Skip to main content

A Sweet Way to End 1st Semester

Mencintai dan dicintai adalah perasaan yang paling indah di dunia. Berbekal cinta, ke mana kaki melangkah, kita akan selalu merasa aman dan nyaman. Tak perlu khawatir mengenai suatu apa pun.

Akan tetapi, pernahkah kita merasa rasa cinta yang diberikan kepada kita mendadak hilang? Saya baru saja merasakannya beberapa minggu terakhir ini. Dan saya agak terkejut mengenai efek yang ditimbulkannya.

Berawal dari masa remedial. Tuhan menganugerahi saya sepasukan anak yang “hobi” remedial. Kelas saya, kelas 1E, chibis yang tercinta ini harus mengikuti program remedial hampir di semua pelajaran. Tiap pelajaran tak tanggung-tanggung, lebih dari 10 anak dari total 26. Pusing saya dibuatnya.

Beberapa anak laki-laki, yah sebut saja nama mereka Sandy, Peter, Bob, Ucup, dan Barry, bukan main sulitnya untuk disuruh remedial. Mereka harus diomeli, dipaksa, bahkan terkadang di ancam.

Puncak kemurkaan saya adalah saat beberapa dari mereka terancam tidak lulus Sosiologi, Ekonomi, dan Bahasa Indonesia, namun raut wajah mereka tak juga serius menanggapinya. Mereka bahkan mengerjakan soal remedial dengan asal-asalan dan kabur pulang ke rumah atau main.

Hingga akhirnya empat anak terakhir yang terancam gagal di Sosiologi harus saya seret ke ruang guru untuk menemui guru Sosiologi dan remedial ulang. Bob saat itu sedang di rumah atau main – entahlah. Sandy lebih memilih untuk mengurus sepedanya di bengkel. Sementara, Barry dan Ucup “sibuk” nongkrong seperti biasa. Ah, dasar!

Beruntung saya masih punya Peter yang mau membantu saya menyeret empat bocah ajaib ini ke ruang guru. Akhirnya mereka berhasil tuntas Sosiologi di detik-detik terakhir. Namun tak dapat dipungkiri, saat-saat seperti ini membuat mental saya jatuh dan saya merasa mereka tidak peduli atau sayang pada saya.

Kejadian macam ini sebenarnya tak hanya membuat saya sedih, tapi juga marah. Saya bahkan sempat tak sengaja berucap ke Sandy bahwa ini adalah kali terakhir saya akan mengurus mereka. Akibat nilai mereka yang rendah dan tabiat mereka yang tak bisa diatur, maka kepala sekolah telah memutuskan bahwa saya gagal menjadi homeroom mereka. Semester dua mereka akan mendapatkan homeroom baru yang lebih tegas.

Saya tidak menyangka omongan saya yang ngawur itu dipercaya Sandy dan ia menjadi panik. Tanpa sepengetahuan saya, ia menyebarkan kabar ini kepada anak-anak lelaki lainnya. Berbagai reaksi keluar dari mereka, dan semuanya tidak bagus.

Sandy ingin segera menghadap kepala sekolah, Peter memaki di twitter, tabiat mereka berdua adalah  yang terburuk dari semuanya. Mereka bahkan mengancam pindah sekolah, memboikot kelas, dan mengompori teman-teman sekelas berlaku kasar pada homeroom baru.

Willy selalu sedih, Anjas tidak mau pergi sekolah, Ucup berniat akan berkelakuan lebih buruk dari sekarang, Barry tak mau peduli lagi pada sekolah.

Saya tak pernah menyangka bahwa mereka akan begini. Di saat saya merasa tak disayang oleh anak-anak lelaki itu, mereka justru menunjukkan reaksi yang membuat jantung saya berdebar. Benarkah mereka masih peduli dengan saya?

Akhirnya saya mengumpukan anak-anak perempuan kesayangan saya. Mereka juga sempat panik saat tahu homeroom akan diganti, namun langsung lega saat saya bilang itu hanya bohong belaka. Saya meminta mereka untuk meneruskan kepura-puraan ini sampai anak-anak lelaki berusaha keras membuktikan komitmennya pada kelas dan berusaha menyenangkan hati saya.

Dan bocah-bocah nakal itu berusaha mati-matian membuktikan semuanya saat class meeting. Meski pada akhirnya kalah, saya baru pertama kali merasakan dan melihat sendiri kesungguhan mereka sebagai satu kelas. Baik lelaki maupun perempuan, semua begitu semangat. Betapa bangganya saya memiliki mereka semua.

“Maaf Miss, kita ga bisa menang,” kata Willy. Saya hanya tersenyum dan berkata itu bukan masalah. Saya tetap bangga. Dia sedih melihat anak-anak kelas 11 meledek saya karena 1E kalah. Akan tetapi, begitulah hubungan anak-anak kelas 11 dengan saya. Saling meledek, tapi sebenarnya kami erat. Willy tidak tahu itu.

Usai class meeting, anak-anak perempuan mengumpulkan para anak lelaki dan membiarkan saya berbicara di hadapan mereka. Saya berlagak sedih dan berpamitan karena ini adalah hari terakhir saya sebagai homeroom mereka. Peter dan Sandy meledak seperti biasa.

Entah berapa lama saya berbicara dan seberapa meyakinkannya akting saya, namun mata Peter dan Willy mulai berkaca-kaca. Peter diam dalam kesal. Willy sebentar lagi meneteskan air mata. Saya tersentuh melihatnya dan berkata bahwa homeroom mereka yang baru semester depan adalah saya sendiri. Suasana cair seketika dan mereka lega.

Dari sini saya tahu, betapa pun menyebalkannya, mereka masih peduli dengan saya. Mereka juga masih bergantung pada saya sehingga tak ingin saya pergi cepat-cepat.  Setidaknya kami masih punya satu semester lagi bersama.

A very sweet way to end this semester with my chibis. Remember this moment always! Don’t cry, I am still here. Your mom is still here, guys!

Love,
Miss Tya

Comments

Popular posts from this blog

Story of a Friend

Sahabatku, Miss Elen. Ia memang tak lagi mengajar di sekolah yang sama denganku, namun aku selalu mengingat segala keseruan saat bekerja dengannya. Tentu bukan dalam hal mengajar, karena kami sama sekali berbeda. Ia mengajar Biologi, sementara aku mengajar Sosiologi. Hal yang membuat kami seiring adalah sifat dan kegemaran yang serba bertolak belakang. Hihihi... lucu ya, betapa dua individu yang sangat berbeda bisa lekat. Mungkin seperti magnet, jika kutubnya berbeda, maka magnet akan melekat. Bayangkan saja, kami memang sama-sama menyukai film. Namun ia lebih tersihir oleh film-film thriller dan horor. Sutradara favoritnya Hitchcock. Sementara aku lebih memilih memanjakan mata dan daya khayal lewat film-film Spielberg. Lalu kami juga sama-sama menyukai musik. Jangan tanya Miss Elen suka musik apa, karena nama-nama penyanyi dari Perancis akan ia sebutkan, dan aku tidak akan paham sama sekali. Akan tetapi saat ia kuperkenalkan dengan Coldplay, Blur, dan Radiohead, ia s...

(Promo Video) Not an Angel, a Devil Perhaps

Dear friends, family, students, and readers, This is a video promotion for my 1st ever novel: Not an Angel, a Devil Perhaps I wrote it in a simple chicklit style, but the conflict and message are worth to wait. Unique, and not too mainstream. If I could start a new genre, probably it will be Dark Chicklit or what so ever. I will selfpublish Not an Angel, a Devil Perhaps  with one of Jakarta's indie selfpublish consultant in a couple of month. Just check out the date and info from my blog, twitter, facebook, or blackberry private message. Please support literacy culture in our country. Wanna take a sneak peak of my novel? Check out this video! Cheers, Miss Tya

Saat Sidang KTI Menjadi "Beban"

Dear Batch 11, Saya tergelitik untuk menulis ini karena hari ini ada dua fakta berlalu di hadapan saya. Mengenai apa? Tentu saja tentang Karya Tulis Ilmiah alias KTI yang sepertinya menjadi momok dan beban berat yang menggantung di pundak kalian. Fakta pertama, tumpukan KTI yang semestinya saya uji beberapa minggu lagi masih tipis. Baru dua dari tujuh yang mengumpulkan. Padahal untuk menguji, saya harus membaca dan itu butuh waktu. Percaya deh, saya tidak mau membudayakan KTI asal jadi (yang penting ngumpul), maka saya pun berusaha serius menanggapi tanggung jawab ini. Jadi jangan harap ujian dengan saya itu bakalan woles dan asal-asalan ya.. Fakta kedua, anak-anak yang "stress" menhadapi hari ujian mulai berseliweran di depan mata saya. Ada yang terlihat tegang, ada yang menanggapi sambil lalu seolah tidak mau memikirkan, bahkan ada yang sampai menangis. Mau tidak mau akhirnya timbul pertanyaan di benak saya, "sebegininya ya sidang KTI itu?" Saya paham, i...