Udara
pagi ini lebih dingin dari biasanya. Barisan kabut masih nampak enggan
meninggalkan ruang-ruang yang mulai diterpa sinar mentari. Rerumputan masih
dihuni buliran-buliran embun yang begitu bening. Dinginnya hembusan angin pun
menusuk sum-sum tulang. Aku merapatkan ikatan syal di leher dan menarik topi
rajut yang kukenakan hingga menutup telinga.
Peron
pagi ini masih nampak sepi. Sepertinya ramalan cuaca dingin hari ini membuat
insan-insan betah berlama-lama di rumah seolah tak pernah mau pergi
beraktivitas. Sebenarnya aku pun demikian. Ingin rasanya tubuh ini melekat di
atas kasur empuk dan menarik selimut rapat-rapat. Akan tetapi kemudian aku
teringat pada sorot mata berwarna biru gelap itu.
Sudah
hampir satu bulan aku tak berjumpa dengannya akibat kesibukan menghadapi sidang
proposal tesis yang menyesakkanku. Meski ia selalu meminta aku datang ke
kotanya, bahkan memohon agar ia boleh berkunjung ke kotaku, namun aku selalu
menolaknya. Bukan karena tidak ingin, tetapi aku tak mau pikiranku teralihkan
dari persoalan kuliah yang sebentar lagi mendekati akhir ini.
Lalu
ada hal lain pula yang tengah mengusik jiwaku dan ia belum mengetahuinya. Sejak
semalam aku mengumpulkan segenap kerinduan sekaligus keberanianku. Aku menekan
nomornya di ponselku, namun tanpa jawaban. Pesan singkat pun belum ia balas
hingga detik ini. Mungkin ia sedang sibuk, atau kelelahan karena seharian
mengikuti kasting peran baru. Sama seperti biasanya.
Lelaki
yang sedang kutuju adalah salah satu aktor muda harapan dunia perfilman negeri
ini. Sejak ia memutuskan menekuni seni peran dan menjajal dunia akting,
bintangnya kian bersinar. Perlahan tapi pasti. Hal itulah yang kemudian membuat
kami berdua memutuskan tinggal di kota yang berbeda; aku di kota di mana
universitas tempatku mengambil program magister di bidang literatur berada, dan
dia di kota yang merupakan tempat bertaburnya sekolah-sekolah seni peran dan film, serta panggung-panggung teater.
Ia
pasti benar-benar sibuk, pikirku semalam. Entah dari mana kemudian terbersit
ide spontan dalam benakku untuk mendatanginya langsung tanpa pemberitahuan
sebelumnya. Padahal biasanya aku adalah tipe yang serba teratur, terencana, dan
penuh perhitungan detail. Aku bahkan masih menyimpan jurnal dan planner hingga detik ini. Lelakiku itu
sering berkata kalau aku terlalu perfeksionis.
“Santailah
sedikit, little princess! Kamu harus lebih relaks dalam menjalani hidup. Sesekali
melompatlah ke atas kereta yang entah menuju ke mana. Kamu tahu, supaya bisa
menemukan petualangan baru,” katanya suatu ketika. Senyuman dan sorot matanya
begitu teduh, selalu berhasil membuat hatiku merasa tenang.
Aku
dan dia memang jauh berbeda. Jiwanya lebih bebas. Ia berani melakukan apa saja
yang ia inginkan. Tekadnya begitu baja. Ia menentang ayahnya saat darah mudanya
masih begitu bergejolak. Ayahnya ingin ia kuliah bisnis agar bisa meneruskan usaha
keluarga yang sudah turun-temurun di bidang garmen. Alih-alih, ia mendaftar ke
sebuah sekolah seni peran dan drama di belahan negara bagian lain selepas SMA
dan meninggalkan rumah untuk menggapai impiannya itu. Meninggalkan keluarganya
jauh di belakang dan kota kecil tepi laut tempat ia lahir dan dibesarkan.
Satu-satunya kenangan dari tempat itu yang masih ia simpan rapat-rapat di
genggamannya hanyalah aku.
Di
masa-masa pertama kuliahnya itu, ibunya seringkali menanyakan kabarnya
kepadaku. Meminta diriku untuk memastikan anak lelaki satu-satunya itu
baik-baik saja. Padahal aku pun sama dengan ibunya, tak bisa bertatap muka
maupun menyentuh raganya secara langsung. Ibu bahkan medesakku untuk diam-diam
mengiriminya uang karena takut buah hatinya itu hidup kekurangan. Uang yang
tentu saja tak dapat kuterima karena sudah pasti akan ditolak mentah-mentah
oleh lelaki itu.
Spontanitas
yang kerap ia paksakan itulah yang hendak aku lakukan sekarang ini. Mengetuk
pintunya secara tiba-tiba di pagi buta sambil menyodorkan bingkisan kecil di
tangan dan kejutan yang mungkin akan mengubah hidupnya.
Namun
sebelumnya, aku harus bergelut dahulu dengan udara pagi yang semakin menusuk
ini. Peron nampak begitu sepi. Hanya ada aku, seorang ibu tua yang duduk sambil
mendekap kopernya, lelaki berpenampilan eksekutif muda lengkap dengan jas
rapinya yang sepertinya akan menghadiri pertemuan terpenting dalam hidupnya,
serta seekor kucing gemuk yang sedari tadi sibuk mengacak-acak tempat sampah.
Petugas
peron di kejauhan tak lama kemudian memberikan isyarat bahwa kereta kami akan
segera tiba. Gerbong-gerbong yang akan mengantarkan diriku kepadamu, lelakiku.
Barisan
pepohonan nampak berkejaran seiring laju kereta yang semakin cepat. Deru mesin
menggema mengisi ruang-ruang dalam gerbong yang begitu lengang pagi ini. Aku
menyandarkan kepalaku ke jendela. Dingin dan basah. Bahkan embun pagi dan
sisa-sisa hujan semalam belum rela meninggalkan lelapnya.
Aku
menatap bingkisan yang kududukkan di kursi sebelahku. Isinya adalah sesuatu yang
paling ia suka ketika masih remaja. Ditambah tulisan singkat di atasnya yang
dengan ragu aku minta ditambahkan pada detik-detik terakhir. Spontanitas kedua
yang aku lakukan hanya dalam semalam.
Aku
memang mengenalnya sejak lama. Bisa jadi ketika aku baru saja dilahirkan ke
dunia, ia yang masih digendong ibunya dan mengenakan popok ikut menjenguk ke
rumah sakit tempat ibuku baru saja melahirkanku. Empat bulan kemudian ia
kembali ke rumah sakit yang sama untuk menjadi saksi kelahiran adik
perempuannya sendiri. Adik yang kemudian menjadi sahabatku hingga kini.
Di
kota kecil tepi laut tempat kami tumbuh, sangatlah lazim bagi anak-anak dengan
tahun kelahiran sama dan tinggal di lokasi berdekatan menjadi teman
sepermainan. Sudah hampir bisa dipastikan kami akan belajar di satu sekolah
yang sama, kecuali mereka yang berasal dari keluarga kaya raya dan memiliki
orang tua yang mampu mengirim mereka ke sekolah swasta terbaik di kota sebelah
yang memang lebih besar dan lengkap sarananya. Namun bagi sebagian besar dari
kami, sekolah milik pemerintah yang bersebelahan dengan pusat kegiatan remaja
sudah pasti menjadi tempat kami menimba ilmu mulai dari pendidikan dasar hingga
lulus pendidikan menengah.
Tak
banyak yang bisa dilakukan di kota kecil itu, sehingga bermain bersama teman
sepanjang hari menjadi sesuatu yang berharga dan sangat menolong untuk membunuh
sepi. Hanya pertemanan, awal mula munculnya program musik MTV di layar kaca, game Nintendo, dan pemandangan laut yang
luar biasa indahlah yang menjaga kewarasan generasiku di tempat itu.
Perjalanan
kereta di pagi yang dingin ini membuatku terus melamun tentangnya. Tentang
sorot mata biru gelapnya yang selalu mengingatkanku pada birunya air laut di
kota tempat kami dulu berasal. Sama seperti laut, ia bisa menjadi begitu teduh
dan memberi ketenangan, sekaligus bergejolak dan menakutkan. Di kala ia tenang,
aku pun merasa tenang berada di sampingnya. Bisa berteduh dan bertutur mengenai
apa saja yang ada di alam pikiranku. Akan tetapi setiap kali ia bercerita soal
mimpi-mimpinya, ia bak laut yang berombak dan mampu menerjang batu karang yang
tegar sekali pun.
Ia
memang bukan tipe pemuda kota kecil yang puas hanya mewarisi apa yang dimiliki
orang tuanya. Ia ingin menghasilkan sesuatu atas dasar jerih payahnya sendiri.
Ia ingin petualangan. Ia ingin menjadi berbeda, jauh di bawah bayang-bayang
keluarganya. Puncaknya, hanya satu hari setelah wisuda SMA, ia pergi
meninggalkan semuanya.
Ayahnya
terlalu gengsi untuk mencegahnya, sementara ibunya hanya bisa menangis tak
karuan. Adiknya – sahabat terbaikku, adalah satu-satunya yang mampu mengerti
keinginan kakaknya itu dan merelakannya pergi dengan janji pada suatu hari
nanti ia akan menyeret kakaknya kembali ke kota kecil ini, apa pun taruhannya.
Saat itu kami berdua baru akan memasuki masa junior, tahun ketiga kami di SMA.
Tak ada yang bisa kami lakukan.
Sesaat
sebelum ia berangkat keluar kota menumpang mobil temannya, aku berjumpa
dengannya. Aku pikir kami bertemu secara tak sengaja pagi itu, akan tetapi
setelah aku ingat baik-baik, sepertinya ia memang ingin menemuiku sebelum
pergi. Mana mungkin ia pergi ke tempat favoritku secara tiba-tiba. Ia menciumku
dengan lembut, ciuman pertamaku, dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik
saja.
“Aku
akan sabar menunggu hingga kamu dewasa,” ujarnya sambil menatap mataku
dalam-dalam. Tatapannya yang begitu teduh membuat hatiku merasa tenang meski
aku tidak tahu kapan akan bisa berjumpa dengannya lagi dan tidak begitu paham
maksud dari ucapannya.
Ah,
seandainya ia bukan kakak dari sahabat terbaikku, mungkin aku tak akan pernah
punya kesempatan berjumpa dengannya. Dan kisah kami tentu akan berbeda hari
ini.
Bingkisan
kecil itu nampak duduk dengan manisnya di sebelahku. Karton putih berpita perak
mengkilat dengan huruf-huruf kelabu kecil yang menunjukkan salah satu patisserie terlezat di kota tempat
universitasku berada. Patisserie itu
sama sekali tidak terkenal seperti yang franchise-franchisenya
telah menjamur di berbagai pusat perbelanjaan manca negara. Patisserie itu adalah kedai kecil yang
menjual segala roti dan kuenya secara home
made. Dipersiapkan setiap malam, disajikan hangat-hangat untuk menemani
kopi pagi semua pelanggannya, dan selalu habis tak bersisa menjelang matahari
tenggelam.
Aku
ingat dahulu di kota kecil tepi laut itu ada sebuah patisserie serupa. Pemiliknya seorang perempuan paling keren yang
pernah aku tahu. Ia mewarisi patisserie itu
dari kedua orang tuanya yang seumur hidup mereka hanya tahu cara memanggang
roti dan kue. Mereka mampu menabung banyak dan mengirim anak perempuan semata
wayang mereka kuliah di bidang kuliner hingga jauh ke luar negeri. Sang anak
yang entah karena begitu besar pengabdiannya kepada orang tua, atau memang
mengelola patisserie di kota kecil
itu memang telah lama menjadi impiannya, langsung kembali ke rumah dan
mengelola patisserie milik orang
tuanya berbekal ilmu yang telah ia peroleh di luar negeri.
Bagiku
yang pertama kali diajak ibu ke patisserie
itu kala masih kelas delapan, tindakannya benar-benar keren. Semua generasi
muda rata-rata bermimpi keluar dari kota kecil ini, tapi dia malah mencoba
menghidupkan kampung halamannya lewat keahlian yang ia miliki. Aku yakin suatu
saat patisserie itu akan dikenal
hingga ke negara bagian lain. Tekad semacam itu pasti akan membuahkan hasil
yang baik, aku sangat yakin. Apalagi strawberry
shortcake buatannya benar-benar nikmat. Perpaduan rasa asam dan manis yang
dibalut dalam kesederhanaan dan bagiku selalu memberikan rasa rindu pada rumah.
Kue itu kemudian menjadi makanan favoritku selama bertahun-tahun.
Aku
ingat pernah berjumpa dengan lelakiku di patisserie
itu suatu Sabtu pagi. Seperti biasa, aku hanya berjalan-jalan dan melamun di
pinggir pantai, kebiasaanku sejak masa sekolah menengah, semenjak aku mulai
tertarik pada buku-buku novel dan puisi. Aku merasa dengan berjalan-jalan tanpa
tujuan dan melamun di pinggir pantai mampu mendatangkan inspirasi dan
membantuku menulis karya, atau setidaknya pekerjaan rumah dari guru Bahasa
Inggris yang selalu memaksa kami untuk terus menulis, menulis, dan menulis.
Pagi
itu setelah cukup bosan berjalan-jalan, aku memutuskan untuk mampir ke patisserie dan memanjakan diriku dengan
sepotong strawberry shortcake. Letaknya
memang tepat di bibir pantai. Bangunan kecil berwarna putih dengan teras depan
yang disulap menjadi kedai dengan meja-meja dan kursi bercat biru muda. Tiba-tiba
sosok berambut cokelat dan berjaket kulit hitam memandangiku dari luar etalase sesaat
sebelum aku duduk di sudut favoritku yang berada di bagian dalam patisserie. Lelaki yang di tahun junior
SMA itu semestinya berjalan lurus ke sekolah untuk menghadiri kelas detensi di
Sabtu pagi, namun akhirnya memutuskan bahwa diriku yang duduk seorang diri di
toko kue jauh lebih menarik untuk didatangi daripada kelas detensi yang
menyebalkan.
“Aku
heran mengapa kalian para perempuan begitu tergila-gila dengan makanan manis?”
ujarnya seraya menarik kursi tepat di hadapanku.
Aku
kaget setengah mati akan kehadirannya, sehingga mataku membelalak dan jantungku
nyaris copot dibuatnya. Kami tak terlalu akrab saat itu. Bahan pembicaraan kami
kalau bertemu secara kebetulan atau melalui telepon hanyalah sapaan dan aku
menanyakan apakah adiknya bisa bermain bersamaku. Tak lebih. Jadi jangan heran
kalau aku benar-benar terkejut ia mendatangiku entah dari mana dan dengan
alasan apa itu.
“Kalian?”
kataku akhirnya setelah mencoba mencerna pertanyaan yang baru saja ia
lontarkan.
“Iya,
setidaknya kamu dan adik perempuanku. Kalian kan dua perempuan yang paling aku
kenal sepanjang hidupku.”
“Errr,
iya sepertinya.”
“Jadi,
mengapa?” Ia memandangi kue cokelat yang baru saja ia pesan lekat-lekat dan
memotongnya dengan sendok kecil.
“Enak?”
tanyaku melihatnya meringis setelah suapan pertamanya. Mau tak mau aku
tersenyum melihat gelagatnya.
“Demi,
Tuhan! Aku menyerah! Aku tidak mengerti mengapa kalian begitu menyukai makanan
yang teramat manis dan membuat gigiku ngilu ini,” katanya seraya mendorong
piring kue cokelat menjauh dari hadapannya.
Aku
tertawa. “Itu karena kamu memesan kue cokelat lapis tiga. Sepertinya hanya
anak-anak kecil yang tahan dengan rasa semanis itu. Tertulis di menu kan kalau
ini adalah kids choice.”
Ia
kemudian melirik kue yang tergeletak manis di atas piringku. “Memangnya punyamu
tidak?” Ia menggeser piring kueku ke hadapannya dan mulai mencicipinya dengan
sendok.
“Aaaah,
ini baru rasa kue yang bisa ditolerir lidahku. Mulai sekarang ini adalah kue
favoritku dan satu-satunya kue yang akan kumakan seumur hidupku,” ujarnya
seraya memamerkan senyum penuh kemenangan.
Pagi
itu kami habiskan dengan bercengkerama membicarakan apa saja yang terlintas di
kepala kami. Seperti dua teman lama yang sudah berabad-abad tak bertemu,
padahal kami sesungguhnya bertemu hampir setiap hari. Aku bercerita mengapa aku
begitu menyukai strawberry shortcake dan
ia menuturkan dengan seru mengapa ia sampai mendapat detensi Sabtu pagi itu.
Rupanya ia menyembunyikan maskot sekolah di lemari sapu dan semua orang seperti
kebakaran jenggot mencarinya karena musim pertandingan basket antarsekolah akan
dimulai pekan depan.
Ia
terlambat tiga jam ke kelas detensi hari itu. Akibatnya, ia mendapatkan detensi
tambahan selama satu bulan penuh, membantu anak-anak OSIS mempersiapkan pesta
dansa musim dingin. Tak pernah kubayangkan
anak paling cuek di seluruh sekolah harus mendekorasi sport hall dan menyulapnya menjadi lantai dansa. Ketika kutanya di
kemudian hari apakah hal itu menyusahkannya, ia malah berkata kepadaku bahwa ia
tak akan pernah melewatkan pagi yang indah bersamaku sambil makan kue strawberry shortcake. Sejak saat itu
kami beberapa kali menghabiskan Sabtu pagi di patisserie milik perempuan paling keren di dunia itu.
Laju
kereta mulai melambat. Pepohonan yang tadi nampak berlarian mengikuti laju
kereta telah berganti rupa menjadi atap-atap bangunan tua yang memiliki
cerobong asap. Meski kota tujuanku ini termasuk salah satu kota terbesar dengan
perkembangan terpesat di dunia, namun bangunan-bangunan dengan gaya arsitektur
kuno agaknya masih dipertahankan di daerah-daerah pinggiran. Berbeda jika kita
memasuki kota ini melalui bandara yang langsung menyuguhkan kehidupan khas kota
besar, para pendatang yang tiba melalui stasiun kereta masih dimanjakan oleh
ketenangan sub urban. Namun tetap saja sepelemparan batu dari sana, suasana
hingar bingar akan langsung menyapa.
Aku
melompat ke atas peron yang menyambutku dengan udara lebih hangat. Mentari
sudah menampakkan sinarnya, tak lagi malu-malu seperti ketika aku berangkat
tadi. Perjalanan yang hanya memakan waktu tiga jam dengan kereta ini memberikan
kesempatan bagi sang surya untuk merangkak naik dan menerpa dunia dengan
kehangatannya. Aku tidak lagi merasa kedinginan.
Di
hari-hari lain, biasanya lelakiku telah setia menunggu di peron kedatangan. Ia
kemudian akan menyambutku dengan pelukannya dan mengucap seribu kata rindu yang
seolah tak pernah habis dari bibirnya. Akan tetapi tidak hari ini. Aku hanya
bersama spontanitas yang kuharap tidak kusesali ini. Entah mengapa, setelah
berbagai angan yang kulamunkan di atas gerbong kereta, terbersit firasat tak
enak yang tiba-tiba datang mengusikku. Perutku serasa mual. Tak semestinya
perutku bergejolak seperti ini. Ah, ini pasti hanya perasaan gugup yang
menggebu saja. Mungkin tanpa disadari aku memang hanya rindu padanya. Amat
sangat rindu menyibak sebuah rahasia.
Seseorang
membuyarkan kegelisahanku. “Mau pergi ke mana, nona? Butuh tumpangan?” Rupanya
seorang supir taxi berjaket kelabu menghampiriku. Aku lantas menyebutkan alamat
sebuah apartemen.
“Oh,
tidak jauh. Mari saya antar. Tidak ada barang bawaan?”
Aku
menggelengkan kepala dan mendudukkan tubuhku di kursi belakang taxinya yang
nyaman. Bingkisan kecil berpita perak masih nampak cantik di pangkuanku.
Bangunan
apartemen berbata merah itu begitu bersahaja di antara bangunan-bangunan mewah
di sekelilingnya. Klasik, namun begitu anggun dengan kanopi-kanopi dan tanaman
rambat berbunga kuning yang menghiasi jendela-jendela bagian depannya. Karpet
merah pun digelar mengiringi langkah para penghuninya ketika memasuki pintu
utamanya yang terbuat dari kaca nan bening.
Tiga
tahun lalu aku memilihkan secara khusus apartemen itu untuknya. “Bentuknya
cantik! Aku bakalan betah berlama-lama di sini!” ujarku kala itu.
“Apakah
itu artinya kamu akhirnya setuju untuk pindah ke kota ini bersamaku?”
Lelakiku
itu memalingkan pandangannya dari brosur apartemen yang tengah ia baca dan
menatapku. Senyumnya begitu lebar, seolah baru saja memenangkan lotere atau
mendapatkan sesuatu yang selama ini sudah ia idam-idamkan.
“Bukan
itu maksudku, kamu tahu,” kataku sambil menghela nafas.
Aku
baru saja mendapat beasiswa untuk melanjutkan program master di universitas
terbaik di negara ini, yang kebetulan jaraknya sekira 200 kilo meter dari kota
tempat ia memutuskan untuk meniti karier. Beasiswa yang telah menghabiskan
banyak waktu dan tenagaku untuk bisa meraihnya. Kesempatan ini tentu saja tidak
akan kulewatkan demi apa pun, termasuk juga demi lelaki yang telah memenuhi
ruang hatiku beberapa tahun terakhir ini.
Aku
menghabiskan seluruh masa sekolah dasar dan menengahku di kota kecil tepi laut
dan memutuskan untuk melanjutkan kuliah di tempat itu juga. Denyut nadi kota
kecil tepi laut tempatku berasal itu memang ditopang oleh salah satu
universitas tertua di negara ini yang memang masih diminati oleh para pelajar,
khususnya yang ingin menekuni sejarah, seni murni, sastra, dan bidang humaniora
lainnya.
Aku
menghabiskan belasan tahun masa belajarku tanpa sejengkal pun meninggalkan kota
kecil tempatku dilahirkan. Jadi ketika ada pintu terbuka lebar untuk mencari
pengalaman di kota baru sambil menggapai cita-cita, aku tidak akan
melewatkannya sedikitpun. Meskipun itu berarti aku meninggalkan banyak hal di
belakangku, setidaknya aku bisa merintis asa yang selama ini aku dambakan:
pergi dari kota kecil itu.
Maka
terbanglah aku ribuan kilometer ke ujung timur negeri ini untuk memulai program
kuliah master. Ayah dan ibuku terlihat tabah melepasku di bandara, namun jauh
di sudut hatiku, aku tahu dengan pasti mereka teramat sedih melepas
satu-satunya anak perempuan yang mereka miliki. Hari-hari mereka selanjutnya
hanya akan disibukkan oleh dua adik lelakiku, si kembar yang baru saja memasuki
tahun kedua SMA.
Perjalananku
itulah yang kemudian banyak mengubah kehidupanku dan mendekatkan diriku ke kota
tempat lelakiku berada. Juga semakin mendekatkan diriku yang telah beranjak
dewasa kepada dirinya yang berkata akan selalu menunggu.
“Maksudku,
aku bisa menghabiskan liburanku di sini, atau mungkin beberapa akhir pekan jika
tugas-tugas kuliah tidak menghambatku,” kataku kemudian.
“Baiklah
atur saja, little princess! Kamu bosnya,” balasnya sambil kembali tersenyum.
Sebenarnya
alasanku memilih apartemen ini, selain karena faktor arsitekurnya, adalah
karena penghuni apartemen ini kebanyakan aktor muda yang baru saja diorbitkan
atau mereka yang masih berstatus calon aktor yang tentu saja kesehariannya
masih dijejali dengan agenda kasting dan bertumpuk perjuangan lainnya. Para
pejuang, pemula yang tengah meraih kesuksesan. Aku ingin semangat mereka
mewarnai keseharian lelakiku dan menularinya dengan segenap energi positif. Aku
tidak ingin ia tinggal di tempat mewah para bintang manja yang merasa telah
memiliki segalanya, padahal ketenaran yang mereka raih ini berasal dari proses
instan. Aku ingin lelakiku tetap berkarya dan membumi bahkan jika suatu hari ia
telah memenangi piala Oscar sekali pun. Aku ingin ia selalu ingat bahwa ia
berasal dari kehidupan yang sederhana di sebuah kota kecil tepi pantai.
Supir
taxi menurunkanku tepat di muka apartemen. Aku mengucapkan terima kasih dan
mulai memasuki bangunan yang rasanya sudah berabad tak kumasuki. Angin berdesir
pelan ketika pintu kaca kudorong hingga terbuka. Meski sinar mentari telah
memberi kehangatan, namun semilir angin dingin seperti masih enggan
meninggalkan pagi.
Lobi
nampak lengang hari ini. Si penjaga pintu yang berperut tambun dan berhati baik
itu bahkan tidak nampak di posnya. Mungkin ia sedang menyeduh kopi dan
menikmati donat yang setiap pagi disajikan oleh salah satu gadis petugas
bersih-bersih yang memiliki senyuman paling manis di apartemen itu. Aku sudah
lama tahu si penjaga pintu naksir berat pada sang gadis. Entah bagaimana
kelanjutan hubungan mereka saat ini, aku sudah lama tidak mengikuti
perkembangannya.
Aku
menekan tombol berukir angka dua belas di dalam lift dan pintunya menutup
seketika. Pintu lift saja sudah kelihatan tergesa-gesa ingin mengantarkanku
pada orang yang tengah kurindukan saat ini. Perutku kembali bergejolak, namun
di sisi lain hatiku seolah melompat-lompat kegirangan karena akan segera
melepas kerinduan yang telah lama menggerogotinya. Aku mendekap bingkisan berpita
perak erat-erat dan menahan nafas ketika pintu lift membuka tepat di lantai dua
belas.
Baru
beberapa langkah keluar dari lift, tiba-tiba seseorang menubrukku dengan
kencang. Bingkisan mungilku nyaris tergelincir dari tangan dan mencium lantai.
“Hey!”
teriakku sambil berbalik ke arahnya berlari. Aku berusaha keras menjaga
keseimbangan agar tidak terjatuh. Terlambat. Pintu lift yang kutumpangi tadi
sempat dimasukinya hanya dalam hitungan detik dan kini pintunya terlanjur
menutup.
Ada
yang tak asing dari sosok perempuan yang baru saja menabrakku itu. Rasanya aku
mengenal raut wajahnya, atau paling tidak pernah melihatnya di suatu tempat, tapi
aku tidak bisa mengingatnya dengan pasti. Wajah yang tak asing tadi kelihatan
begitu murung dan berantakan. Di sekeliling matanya terdapat coreng kehitaman
yang kelihatannya berasal dari maskara yang sudah luntur. Sepertinya ia baru
saja menangis atau meluapkan emosi tertentu yang aku tak bisa menebak itu apa.
Lipstik yang tadi dikenakannya nampak seperti baru saja terhapus secara
asal-asalan. Rambutnya pun acak-acakan seperti baru saja terbangun dari mimpi
buruk. Mantelnya diikat rapat dengan tergesa-gesa, menyembunyikan entah apa
yang berada di baliknya.
Aku
juga menyadari hal janggal lainnya dari perempuan itu, yakni ia tidak
mengenakan alas kaki. Kakinya yang telanjang nampak begitu pucat. Apakah ia merasa
sakit atau baru saja mendapat musibah?
Belum
juga habis rasa heranku, mataku langsung terbelalak ketika aku membalikkan
badan untuk melanjutkan perjalananku ke pintu tempat lelakiku berada. Tepat di
hadapanku, berdiri seorang lelaki berambut kecoklatan menatapku dengan sepasang
bola mata berwarna biru gelap miliknya. Nafasnya terengah-engah seperti habis
berlari mengejar sesuatu, atau seseorang. Ia hanya mengenakan celana olah raga
tanpa sehelai benang pun menutupi tubuh bagian atasnya. Sandal kamarnya masih
terpasang dengan setia di atas kakinya. Sepasang sandal lembut berwarna abu-abu
terang yang kuhadiahkan padanya tahun lalu.
Sel-sel
dalam otakku langsung bekerja mencerna apa yang sesungguhnya baru terjadi tepat
di depan kedua mataku. Aku merasa gamang, seolah tak mampu lagi merasa. Bingung
dan seperti kehilangan arah, tidak tahu harus berbuat apa. Bahkan tidak tahu
harus berpikir apa. Gejolak dalam perutku kian menghebat, seakan ikut
memperparah suasana yang sudah tak karuan ini.
“Julia…,”
ujar lelaki itu terkejut. Keterkejutannya segera berganti menjadi raut
kesedihan yang tak dapat kulukiskan dengan kata-kata. Aku pernah melihat wajah
seperti ini bertahun-tahun lalu ketika sebuah peristiwa buruk menimpaku dan ia
menjadi saksinya.
Sebelum
aku mampu berucap, bingkisan putih berpita perak itu meluncur dari genggamanku
dan menghantam lantai. Tutupnya terbuka dan memperlihatkan isinya yang kini
telah tergeletak mengotori karpet berwarna marun di depan lift. Strawberry shortcake merah muda dengan
kepingan cokelat putih yang dihiasi krim cokelat bertuliskan, “Happy Birthday,
Daddy-to-be!”
*****
Comments
Post a Comment