Skip to main content

Suatu Pagi dan Kamu

Aku baru saja membuka mata. Tersadar dari buaian mimpi indah yang menemani lelapku semalaman. Aku bermimpi berada di hamparan pasir maha luas, bersenandungkan deburan ombak, dan berhiaskan semburat jingga dewi langit yang memesona. Di sana aku menemukan kedamaian.

Dengan enggan kutapakkan kakiku ke lantai. Bersiap menjalani pagi. Hari ini semestinya merupakan salah satu hari biasa dalam hidupku. Hari di mana aku berupaya semakin dekat dengan asaku.

Hingga telepon genggamku berdenting.

Kamu.

Setelah sekian lama kamu tak pernah menyapaku terlebih dahulu, pagi ini rupanya kamu memilih untuk mencariku. Namun ironisnya, hanya untuk berpamitan.

Hey, hendak kemana kamu? Bukankah kita baru saja memulai kembali apa yang pernah kita mulai sekira tiga tahun lalu? Lalu, kamu mau pergi begitu saja?

Aku masih ingat pertama kali menatap wajahmu. Matamu. Kamu malu padaku. Ada raut kepolosan dan rona antusias tiap berjumpa denganku. Ada sebersit kerinduan dan pengharapan setiap kali kamu berbicara kepadaku. Mungkin kamu telah lupa, akan tetapi seperti itulah kita pada mulanya. Bahagia.

Persimpangan jalan yang harus kita hadapi begitu banyak. Kita mengucap pisah berkali-kali. Namun seolah ada benang merah yang terikat di jemari, kita selalu terhubung kembali. Kamu dan aku, berada di pusaran hidup yang seolah jauh dari persimpangan. Aku pernah merasa jangan-jangan di kehidupan yang lain kita adalah pasangan jiwa. Entahlah.

Hingga pada akhirnya, kita kembali berpisah.

Kamu selama ini begitu menutup rapat hatimu. Kamu nyaris tak pernah bertutur kepadaku tentang perasaanmu.

Namun hari itu begitu berbeda. Kamu berkata jika kamu kecewa kepadaku.

"Bagaimana sih rasanya dijanjikan sesuatu, lalu diingkari. Sakit. Apalagi aku sudah menggantungkan harapan begitu tinggi padamu."

Kata-katamu itu terus menghantuiku hingga berhari-hari. Aku tak pernah tahu bahwa kamu berharap padaku. Kamu tak pernah bilang. Ah, tetapi semestinya aku sadar. Aku harusnya tahu dengan jelas bahwa di balik sikapmu yang dingin dan selalu mengerjaiku, sebenarnya kamu peduli dan menyayangiku.

Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku menyayangimu.

"Sayang? Mungkin dulu kamu benar menyayangiku. Kini, sepertinya sudah tidak lagi."

Hatiku sakit mendengarmu berkata seperti itu. Meski begitu, aku sadar itu semua karena ulahku sendiri. Aku semestinya tak pernah ingkar. Aku semestinya selalu memperhatikanmu.

Aku lega semua itu sudah berlalu.

Kamu kembali kepadaku. Berusaha memperbaiki apa yang tersisa dari kita berdua. Mengais serpihan kenangan lama dan berupaya merajutnya hingga menjadi gambaran yang indah.

Tapi pagi ini... kamu berpamitan.

Jangan pergi, sayang. Tetaplah bersamaku di sini. Menemani hari-hariku. Rangkai cerita baru...

Aku tahu tak banyak lagi yang bisa kulakukan. Hanya menanyai kabarmu setiap hari. Memastikan kamu baik-baik saja. Menjagamu supaya tidak pergi.

Mengapa kita menjadi semakin menyatu karena hal menakutkan ini?

Aku mengkhawatirkanmu.
Aku menyayangimu.
Selalu.

Comments

Popular posts from this blog

Story of a Friend

Sahabatku, Miss Elen. Ia memang tak lagi mengajar di sekolah yang sama denganku, namun aku selalu mengingat segala keseruan saat bekerja dengannya. Tentu bukan dalam hal mengajar, karena kami sama sekali berbeda. Ia mengajar Biologi, sementara aku mengajar Sosiologi. Hal yang membuat kami seiring adalah sifat dan kegemaran yang serba bertolak belakang. Hihihi... lucu ya, betapa dua individu yang sangat berbeda bisa lekat. Mungkin seperti magnet, jika kutubnya berbeda, maka magnet akan melekat. Bayangkan saja, kami memang sama-sama menyukai film. Namun ia lebih tersihir oleh film-film thriller dan horor. Sutradara favoritnya Hitchcock. Sementara aku lebih memilih memanjakan mata dan daya khayal lewat film-film Spielberg. Lalu kami juga sama-sama menyukai musik. Jangan tanya Miss Elen suka musik apa, karena nama-nama penyanyi dari Perancis akan ia sebutkan, dan aku tidak akan paham sama sekali. Akan tetapi saat ia kuperkenalkan dengan Coldplay, Blur, dan Radiohead, ia s...

(Promo Video) Not an Angel, a Devil Perhaps

Dear friends, family, students, and readers, This is a video promotion for my 1st ever novel: Not an Angel, a Devil Perhaps I wrote it in a simple chicklit style, but the conflict and message are worth to wait. Unique, and not too mainstream. If I could start a new genre, probably it will be Dark Chicklit or what so ever. I will selfpublish Not an Angel, a Devil Perhaps  with one of Jakarta's indie selfpublish consultant in a couple of month. Just check out the date and info from my blog, twitter, facebook, or blackberry private message. Please support literacy culture in our country. Wanna take a sneak peak of my novel? Check out this video! Cheers, Miss Tya

Saat Sidang KTI Menjadi "Beban"

Dear Batch 11, Saya tergelitik untuk menulis ini karena hari ini ada dua fakta berlalu di hadapan saya. Mengenai apa? Tentu saja tentang Karya Tulis Ilmiah alias KTI yang sepertinya menjadi momok dan beban berat yang menggantung di pundak kalian. Fakta pertama, tumpukan KTI yang semestinya saya uji beberapa minggu lagi masih tipis. Baru dua dari tujuh yang mengumpulkan. Padahal untuk menguji, saya harus membaca dan itu butuh waktu. Percaya deh, saya tidak mau membudayakan KTI asal jadi (yang penting ngumpul), maka saya pun berusaha serius menanggapi tanggung jawab ini. Jadi jangan harap ujian dengan saya itu bakalan woles dan asal-asalan ya.. Fakta kedua, anak-anak yang "stress" menhadapi hari ujian mulai berseliweran di depan mata saya. Ada yang terlihat tegang, ada yang menanggapi sambil lalu seolah tidak mau memikirkan, bahkan ada yang sampai menangis. Mau tidak mau akhirnya timbul pertanyaan di benak saya, "sebegininya ya sidang KTI itu?" Saya paham, i...