Menulis dan membaca. Tak perlu diragukan, seorang remaja
yang duduk di bangku SMA pasti mampu melakukan keduanya. Pasalnya, akan terlihat
seperti manusia yang tak bernafas jika murid berseragam putih abu-abu tak mampu
menulis dan membaca.
Jangankan mereka, dua anak saya yang masih balita saja sudah
mulai terbata-bata menghafal alfabet dan mengeja dua huruf sekaligus. Ba bi bu
be bo. Ca ci cu ce co. I-ni i-bu Bu-di. Apalagi murid SMA, tentulah sudah
khatam untuk urusan yang dua ini.
Namun apa mau dikata, setiap murid-murid saya yang paling
manis sedunia ini saya tugaskan untuk melakukan riset di internet dan
menuliskannya kembali menjadi sebuah research paper, hasilnya tak sedikit
yang copas alias copy paste. Comot
sana, comot sini, dan sim salabim! Jadilah tulisan yang dari kejauhan nampak
meyakinkan berlembar-lembar kertas hvs.
Memang, semakin mudahnya arus informasi dan teknologi
membawa dampak tersendiri bagi sistem belajar mengajar. Jika dahulu saya yang
masih duduk di bangku SMA harus berkutat berjam-jam di perpustakaan dan
menanyakan secara detail kepada orang yang ahli di bidangnya setiap diberikan
proyek riset oleh guru, kini murid-murid saya tinggal mengakses gadget mereka
yang super canggih dan informasi pun mengalir beberapa detik kemudian. Semudah
membalikkan telapak tangan.
Beberapa murid patut saya akui ketekunannya mencari
informasi di dunia maya dan menganalisa mana saja yang dibutuhkan untuk research papernya dan mana yang tidak.
Setelah puas membaca dan memenuhi rasa ingin tahu mereka, murid dengan tipe ini
biasanya akan menuliskan kembali apa yang baru saja ia dapatkan dengan
kata-katanya sendiri. Setiap kalimat yang ia tuliskan, diperkuat dengan data
dari berbagai sumber yang kredibel. Ia pun puas dengan pekerjaaanya, dan saya
pun bangga dengan murid seperti ini. Nilai A pun layak disematkan padanya.
Saya ingat seorang murid menulis research paper mengenai salah satu konflik kemanusiaan terbesar era
1990an, Serbia-Bosnia. Ia menulis dari sudut pandang para perempuan Bosnia yang
menjadi korban kekerasan seksual tentara Serbia. Saat itu saya tengah mengajar
mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan, bab konflik internasional.
Awalnya, saya memperlihatkan di slide power point, beberapa contoh konflik internasional yang
pernah atau tengah terjadi. Misalnya saja, The Arab Spring, peristiwa Pearl Harbour, Perang Dingin, dan
sebagainya. Saya juga mempertontonkan kepada para murid film Hotel Rwanda yang bertema perang
antarsuku di Rwanda, Afrika.
Saat saya memberikan waktu dua minggu kepada para murid
untuk melakukan riset dan membuat sebuah research
paper, murid ini menyodorkan hasil yang membanggakan kepada saya.
Penelitiannya
cukup mendalam. Ia menggambarkan konflik Serbia-Bosnia, mulai dari sejarah
pecahnya Yugoslavia hingga bagaimana tentara Serbia memperlakukan para
perempuan Bosnia di tanahnya sendiri. Gaya bahasanya pun merunut sehingga saya
merasa seperti tengah membaca sebuah kisah fiksi. Hanya saja, kisah tragis ini
benar-benar nyata terjadi.
Sayangnya, tak semua murid seperti
dia. Tak sedikit yang menyodorkan hasil ajaib kepada saya. Salah seorang anak
bahkan nampaknya sama sekali tak mau repot-repot membaca apa yang ditemukannya
di internet. Ia meng-copy saja dari
satu sumber – biasanya wikipedia – kemudian mem-paste mentah-mentah ke program microsoft word. Ia cantumkan nama di
bagian paling atas, maka jadilah tugasnya.
Murid dengan tipe seperti ini
agaknya merasa guru tak pernah membaca tugas yang dikumpulkan sehingga ia
merasa aman untuk berbuat senekat itu. Oh, tapi maaf saja! Kalau saya, saya
pasti akan membacanya, mencoret-coretnya dengan tinta merah, dan mengembalikan
kepada si murid. “Buat yang baru. Kali ini, yang benar!” Biasanya saya akan
menegurnya seperti itu.
Jika berhadapan dengan murid yang
seperti ini, saya sebenarnya heran. Mampukah murid ini membaca dan menulis?
Mengapa hal sesederhana membaca informasi yang ada di internet kemudian
menuliskannya kembali dengan analisa sendiri menjadi sesuatu yang sulit?
Toh, gadget mereka super canggih dan macbook
mereka selalu mereka tenteng ke sekolah. Saya saja yang masih harus berjibaku
dengan laptop lima tahun saya ini masih menyediakan waktu untuk menulis,
setidaknya di blog.
Menghadapi murid-murid seperti
ini, saya memutar otak. Saya merasa gengsi kalau menyerah dengan tingkah laku
mereka. Namun saya mengerti jika anak zaman sekarang harus dididik dengan
lihai, bukan dengan paksaan. Jika dipaksa, mereka tak akan mau belajar. Jadi,
belajar haruslah menjadi sebuah tantangan yang menyenangkan.
Akhirnya saya mulai dengan
mempromosikan blog saya kepada mereka. Isi blog saya beragam. Terkadang cerita
lucu tentang pengalaman saya selama mengajar mereka, namun tak jarang pula
tulisan saya memuat konsep-konsep yang mereka pelajari di sekolah. Misalnya
bagaimana perbedaan kelas IPA dan IPS terkadang bisa menimbulkan stereotipe dan
prasangka. Kebetulan saya mengajar Pendidikan Kewarganegaraan dan Sosiologi,
sehingga tak sulit membuat tulisan yang lekat dengan keseharian.
Beberapa murid kemudian juga
terinspirasi membuat blognya sendiri dan mulai menulis. Mereka dengan senyuman
paling lebar memamerkan tulisannya kepada saya. Yah, lumayan lah. Setidaknya kini
murid-murid saya mulai suka menulis.
Saya juga berkicau di Twitter dan post di Path mengenai isu-isu penting
yang tengah terjadi di masyarakat. Seperti saat Nelson Mandela mangkat, konflik
Gaza, dan sebagainya. Murid-murid ini menjadi followers saya, sehingga saya yakin mereka pasti baca. Dan jika
mereka membaca, maka saya yakin pengetahuan mereka bertambah.
Ada sekelumit kisah lucu saat saya
memposting berita mangkatnya Nelson Mandela, lengkap dengan gambarnya. Salah seorang
murid memberikan komentar pada post tersebut. “Nelson Mandela itu yang pemain
bola kan ya, Miss?” Lalu seorang murid lainnya menimpali dengan penuh percaya
diri, “Bukan. Nelson Mandela itu pebalap.”
Ya Tuhan! Mengapa mereka bisa
sampai tidak tahu mengenai tokoh yang telah berjasa pada jutaan manusia di
dunia perihal kesetaraan ras? Apa yang salah dengan cara saya menyampaikan
politik Apartheid di kelas? Alhasil, dengan agak jengkel saya jelaskan siapa
itu Mandela di Path. Barulah kedua anak itu mengerti. Mereka lebih paham dengan
kicauan saya di sosmed daripada penjelasan panjang lebar saya di depan kelas.
Ah, dasar generasi Z!!!
Lama-kelamaan blog, Path dan Twitter
saya – murid-murid saya jarang bermain facebook – menjadi populer di sekolah.
Mereka mulai mengomentari tulisan saya dan memaksa saya untuk terus menulis
atau berkicau secara berkala. Yah, meski saya terkadang bingung mengapa mereka
begitu memuja somed, namun tentu saya lakukan juga. Dengan segala bantuan
teknologi seperti ini, saya setidaknya bisa memastikan murid-murid saya yang
sudah duduk di bangku SMA ini tidak lupa pada dua
kemampuan dasar, membaca dan
menulis.
Semoga.
Comments
Post a Comment