Sulit sekali menyayangi kamu, anak saya satu...
Ketika pertama kali bertemu, kamu hanya satu dari segelintir
anak kelas 10 Business angkatan 10 yang kebetulan saya ajar. Jika saja Tuhan
menggariskan kamu berada di kelas sebelah, maka mungkin saya tidak akan pernah
mengenalmu sama sekali.
Perhatian saya padamu pertama kali terjadi saat Life Skill
di Yogyakarta. Masih ingatkah kamu peristiwa menyebalkan itu? Ah, pasti kamu
akan menyangkal mati-matian dan menuturkan versimu sendiri!
Saya tidak akan pernah lupa, malam itu kamu “menjual” nama
saya ke hadapan guru dan kepala sekolah, bahwa saya mengetahui persis dan
cenderung melindungi kamu yang tertangkap basah membawa rokok. Ide dari mana
pula kamu menyebut nama saya saat itu? Hasilnya jelas, saya dimarahi
habis-habisan oleh kepala sekolah sebelum akhirnya sempat mengklarifikasi dan
menjernihkan keadaan. Gara-gara kamu!
Sejak melihatmu dipulangkan malam itu, saya berjanji pada
diri saya sendiri untuk tidak akan pernah menoleh ke arahmu selamanya. Saya jengkel
luar biasa. Ada banyak guru yang namanya bisa kamu jual. Mengapa tidak homeroom
kamu sendiri saat itu? Atau guru mana pun lah, asal bukan saya. Saya yang
peduli padamu pun tidak, pernah berinteraksi denganmu pun tidak, bahkan bisa
dikatakan kenal denganmu pun tidak!
Namun hal yang lucu malah terjadi...
Setelah peristiwa itu, kamu dan tiga temanmu yang katanya
“kakak beradik” mulai memanggil saya dengan sebutan Mama. Aduh, lelucon macam
apa lagi ini tiba-tiba harus jadi Mama buat kamu dan mereka? Saat itu saya
benar-benar tidak peduli, terkadang hanya menanggapi dengan tawa, lebih sering
dengan penolakan dan menyuruh kalian berikan saja panggilan itu kepada homeroom
atau guru mana pun yang kalian suka. Lucunya, bukannya berhenti, kamu dan abang
adikmu malah semakin menjadi.
Di tengah penolakan-penolakan itu, saya malah mendapatkan
kabar akan diproyeksikan sebagai homeroom kelas XI Business. Hey, itu berarti
ada kemungkinan 50% saya menjadi homeroom kamu kan?
Maka sepanjang liburan kenaikan kelas, saya berdoa
sungguh-sungguh (alias mati-matian) agar kamu tidak berada di kelas saya. Dan
Tuhan kemudian menolak permintaan saya dan mengabulkan dengan cara-Nya yang
lain.
Jadi, di sinilah kita berdua hari ini...
Awalnya memang sulit menerima kenyataan bahwa Tuhan menolak
permintaan saya. Sulit pula membayangkan kesulitan yang akan saya hadapi satu
tahun ke depan akibat ulahmu. Bahkan sebelum menjadi homeroommu saja, kamu
sudah mampu menjebak saya dalam masalah. Apalagi kalau sudah jadi homeroom
kamu... Aargh!
Namun jujur...
Saya belum pernah menceritakan hal ini sebelumnya kepada
kamu. Peristiwa pertama yang membuat saya melihat sosokmu secara berbeda dan
mulai mau mengakui keberadaanmu adalah ketika kita menjalani Live In di Dieng.
Apa kamu menyadari, bahwa perlakuan saya terhadapmu semenjak kita pulang Live
In menjadi berubah? Saya menjadi lebih lembut saat berbicara denganmu, tidak
cuek seperti sebelumnya. Lebih memperhatikan tingkah lakumu. Lebih memaklumi
kenakalanmu jika sebatas wajar. Lebih marah ketika kamu mulai bertingkah. Dan
lebih kecewa saat kamu melakukan kesalahan atau menuturkan kebohongan.
Tahukah kamu apa penyebabnya?
Bukan. Bukan saat kamu menang pertandingan bola dan langsung
mencari saya di Posko. Bukan itu. Saya tahu itu pasti inisiatif Axel, bukan
kamu seorang.
Semua itu bermula saat saya diharuskan pulang satu hari
lebih awal. Itu pun saya tidak memikirkan keberadaanmu sama sekali. Saya malah
menumpahkan segalanya saat itu ke Axel, Sendy, Adhisa, dan Catherine. Bukan
kamu.
Namun di sanalah kamu berada, di sudut jalan depan rumah
tempat saya menginap. Dengan Catherine di sebelahmu yang nampak lelah seakan
habis berlari. Kelihatannya ia mencarimu ke mana-mana demi melaporkan bahwa
Mama kamu harus pulang meninggalkan kegiatan yang belum usai. Meninggalkan
seluruh angkatan 10. Meninggalkan XI Business1. Meninggalkan kamu.
Saya ingat kamu tidak banyak bicara saat itu. Kamu yang
biasanya banyak omong, mendadak bisu. Kamu hanya membawakan barang-barang saya
dan menemani saya berjalan ke Posko. Entah apa yang ada dalam pikiranmu saat
itu. Dalam pikiran saya hanya satu pasti: “Demi apa pun saya tidak mau pulang!”
Ada hal yang membuat saya takjub sore itu. Seakan sulit
dipercaya bahwa anak yang selama ini cenderung saya hindari, begitu manis memperlakukan
saya. Tidak sedikit pun kamu melepaskan diri dari sebelah saya, sampai saatnya
saya harus benar-benar pulang. Masuk ke dalam mobil dan meninggalkan segala
suka ria di Dieng.
Hal yang paling berat untuk saya akui – karena kamu pasti
akan besar kepala – adalah kesedihan saya sore itu bermuara menjadi tiga;
mengecewakan Catherine karena terpaksa melewatkan Pentas Seni, meninggalkan XI
Business1 yang mulai terasa akrab, dan terutama memandangi kamu saat itu –
orang terakhir yang saya kira akan sepeduli ini dengan saya.
Saya seperti baru mengenalmu, karena perilakumu di sekolah
sama sekali tak pernah memperlihatkan sisi seperti ini. Sisi yang terlihat peka
dan menyayangi – dan semoga saya tidak salah. Mungkin kamu selama ini memanggil
saya Mama bukan karena asal-asalan? Entah, hanya kamu yang tahu jawabannya.
“Mama jangan sedih, jangan menangis, kan ada aku...”
Selamanya saya akan terkenang pada kalimat yang kamu ucapkan sore itu di
dataran tinggi Dieng.
Sepulang dari Dieng, kamu memang tak pernah semanis itu
lagi. Namun saya yakin kamu merasa ada sesuatu yang berubah. Saya berubah, tak
lagi berlaku kejam dan tak peduli padamu. Kamu sendiri juga berubah, lebih
percaya dan mau mendengarkan saya. Meski sifatmu yang sering berbohong demi
keselamatanmu itu tidak juga kamu tinggalkan. Hanya saja, saya menjadi lebih
memahami kamu. Saya tahu kapan kamu berbohong dan kapan jujur. Lalu saya mulai
membiarkanmu memanggil saya Mama, sesuka hatimu.
Saya bahkan mencoba mengenali duniamu, kenal lebih dekat
dengan abang adikmu di sekolah. Mulai memanggil kamu dan mereka dengan nama
yang lebih akrab. Abang, Acel, Ndut, dan Dede. Saya sadar betul banyak yang
berubah setelah kamu berhasil melenyapkan kenangan buruk Life Skill dan
menggantinya setimpal dengan kenangan manis Live In.
Begitulah. Tak ada hari tanpamu di sekolah semenjak saat
itu. Berkali-kali harus diingatkan ini-itu. Tidak boleh terlambat, tidak boleh
cabut pelajaran, tidak boleh nakal, dan seterusnya. Selanjutnya kamu tahu
bagaimana ributnya saya jika kamu sudah mulai berulah. “Mama bawel,” katamu.
Satu hal yang cukup membuat saya masih percaya ada sisi
manis dari diri kamu seperti kala di Dieng adalah melihatmu bersikap saat saya
sudah benar-benar marah padamu atau kecewa padamu. Kamu hanya diam, mendengarkan,
dan merenung. Sesekali bahkan mengeluarkan air mata. Menahan amarah sekuat
tenaga, karena tak ingin mengeluarkannya pada saya. Bisa sepanjang siang kamu
diam jika paginya saya marah.
Kamu bilang, kamu tidak akan pernah bisa marah kepada saya,
apa pun yang saya lakukan terhadapmu. Sama seperti kamu memperlakukan kedua
orang tuamu jika mereka memarahimu, tanpa perlawanan sama sekali. Kamu, yang
selalu cepat panas dan siap menghajar orang jika ujung rambutmu diusik. Tak
berdaya karena menghormati orang tua. Apakah ini juga ada kaitannya dengan
panggilan Mama yang kamu berikan kepada saya?
Dan nyatanya, saya baru menyadari jika semarah apa pun saya
atau sesalah apa pun saya, kamu tetap mencoba menghormati saya sebisa mungkin.
Tak pernah ada ucapan yang menyakitkan keluar dari mulutmu sepanjang
pengetahuan dan firasat saya. Kamu bahkan mencoba memperbaiki diri. Nyaris tak
ada catatan SP atau hutang tugas dan remedial menumpuk di penghujung tahun
ajaran ini.
Makanya kini ada sebersit rasa ragu dan sakit di relung hati
saya, saat saya mendapat kabar bahwa kamu mengucap kata-kata yang tak
mengenakkan tentang saya. Benarkah? Mengapa banyak yang bilang kalau kamu tidak
tulus dan hanya memanfaatkan kebaikan saya? Semua kamu bantah habis-habisan.
Kamu yang sering berbohong, mencoba untuk jujur kepada saya. Saya tahu
pikiranmu terusik, tapi kamu perlu tahu, hati saya jauh lebih terusik.
Bagaimana mungkin kamu tega menyebut hal buruk tentang saya?
Ah, saya mencoba percaya kepadamu, Nak. Kamu pasti jujur.
Saya yakin kamu tulus, karena saya teringat peristiwa di Dieng itu. Sisi
batinmu yang selalu saya rindukan dan harapkan selalu ada, karena itu
mencerminkan kebaikan hatimu. Saya ingin semua orang tahu kamu punya sisi baik,
tidak hanya sosok anak tak bisa diatur yang mereka lihat selama ini.
Tidak akan pernah habis kisahmu, Nak. Belum juga saya bercerita soal kenakalanmu saat Pramuka, caramu mengeja dan bicara yang selalu saya kaitkan dengan disleksia ringan, masakan-masakanmu yang enak, setiap pertandingan futsal yang tak pernah saya lewatkan, atau cara menyetirmu yang ugal-ugalan dan kontra dengan cara menyetir saya yang katamu membuat ngantuk.
Tidak terasa sudah satu tahun saya jadi homeroom kamu. Tidak terasa sudah satu tahun saya mengenalmu. Dan kini kamu siap melangkah lebih lanjut dalam hidupmu. Menjadi 17 tahun, dan naik ke kelas 12. Waktu saya untuk menjadi homeroom pun hampir habis, namun semoga saya masih bisa menjadi Mama buatmu.
Tidak terasa sudah satu tahun saya jadi homeroom kamu. Tidak terasa sudah satu tahun saya mengenalmu. Dan kini kamu siap melangkah lebih lanjut dalam hidupmu. Menjadi 17 tahun, dan naik ke kelas 12. Waktu saya untuk menjadi homeroom pun hampir habis, namun semoga saya masih bisa menjadi Mama buatmu.
Kak farel ultah? happy birthday kak!
ReplyDelete