Jangan seperti ini. Akan semakin sulit bagiku untuk pergi. Semakin sulit juga bagimu untuk melupakanku," ucapnya.
"Kalau begitu, jangan pergi. Jangan tinggalkan aku," kataku mulai menangis.
"Aku harus pergi. Kita tidak bisa bersama lagi," ucapnya. Ia menyentuh pipiku dan berbalik menembus hujan.
Ia telah pergi.
Comments
Post a Comment