Hidup memang tak selalu berjalan dengan mulus. Terkadang
kita harus tersandung, bahkan tak jarang terjatuh dengan keras. Namun kita
punya dua pilihan setelah itu. Apakah kita mau membiarkan diri kita tetap
merasakan sakit, atau apakah kita mau berjuang untuk berpijak kembali di atas
kaki kita sendiri.
Saya mengerti, anakku. Kamu tengah berada di persimpangan
jalan untuk memutuskan apakah kamu mau bangkit atau tetap terlena dalam rasa
perih yang mengundang belas kasihan orang. Kamu selalu berkata bangkit! Namun perilakumu
terkadang begitu mengkhawatirkan.
Saya mengerti, anakku. Hidupmu memang keras. Kamu bahkan
merasakan kepedihan sebelum mengenal arti keluarga dan kasih sayang. Mungkin itu
yang membuatmu selalu berlari mencari rasa nyaman.
Saya mengerti, anakku. Kamu berhak marah. Marah pada
orang-orang di sekelilingmu, marah pada garis takdir, marah pada dunia. Bahkan marah
pada dirimu sendiri. Mungkin bagimu hidup ini tak adil, tetapi saya selalu
mengingatkan, lihatlah sisi kehidupanmu yang lain. Kamu cerdas, penuh bakat,
punya banyak teman yang setia. Kamu memiliki saya.
Jadi, untuk apa lagi kamu marah?
Saya baru melihat bagian dirimu yang seperti ini beberapa
hari terakhir. Kamu keras kepala, selalu menganggap orang lain menghinamu,
sehingga kamu memasang benteng perlindungan yang terlalu tinggi dan kokoh. Benteng
yang selalu siap untuk menyerang orang lain.
Hey, tidak semua orang ingin
mengajakmu berperang! Lihatlah mereka baik-baik, mereka hanya mengajakmu
berbicara. Runtuhkanlah sedikit bentengmu itu.
Sepanjang hidupmu kamu banyak merasakan penghinaan, tetapi
percayalah, kali ini tidak! Saya akan menjagamu dan memastikan semuanya baik-baik saja.
Saya juga khawatir pada sifatmu yang selalu menyalahkan diri
sendiri. Mengapa hal kecil yang tak berarti mampu membuatmu menyakiti diri
sendiri? Ada apa denganmu, nak?
Kamu tidak perlu minta maaf untuk kesalahan yang tidak
pernah kamu perbuat. Saya khawatir sifat ini akan merusakmu perlahan-lahan. Padahal
saya ingin kamu menjadi orang yang lebih baik dan bahagia setelah bertemu saya.
Bagaimana saya bisa membuat kamu bahagia, jika setiap menatap
matamu saya hanya melihat kesedihan dan kemarahan?
Bagaimana saya bisa membuat kamu bahagia, jika kamu selalu
menyalahkan dan menyakiti dirimu sendiri?
Kamu pernah berkata, “Bahagiakanlah saya.”
Namun saat itu saya terdiam dan hanya bisa meratap dalam
hati, “Semoga saya bisa.”
Jangan marah lagi, anakku sayang.
Miss, suka banget miss
ReplyDeleteSaya jadi sedih juga miss